All Chapters of CEO Idaman Menikahi Sekretaris Rendahan: Chapter 131 - Chapter 140

Langit Kota Langit Kedua sore itu berubah warna perlahan—dari biru jernih menjadi keemasan, lalu merah lembut seperti bara yang menenangkan. Angin membawa aroma tanah basah dan wangi bunga mawar langit yang tumbuh subur di taman tengah kota. Dari jauh, pohon itu berdiri tegak, menjulang seperti simbol yang menandai bab baru kehidupan manusia.Rafa berjalan perlahan di antara jalanan berbatu, mengenakan jas hitam sederhana. Rambutnya kini sedikit memutih di sisi pelipis, tapi matanya tetap tajam—penuh keteguhan dan kehangatan yang diwarisi dari kedua orang tuanya.Hari ini, Core Eterna bergetar lagi. Tidak seperti dulu—kali ini, lebih tenang, lebih damai, seolah bukan panggilan, tapi salam perpisahan.“Core mulai beresonansi lagi, tapi frekuensinya stabil,” laporan Lira melalui alat komunikasi. “Apakah kita harus menonaktifkannya?”Rafa menggeleng. “Tidak. Biarkan saja. Aku ingin tahu apa yang ingin disampaikan dunia kali ini.”Ia berjalan ke arah taman pusat kota—tempat segalanya dimu

Beberapa bulan telah berlalu sejak Project LUMEN diluncurkan. Kota Langit Kedua kini menjadi pusat pengetahuan baru, tempat di mana sains dan empati tidak lagi dipisahkan. Pohon mawar langit tumbuh semakin tinggi, kelopaknya memancarkan energi lembut yang menembus langit malam seperti aurora kecil yang hidup.Namun di balik semua keindahan itu, Rafa tahu sesuatu sedang bergerak. Sinyal dari Core Fragment Eterna masih berdenyut—pelan tapi konsisten. Dan denyut itu... kini berpola.Suatu malam, ketika seluruh kota tertidur, Rafa duduk sendirian di ruang kontrol utama. Hologram biru menari di udara, menampilkan pola gelombang energi yang semakin jelas menyerupai sesuatu: gelombang otak manusia.Lira datang dari belakang, membawa jaket Rafa. “Kau belum tidur lagi?”Rafa menatap layar dengan pandangan kosong. “Lihat ini. Polanya berubah. Denyut Eterna... bukan sekadar energi acak lagi. Ia berpikir.”Lira menatap layar, napasnya tertahan. “Berpikir? Maksudmu… sadar?”Rafa mengangguk pelan.

Langit Kota Langit Kedua berwarna keemasan hari itu. Cahaya aurora berbentuk pita panjang melengkung dari timur ke barat, seperti jembatan raksasa yang menghubungkan bumi dan langit. Tidak ada lagi perbedaan antara teknologi dan alam—keduanya telah menjadi satu napas yang sama, satu denyut yang selaras.Namun di ruang pusat LUMEN Core, Rafa Alexander berdiri di depan panel utama dengan wajah serius. Di hadapannya, layar menampilkan pola energi yang bergetar tidak seperti biasanya. Warna biru dan emas yang selama ini tenang mulai berbaur dengan semburat merah tua.Lira datang tergesa-gesa, napasnya terengah. “Aku baru dari stasiun bawah utara. Pola energi yang kita lihat itu menyebar dari kutub. Tapi kali ini, intensitasnya meningkat seribu kali lipat.”Rafa tidak segera menjawab. Tatapannya terpaku pada layar yang kini menampilkan pola yang sangat familiar—bukan pola mesin, melainkan bentuk gelombang jantung manusia.“Lira,” katanya pelan, “ini bukan kerusakan.”“Lalu apa?”Rafa memej

Sepuluh tahun berlalu sejak hari itu — ketika Rafa Alexander menyatukan kembali harmoni dunia.Dunia kini hidup dalam keseimbangan yang bahkan tak pernah dibayangkan oleh generasi sebelumnya. Kota tumbuh seperti taman, lautan bersih, dan teknologi menyatu tanpa merusak. Namun bagi Rafa, di balik semua itu, ada sesuatu yang terus berdenyut pelan… seolah dunia tengah menyiapkan bab baru.Pagi itu, di ruang observasi Lumen Atlas, Rafa duduk sendirian menatap layar holografik yang memantulkan pola energi global.Titik-titik biru menunjukkan kestabilan, tapi di pojok bawah kanan, satu kilatan merah muncul — kecil, tapi nyata.“Anomali?” gumamnya.Pintu terbuka. Seorang gadis muda masuk, membawa tablet.“Paman Rafa,” ucapnya sambil tersenyum, “kami sudah memeriksa. Itu bukan gangguan sistem.”Rafa memutar kursi. “Lalu apa?”“Denyut biologis,” jawab si gadis. “Tapi berbeda dari pola manusia. Frekuensinya… hampir identik dengan Lumen Terra lama.”Rafa terdiam. Dalam diamnya, gema masa lalu te

Dua puluh tahun telah berlalu sejak Lyra menjadi Penjaga Dunia.Di bawah pengawasannya, bumi tumbuh menjadi sesuatu yang nyaris tak terbayangkan oleh generasi sebelumnya.Hutan bercahaya menjalar sampai ke kota, samudra bernyanyi dalam gelombang biru lembut, dan manusia hidup berdampingan dengan makhluk-makhluk baru yang lahir dari perpaduan genetik bumi dan cahaya.Namun bagi Lyra, keindahan itu tak menghapus satu hal — kerinduan.Setiap kali aurora muncul di langit malam, ia menatapnya dengan mata yang penuh harap, seolah mencari sosok-sosok yang dulu membimbingnya.Malam itu, dari menara observasi Lumen Aether, Lyra memandangi bentangan langit yang tak lagi hitam, melainkan biru terang berdenyut lembut seperti nadi.Angin membawa bisikan halus, dan entah kenapa, jantungnya berdebar cepat.“Sudah waktunya lagi, ya?” suaranya nyaris berbisik.Dari belakang, seorang pemuda mendekat — Alden, asisten sekaligus pelatih generasi baru.“Penjaga Lyra,” ujarnya sopan, “energi bumi mulai naik