All Chapters of Dalam Dekap Hangat Kakak Ipar: Chapter 51 - Chapter 60

"Iya, aku masih mencintainya." Perkataan itu meluncur dari bibir Revan tanpa keraguan sedikit pun, bagaikan palu godam yang menghantam ulu hati Alyssa. Alyssa merasakan sesak yang luar biasa di dadanya. Kata-kata itu bagai pisau tak kasatmata yang menghujam jantungnya, membuatnya sulit bernapas. Ia tak menyangka, hingga detik ini Revan masih mencintai Maura, wanita yang kini telah menjadi adik iparnya sendiri. Dulu, saat Revan menolaknya dengan kejam, Alyssa sempat memberanikan diri bertanya mengapa. Pada saat itu, dengan kejujuran yang menyakitkan, Revan mengatakan bahwa wanita yang dicintainya adalah Maura. Alyssa pun saat itu merasa dunianya runtuh seketika, hancur berkeping-keping tak bersisa. Dulu, ia, Revan, dan Maura adalah sahabat dekat. Sejak SMA, mereka selalu pergi ke mana-mana bertiga, berbagi suka dan duka. Alyssa pun tak bisa berdusta pada hatinya sendiri, bahwa ia menyukai Revan lebih dari sekadar teman. Ia mencoba memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaannya ya

Jantung Maura berdegup kencang, firasat buruk tiba-tiba menyeruak dalam benaknya. Permintaan apa yang akan diajukan oleh ibu mertuanya? Selama ini, wanita itu selalu bersikap baik dan tidak pernah sekalipun meminta bantuan atau apapun padanya. Ini terasa aneh dan mencurigakan. Mungkinkah ini berhubungan dengan masalah yang sedang dihadapi keluarga mereka? Atau justru sesuatu yang sama sekali tidak terduga dan lebih personal? Maura menelan ludah, menunggu kelanjutan kalimat ibu mertuanya, dengan perasaan yang semakin tidak menentu dan penuh tanya. "Apa yang Mama inginkan dariku?" Maura bertanya dengan suara pelan, menatap ibu mertuanya lekat-lekat. Rasa penasaran dan cemas semakin menggelayuti hatinya. "Mama meminta tolong, tapi bukan sekadar permintaan biasa. Mama ingin kamu mengerti, bahwa apa pun yang terjadi di rumah ini, terutama dengan Dimas, kamu harus bisa menjaganya dengan sebaik mungkin. Meskipun kadang dalam rumah tangga itu ada pasang surutnya, dan semuanya tidak selalu b

"Kenapa? Apa kamu tidak ingin Revan ikut?" "Oh, mm ... bukan begitu." Maura berusaha menutupi kegugupannya. "Revan biasanya sibuk kalau jam-jam segini." "Tidak apa-apa, aku akan mencoba menghubunginya." Alyssa pun mulai mencari nama Revan di daftar kontaknya dan segera melakukan panggilan. Sementara itu, dalam hati Maura, ia berharap Revan tidak mengangkat telepon atau menolak ajakan Alyssa. Ia merasa tidak nyaman jika harus bertemu Revan lagi, apalagi jalan bertiga seperti dulu. Maura melihat Alyssa terus mencoba menghubungi Revan. "Kenapa?" "Revan tidak mengangkat. Aku akan coba hubungi lagi," jawab Alyssa dengan sedikit kesal. Alyssa kembali mencoba menghubungi Revan. Namun tetap saja tidak ada jawaban. Ia tampak semakin frustrasi. "Maura." "Iya." "Bagaimana kalau kamu yang menghubungi Revan?" "Apa maksudmu?" tanya Maura bingung. "Sudah, coba saja. Mungkin Revan mau mengangkat kalau kamu yang telepon," desak Alyssa. "T-tapi ..." Maura berusaha menolak, nam

Maura berjalan menyusuri trotoar, kakinya melangkah tanpa arah tujuan yang jelas. Lampu-lampu jalanan yang temaram seolah mengejek kesedihannya. Ia tak ingin lagi melihat Revan. Lelaki itu begitu menyakitkan baginya. Bentakannya di restoran tadi masih terngiang di telinganya, menghancurkan hatinya berkeping-keping. Kenapa ia selalu berakhir seperti ini? Terjebak dalam hubungan yang salah, dengan orang yang salah? Maura sendiri tak tahu apa yang terjadi dengan Revan akhir-akhir ini. Lelaki itu menjadi lebih temperamental, lebih dingin, dan lebih sering menyakitinya dengan kata-kata. Tapi, sakit ini ... sakit ini terasa lebih perih dari luka lama yang belum sepenuhnya sembuh. Luka saat ia mengetahui Dimas, suaminya, berselingkuh dengan Nabila, adik sepupunya sendiri. Dulu, ia pikir Dimas adalah cinta sejatinya. Sekarang, ia bertanya-tanya, apakah cinta sejati itu benar-benar ada? Air mata mulai mengalir membasahi pipinya. Maura terisak, bahunya bergetar. Ia merasa lelah, sangat lel

"Siapa?" tanya Maura lirih, merasakan firasat buruk. Revan tidak menjawab. Ia hanya menatap layar ponselnya, lalu mematikan deringnya. "Revan, siapa itu?" desak Maura, semakin cemas. Revan menghela napas lagi, lalu menoleh ke arah Maura dengan tatapan bersalah. "Itu ... Alyssa," jawabnya pelan. "Kenapa tidak diangkat?" Revan mengusap wajahnya kasar, tampak frustrasi. "Aku ... aku tidak tahu harus bicara apa padanya." "Kamu harus bicara padanya, Revan. Kamu tidak bisa terus menghindar seperti ini," ucap Maura, meskipun hatinya terasa seperti diremas. "Aku tahu, tapi aku takut," sahut Revan, menatap Maura dengan tatapan memohon. "Aku takut kehilanganmu." Miris. Kehilangan seperti apa yang dirasakan Revan? Padahal, ia bukan miliknya. Maura juga sudah menjadi milik adik Revan sendiri, yaitu Dimas. Hubungan mereka pun hanya sebatas perselingkuhan terlarang, sebuah pelarian sesaat dari kenyataan yang pahit. Maura tahu, ia tidak seharusnya berada di sini, di tempat tidur Revan. Ia