Tous les chapitres de : Chapitre 81 - Chapitre 90

82. Rahasia Yang Tersembunyi 2"Astaghfirullah," ucap Lila lirih. Sementara Bayu hanya terus mendengarkan dari tadi."Hingga kemudian ibu duduk di bangku SMA, dan saat itu Bude Dewi sudah bekerja. Entah mengapa, pacarnya suka pada ibu. Padahal tak pernah sedikitpun ibu mengganggunya." Mata Bu Desi menerawang jauh. "Namun, tak kutanggapi, karena ibu tak suka padanya. Tapi tentu saja, Bude Dewi tetap menganggap ibu pelakor.""Apa ... pacar Bude Dewi itu, almarhum Bapak?" Dengan hati-hati Lila bertanya. Bu Desi menggeleng pelan. "Bukan. Bapakmu adalah teman kecil dan sahabat Bude Dewi saja. Sebenarnya saat ibu menikah, Bude Dewi pun sudah menikah, dan telah memiliki seorang putra, Satria namanya yang meninggal saat berusia satu tahun. Tetapi entah, sepertinya dia tetap saja terobsesi pada Bapakmu."Bayu kini yang menghela nafas panjang, membayangkan betapa rumitnya hubungan keluarga itu. Hingga Bu Desi kembali melanjutkan ceritanya."Sebuah kecelakaan terjadi saat ibu hamil besar, dan B

Bab 84. Keturunan PelakorMalam itu, rumah terasa terlalu sunyi. Angin dari jendela kamar meniup tirai perlahan, tapi isi kepala Lila justru riuh oleh suara-suara masa lalu yang baru saja ia dengar dari ibunya. Cerita yang tersimpan sekian lama kini membebani dadanya.'Benarkah semua itu?''Benarkah ibunya hanya korban fitnah dan dendam masa lalu?''Atau ada bagian kelam dari kisah itu yang belum ia ketahui?'Lila duduk di tepi ranjang, jemarinya meremas ujung selimut, mencoba menahan gejolak yang semakin keras di dadanya. Tiba-tiba ponselnya bergetar di atas nakas. Nama di layar membuat tubuhnya menegang. Mbak RikaIa menatap layar itu beberapa detik sebelum akhirnya mengangkat panggilan. Suara dari seberang terdengar tajam, tanpa basa-basi."Lila," sapa Rika pendek."Ya, Mbak Rika…," jawab Lila, sedikit ragu."Lagi dimana kamu?""Di rumah. Ada apa, Mbak?""Bagus," jawab Rika datar. "Aku memang pengin ngomong sama kamu. Dan aku harap kamu siap denger semuanya."Nada bicaranya begitu

Bab 86. Waktu Untuk Anak-anak "Mas … kamu yakin ini ide bagus?"Lila menarik lengan suaminya pelan ketika Bayu tengah memasukkan tikar piknik ke dalam bagasi mobil. Wajah perempuan itu masih menyisakan ketegangan setelah malam sebelumnya ada surat ancaman yang terselip di depan pagar rumah mereka.Bayu menoleh sebentar, lalu meraih pipi Lila dengan satu tangan, menatapnya lembut tapi tegas. "Lila, justru karena semua ini lagi nggak aman, aku pengin anak-anak tetap ngerasa tenang. Kita nggak boleh bikin mereka takut.""Tapi Mas … Mila dan Rama—""—Biar aku yang urus semua itu," potong Bayu cepat, meski suaranya tetap tenang. "Hari ini cuma buat kamu, Raka, dan Rafi. Aku nggak mau ada rasa takut di wajah kalian."Lila menggigit bibir bawahnya, ragu. Namun saat menoleh ke arah pintu rumah dan melihat Raka dan Rafi sudah heboh membawa bola plastik sambil berteriak, "Ayo cepat, Papa, Mama!", rasa khawatir itu perlahan luluh."Baiklah," kata Lila akhirnya, menghela napas panjang. "Tapi ka

Bab 88. Aroma Kue dan AncamanPagi itu rumah terasa sedikit lebih hangat dari biasanya. Meski semalam Bayu pulang dengan wajah tegang, Lila berusaha sekuat mungkin menyembunyikan kecemasan yang ia rasakan. Ia ingin rumah ini tetap jadi tempat aman bagi Raka dan Rafi."Raka… Rafi… ayo sini! Hari ini kita bikin kue cokelat bareng Mama!" seru Lila dari dapur sambil menggulung lengan bajunya.Rafi, si bungsu yang selalu semangat, langsung berlari dengan langkah kecilnya yang tergesa-gesa. "Serius, Ma? Kue cokelat? Yang tengahnya lumer itu?""Iya," jawab Lila sambil mengacak rambut Rafi. "Tapi dengan satu syarat.""Apa?" Rafi memiringkan kepala."Kamu dan Kak Raka harus jadi asisten Mama yang super patuh." Lila menatap keduanya dengan gaya seperti koki profesional, tangannya berkacak pinggang.Raka muncul dari ruang tengah sambil membawa spatula plastik. "Aku udah siap, Ma. Aku bakal bikin kue paling enak!""Ya ampun, Kakak sok jago," Rafi manyun, lalu menunjuk ke mangkuk besar di atas mej

Bab 90. Itu Pilihanmu, RamaBayu menarik napas dalam-dalam sebelum membuka pintu gudang tua di pinggiran kota itu. Malam terasa berat. Aroma besi berkarat bercampur lembap menyambutnya. Dari dalam, suara langkah kaki terdengar jelas."Jadi kamu beneran datang."Suara Rama terdengar sinis dari balik tumpukan peti. Pria itu keluar perlahan dengan tangan di saku, wajahnya menyeringai seperti orang yang sudah menunggu mangsa."Aku nggak punya pilihan," jawab Bayu datar sambil menutup pintu di belakangnya. "Kamu juga tahu, Rama, ini semua udah kebangetan."Rama tertawa pendek, dingin. "Kebangetan? Kamu pikir siapa yang bikin semua ini mulai, hah? Kamu yang ambil semua dariku. Semua."Bayu melangkah maju dengan tenang. "Yang kamu maksud ‘semua’ itu… apa? Hidupmu hancur karena pilihanmu sendiri, bukan karena aku.""Pilihan?" Rama mendesis. "Aku udah kerja keras dari awal, Yu. Tapi setiap kali aku hampir sampai… orang-orang selalu bandingin aku sama kamu. ‘Bayu lebih pintar’, ‘Bayu lebih bers