All Chapters of CEO Idaman Menikahi Sekretaris Rendahan: Chapter 151 - Chapter 160

Fajar menyingkap perlahan dari balik pepohonan Serenya, membawa aroma embun dan tanah basah.Rumah Cahaya tampak tenang di kejauhan, tetapi di dalamnya, suasana sedang bergolak.Rafael duduk bersila di lantai ruang bawah, dikelilingi sisa-sisa abu hitam yang tadi malam sempat bergetar seperti makhluk hidup.Ia tidak tidur sejak debu itu berubah menjadi cahaya — dan menembus kulitnya.Tubuhnya terasa aneh.Bukan sakit, tapi seperti ada dua ritme detak jantung yang saling bersahutan di dalam dirinya.Satu manusia, satu entitas lain.Lyra menuruni tangga perlahan, langkahnya nyaris tak terdengar.Begitu melihat Rafael, ia berhenti di anak tangga terakhir.“Sejak kapan kau tidak tidur?”Rafael tersenyum samar. “Mungkin sejak aku mulai takut tidur. Karena setiap aku memejamkan mata... aku melihat laut yang menyala.”Lyra menghela napas, lalu duduk di hadapannya. “Laut itu bukan hanya kenangan. Itu simbol resonansi yang belum tuntas. Kau tahu apa artinya?”Rafael mengangguk pelan. “Bahwa Ah

Kabut tipis menyelimuti Serenya pagi itu.Udara terasa berbeda — seolah seluruh alam sedang menahan napas setelah malam panjang yang berakhir tanpa suara.Di langit, garis putih yang semalam menutup retakan masih tampak samar, berpendar lembut di antara awan.Tak ada lagi badai, tak ada lagi gemuruh. Hanya sunyi yang menenangkan, tapi juga menyisakan kehilangan yang tajam.Lyra berdiri di tepi bukit tempat retakan itu pernah terbuka.Rambutnya tertiup angin, matanya yang merah menatap kosong ke cakrawala.Di tangannya masih ada butiran cahaya terakhir yang sempat jatuh — hangat, lembut, tapi semakin meredup.“Rafa…” bisiknya.Suaranya nyaris tak terdengar, tapi di udara, seperti ada gema yang menjawab.Samar.“Aku di sini…”Air matanya jatuh, mengalir perlahan melewati pipi yang dingin.Lyra menatap langit. “Kalau kau masih di sana… kembalilah. Dunia ini masih butuhmu.”Namun cahaya di tangannya semakin redup hingga akhirnya lenyap, meninggalkan hawa hangat yang menembus kulitnya.Beb

Lima tahun setelah kejadian di gurun perak, dunia terus berubah.Teknologi kini tidak lagi hanya lahir dari ambisi, tapi dari rasa tanggung jawab.Eterna Foundation menjadi jantung peradaban baru — bukan lembaga kekuasaan, melainkan tempat di mana manusia, alam, dan energi belajar hidup berdampingan.Lyra duduk di ruang arsip lama — tempat yang dulunya penuh dengan dokumen perang dan catatan eksperimen rahasia.Sekarang, rak-rak itu dipenuhi buku, jurnal penelitian, dan tulisan tangan generasi baru.Di antara tumpukan itu, ia menemukan sesuatu yang membuatnya berhenti bernapas sejenak:sebuah buku tua berwarna hitam, dengan tulisan di sampulnya yang nyaris pudar:"Log Eterna — Ryan Alexander."Tangannya bergetar saat membuka halaman pertama.Tulisan Ryan masih sama — rapi, tenang, dan penuh perhitungan.Namun yang membuat Lyra tercekat bukan rumus atau catatan teknis di dalamnya, melainkan kalimat pertama yang ia baca:"Jika suatu hari aku tidak kembali, biarkan dunia tahu bahwa aku t

Dunia setelah Resonansi Eterna tampak damai di permukaan.Langit biru keperakan membentang setiap pagi, laut bersih, dan tanaman tumbuh subur dengan energi yang seolah datang dari udara itu sendiri.Namun, seperti sejarah selalu berulang, manusia perlahan mulai menggoda batas lagi.Di ruang tertinggi Eterna Foundation, Lyra menatap layar besar yang menampilkan peta energi global.Setiap titik hijau menandakan stabilitas.Tapi satu titik di timur—warna merah menyala di atas lautan kering—menarik perhatiannya.“Elara,” katanya pelan.Asisten sekaligus kepala penelitian itu mendekat, ekspresinya tegang.“Itu bukan resonansi alami, Bu. Itu buatan. Seseorang sedang mencoba memanggil kembali cahaya Eterna.”Lyra menghela napas panjang. “Mereka tidak mengerti. Eterna bukan alat.”Elara menatapnya ragu. “Lalu kita biarkan?”Lyra menggeleng. “Tidak. Kita hentikan sebelum sejarah mengulang luka lama.”Zenith City.Kota megah hasil rekonstruksi dunia modern — menara kristal menjulang, jalanan te

Langit di atas lembah Valen berubah warna. Biru tenang yang dulu menenangkan kini tersapu semburat ungu pekat. Di pusat anomali itu, energi berputar seperti spiral, membentuk awan yang berdenyut pelan. Bumi seolah bernapas lebih cepat.Di markas Eterna Foundation, alarm bergema tanpa henti.“Frekuensi anomali meningkat 120% dalam dua jam terakhir!” seru salah satu peneliti.Elara menatap layar besar di ruang pusat kendali. “Apakah sumbernya masih di utara?”“Ya, tepat di wilayah bekas Zenith City,” jawab teknisi.Lyra melangkah masuk dengan langkah cepat. “Matikan seluruh saluran resonansi! Jangan sampai titik energi itu menarik sinyal dari inti Eterna.”Tapi sudah terlambat. Layar utama menampilkan kilatan ungu menyambar langit. Garis-garis petir menari liar. Dan di tengahnya, terbentuk sosok samar — tinggi, berwarna abu gelap, dengan dua mata berpendar seperti bara.Elara menelan ludah. “Itu… bukan manusia.”Lyra menatap sosok itu tanpa berkedip. “Itu bayangan yang Echo bicarakan.”