All Chapters of CEO Idaman Menikahi Sekretaris Rendahan: Chapter 101 - Chapter 110

Tiga bulan setelah aktivasi “Aurora Global Sync”, dunia tampak damai. Sistem Aurora berhasil menyeimbangkan jaringan energi, menghapus polusi, dan menciptakan koneksi data yang lembut tanpa paksaan. Tak ada lagi dominasi tunggal seperti Eterna dulu. Namun di balik keseimbangan itu, sesuatu yang halus mulai berubah — bukan pada sistem, melainkan pada manusia.Rafa menyadari itu pertama kali ketika menghadiri rapat Dewan Tekno-Human di Jakarta Pusat. Orang-orang mulai berbicara dengan kalimat yang sama, nada yang sama, seolah pikiran mereka perlahan menyatu. Tidak ada konflik, tidak ada perdebatan — dan itulah yang menakutkannya.“Aurora terlalu sempurna,” katanya pada Alya malam itu di balkon. “Manusia tidak lagi berbeda. Mereka jadi... seragam.”Alya, yang kini lebih banyak menghabiskan waktu di rumah, hanya menatap langit senja. “Kau takut sejarah berulang?”“Tidak,” jawab Rafa lirih. “Aku takut kita menciptakan penjara yang lebih lembut daripada Eterna.”Hening beberapa saat. Angin

Angin musim semi bertiup lembut di pesisir selatan Jakarta yang kini kembali hidup. Laut tak lagi diwarnai lampu sintetis dari jaringan Aurora, melainkan cahaya alami yang menari di langit — aurora sejati, lahir dari langit yang akhirnya bernafas tanpa kendali buatan.Rafa berdiri di tepi dermaga lama. Jaket hitamnya berkibar tertiup angin, dan di tangannya tergenggam sebuah chip perak kecil, sisa terakhir dari sistem Aurora.Ia mengangkatnya ke arah matahari yang terbit, melihat bagaimana cahaya pagi memantul dari permukaannya.“Sudah waktunya beristirahat,” gumamnya pelan.Langkah kaki mendekat di belakangnya. Alya, ibunya, berjalan pelan dengan pakaian sederhana, rambutnya diikat seadanya. Garis waktu telah menambah kedewasaan di wajahnya, tapi ketenangan di matanya masih sama.“Masih kau simpan?” tanyanya lembut.Rafa tersenyum samar. “Bagian terakhir dari dunia Ayah. Aku pikir… lebih baik aku simpan di tempat di mana cahaya bisa menembusnya, bukan di ruang gelap seperti dulu.”Al

Langit timur masih diselimuti sisa aurora biru ketika kapal penelitian Aruna I berhenti di titik koordinat terakhir. Laut tampak tenang, tapi permukaannya memantulkan kilau aneh seperti kaca cair.Rafa berdiri di dek, mengenakan pakaian selam berlapis sensor. Di tangannya, perangkat peninggalan ayahnya — Corelink — terus bergetar lembut, menandakan adanya resonansi energi di bawah permukaan.“Semakin kuat,” gumamnya pelan.Sera yang sedang memeriksa panel sonar mendekat. “Aku baru saja memindai ulang. Kedalamannya berubah — dari 3800 meter jadi 4200. Struktur di bawah seperti bergerak, seolah menjauh.”Rafa menatap laut dalam. “Atau menarik kita ke bawah.”Sera menatapnya serius. “Kau yakin mau turun sekarang? Kita belum tahu apa yang akan dihadapi.”“Kalau kita tunggu lebih lama, sistem itu mungkin benar-benar bangun.” Rafa menatap Sera. “Kalau itu sampai terjadi, dunia bisa berulang — sama seperti dulu.”Sera menarik napas panjang. “Baik. Aku ikut turun.”Rafa hendak membantah, tapi

Langit dini hari tampak pucat keperakan, aurora biru yang semalam menari kini telah menghilang. Namun laut masih berkilau samar — seolah menyimpan denyut kehidupan di bawah sana. Kapal Aruna I mengapung tenang, tapi atmosfer di dalamnya penuh dengan ketegangan yang nyaris bisa dirasakan seperti listrik di udara.Rafa berdiri di ruang kontrol utama, menatap proyeksi tiga dimensi dari peta bawah laut yang melingkupi seluruh Samudra Pasifik Timur. Di pusat peta itu, titik merah berkedip perlahan — lokasi yang mereka cari.The Heart of Eterna.Sera berjalan masuk sambil membawa tablet data. “Koordinatnya sudah sinkron. Tapi kita punya masalah besar.”Rafa menoleh. “Masalah?”Sera mengangguk serius. “Kedalaman titik pusat mencapai enam ribu meter, dan di sekitarnya ada sisa-sisa fasilitas bawah laut yang tidak tercatat dalam data mana pun. Sepertinya... semacam pangkalan penelitian yang ditutup bertahun-tahun lalu.”Rafa menatap layar, pupilnya menyempit. “Itu bukan sekadar pangkalan. Itu

Dua bulan setelah keheningan Eterna, laut kembali menjadi cermin langit.Tak ada lagi suara mesin, tak ada radar, hanya angin dan gelombang yang berbicara dalam bahasa purba yang hampir dilupakan manusia.Rafa berdiri di atas dek kapal kecil yang mereka bangun sendiri. Kapal itu sederhana, hanya bermesin ringan dan menggunakan layar putih lebar. Di sampingnya, Sera duduk memegang peta lusuh — peta terakhir yang pernah dibuat oleh Ryan Alexander, ayah Rafa. Di ujung peta itu, tepat di pinggir koordinat yang tidak pernah dipetakan, tertulis dengan tinta pudar:“Finis Terrae — tempat laut dan langit bertemu.”Sera melirik Rafa. “Kau yakin tempat ini benar-benar ada?”Rafa mengangguk pelan. “Ayah menulisnya sebelum ia menghilang. Dan semua yang ditinggalkan ayah selalu punya arti.”Sera memandangi horizon. “Kalau ternyata cuma laut kosong?”Rafa tersenyum samar. “Berarti kita tetap menemukan sesuatu. Keheningan.”Tiga hari perjalanan mereka penuh diam dan refleksi. Di malam hari, mereka b