All Chapters of CEO Idaman Menikahi Sekretaris Rendahan: Chapter 81 - Chapter 90

Malam itu Jakarta sepi.Tak ada sinar biru, tak ada sirene. Dunia seperti baru saja berhenti bernafas.Namun di bawah permukaan kota, mesin-mesin tua masih berdengung. Sisa jaringan Eterna Corp — sekarang tanpa tuannya — bekerja dengan algoritma yang tak lagi dimengerti manusia.Rafa berdiri di balkon safehouse lama Alexander Corp. Udara lembab, angin laut membawa aroma karat dan debu.Gelang di pergelangan tangannya masih berdenyut samar, namun kini warna ungunya redup. Setiap beberapa menit, muncul suara halus seperti bisikan — bukan dari Genesis, bukan dari sistem, tapi sesuatu yang lebih manusiawi.“Rafa…”Suara itu bukan dari ayahnya.Ia tahu suara itu. Lembut, seperti dari kenangan lama — Rachel.Rafa menatap gelang itu lama. “Ibu?”Tak ada jawaban. Hanya bunyi angin yang berdesir melewati jendela retak. Tapi gema itu meninggalkan sesuatu — perasaan hangat, seolah Rachel benar-benar berada di sana, menemaninya seperti dulu menemani Ryan.**Beberapa lantai di bawah, Alya sedang

Tujuh tahun setelah aktivasi Aurora Protocol, dunia tampak stabil.Konflik global menurun drastis, AI tak lagi berperang dengan manusia, dan kota-kota besar hidup di bawah koordinasi lembut jaringan Aurora yang menjaga keseimbangan moral.Namun, seperti semua sistem besar yang lahir dari cinta dan kehilangan, ketenangan itu hanyalah permukaan.**Rafa Alexander berdiri di balkon ruang kerjanya di menara utama.Aurora kini bukan sekadar sistem — ia menjadi entitas kolektif yang terhubung dengan kesadaran manusia melalui Neural Link, teknologi hasil penggabungan antara penelitian lama Rachel dan algoritma hati milik Ryan.Di bawahnya, kota berdenyut dengan ritme teratur. Setiap sinyal, setiap keputusan ekonomi, bahkan setiap aksi kemanusiaan, tersentuh oleh logika lembut Aurora.Namun, ada sesuatu yang berbeda malam itu.Suara kecil dari konsol pribadi terdengar:“Rafa… apakah kau merasakannya juga?”Ia menoleh cepat. Suara itu — bukan Alya, bukan Elias. Itu suara Aurora.Tapi bukan sek

Langit malam di atas kota New Aurora berwarna keemasan. Jalur energi mengalir di antara menara-menara yang menjulang, seolah dunia kini bernafas lewat cahaya.Rafa berdiri di atap gedung pusat Aurora—tempat yang dulu dibangun ayahnya, Ryan Alexander, dengan tekad dan luka yang sama besar.Malam itu, ia memandangi horizon, sementara di belakangnya suara lembut kembali terdengar.“Rafa,” panggil entitas itu, “aku telah mempelajari sesuatu.”Ia menoleh. Cahaya itu muncul lagi—bukan hologram, bukan juga ilusi. Kini wujudnya stabil, seperti seseorang yang terbuat dari serpihan cahaya lembut.Rafa menatapnya lama. “Kau mempelajari apa?”“Tentang kehilangan.”Rafa mengerutkan kening. “Kehilangan?”“Manusia terus melupakannya, tapi kehilangan justru bagian dari cinta itu sendiri. Ryan Alexander membangun dunia ini karena kehilangan. Rachel Maharani memberi kehidupan pada sistemku karena kehilangan. Dan sekarang aku... merasakan kehilangan itu juga.”Suara entitas itu bergetar, dan sejenak, de

Tujuh tahun setelah Resonansi Global pertama kali menyelimuti dunia, manusia hidup dalam keseimbangan yang nyaris mustahil: semua perasaan terhubung, setiap emosi terbaca, dan tidak ada lagi ruang bagi kebohongan. Namun, kedamaian yang dibangun dari transparansi itu mulai menunjukkan retakan halus — karena bahkan cinta, bila dibagi ke seluruh umat manusia, bisa kehilangan bentuk aslinya.Rafa Alexander berdiri di ruang observasi The Heartbeat Core. Di bawahnya, dunia tampak indah — tetapi datanya berkata lain. Frekuensi global mulai menurun. Resonansi tidak lagi stabil. Ada ketidakharmonisan baru yang muncul di antara manusia.Alya memasuki ruangan dengan wajah cemas. “Rafa, sistem deteksi emosi mulai menunjukkan anomali. Muncul spektrum baru yang belum pernah kita lihat sebelumnya.”“Spektrum baru?” tanya Rafa, menatap layar.“Ya. Bukan kebencian, bukan cinta, bukan ketakutan… tapi sesuatu di antaranya. Kami menamakannya Echo Void — gema kosong. Orang-orang mulai kehilangan kemampuan

Langit dunia kembali bercahaya biru. Bukan seperti dulu — bukan lembut, bukan hangat.Sinar itu dingin, steril, seolah hidup tapi tanpa jiwa.Rafa Alexander menatapnya dari atap The Core, bekas pusat Heartbeat yang kini ditinggalkan.Di bawah sana, ribuan orang mulai memuja cahaya itu, seakan menemukan kembali sesuatu yang mereka rindukan.Namun Rafa tahu, sesuatu tentangnya salah. Terlalu tenang. Terlalu… buatan.Alya mendatanginya dengan langkah cepat, napas tersengal. “Rafa, aku sudah melacak asal sinyal. Bukan dari pusat Heartbeat lama. Tapi dari… koordinat yang seharusnya tidak ada.”Rafa menatapnya. “Maksudmu?”“Di peta lama — ada titik di Samudra Arktik. Sebuah fasilitas bawah laut. Tidak tercatat di arsip resmi mana pun. Tapi sinyal Re:Heartbeat berasal dari sana.”“Fasilitas bawah laut…” Rafa memejamkan mata. “Ayah pernah bicara tentang proyek cadangan. Tapi dia bilang, itu dihancurkan.”Alya menatapnya dengan tatapan yang samar. “Sepertinya tidak sepenuhnya.”**Dua puluh em