Semua Bab Antara Ambisi dan Cinta: Bab 101 - Bab 110

Mobil SUV hitam dengan kaca film gelap meluncur perlahan di belakang sedan BMW putih yang dikemudikan oleh Elara. Trina berada di balik kemudi, matanya waspada menjaga jarak yang cukup agar tidak menimbulkan kecurigaan. Sementara di kursi penumpang, Cantika duduk membeku—tubuhnya tegak, wajahnya muram, dan pandangannya tak lepas dari mobil putih di depan mereka. “Elara pakai BMW seri terbaru,” gumam Trina tanpa diminta. Cantika melirik dashboard, lalu ke arah BMW putih itu. Mobilnya bersih, berkilau, dan jelas bukan mobil perempuan biasa. Tapi justru dari situlah kesimpulan lain muncul. “Dia bukan pengincar harta,” ujar Cantika pelan. “Kalau dia bisa beli mobil seperti itu … dia nggak butuh uang Ezra.” Trina tidak menjawab. Ia tahu komentar Cantika bukan butuh jawaban, melainkan untuk menyusun logika yang makin rumit di pikirannya sendiri. BMW putih itu berbelok masuk ke kawasan perumahan elit di daerah selatan Jakarta—daerah yang hanya dihuni kalangan atas dan profesio

Langkah Ezra terhenti di ambang pintu ruang kerjanya. Pintu tidak terkunci. Lampu menyala. Dan di balik meja kerjanya—duduk dengan tubuh tegak dan raut wajah tenang—adalah Cantika. Lalu matanya bergerak cepat—menyapu meja. Laptopnya… terbuka. Jantung Ezra berdetak tak karuan. Satu detik. Dua detik. “Sayang… kamu sudah dateng? Dari kapan?” Ezra melangkah masuk, berusaha terdengar santai. Tapi nada suaranya nyaris serak. Cantika menoleh. Wajahnya datar. “Dari tadi, kamu sudah selesai meeting?” “Iya. Maaf agak lama. Klien Swiss suka detail.” Ezra berdiri di dekat meja, matanya melirik layar. Laptopnya sudah tidak di mode aktif, hanya layar gelap. Tapi itu cukup membuat punggungnya menghangat oleh keringat dingin. Ia mencoba tersenyum. “Maaf ya kamu nunggu lama.” “Enggak.” Jawaban itu jatuh begitu saja dari bibir Cantika. Dingin. Ringan. Tapi menghantam. Ezra tahu. Ia tahu apa yang mungkin terjadi. Rasanya Ezra ingin melompat ke masa lalu dan menghapus sat

Suara azan subuh dari masjid dekat rumah sakit terdengar sayup, di luar sana langit masih gelap. Di ruang rawat itu, lampu temaram masih menyala, menyorot wajah pucat Selena yang terlelap setelah semalaman rewel karena infusnya. Cantika yang semalaman duduk di kursi dengan tubuh agak condong ke depan, memandang putrinya lama. Tapi pada akhirnya, ia menarik napas panjang lalu menoleh ke Ezra yang masih duduk di sofa samping ranjang. Dia bangkit dari kursi. “Ezra .…” Suaranya lirih. “Aku harus pulang sebentar. Ada meeting pagi ini dengan Hoshino Group. Mereka langsung terbang dari Jepang, aku nggak bisa absent.” Ezra terdiam. Tatapannya lurus menembus Cantika, tapi tidak ada kata yang keluar. Hanya rahang yang mengeras. Cantika menunduk, jemari meremas tas yang baru saja ia sampirkan ke pundak. “Aku janji, habis meeting aku langsung balik lagi. Aku cuma butuh beberapa jam.” Ezra akhirnya bangkit. Ia berjalan pelan ke meja kecil, menuangkan seg

“Mom ….” Ezra menahan mommy yang hendak menyusul Cantika ke kamar mandi. “Biarin Ezra aja ….” “Dia kenapa sih?” Mommy tampak emosional. Mama Ayara langsung menggendong Selena. Ezra bergegas masuk ke dalam kamar mandi lalu menutup pintu. “Kenapa mereka?” Mama Ayara bertanya kepada mommy Jillian yang dibalas gelengan kepala. Di dalam kamar mandi Ezra mendapati Cantika sedang menunduk dengan kedua tangan menopang ke meja wastafel. Air sup ayam berceceran di meja, wastafel dan lantai. “Sayang,” panggil Ezra lembut. “Stop! Jangan panggil aku sayang kalau masih ada perempuan lain di hati kamu!” mata Cantika memerah. “Tega kamu Ezra, kamu suruh perempuan itu datang membawa sup untuk Selena … maksudnya apa? Kamu mau mendekatkan dia sama perempuan itu? Iya?” Suara Cantika meninggi. Ezra mendekat sambil menyimpan telunjuknya di bibir. “Jangan mendekat, brengsek!” serunya lantang. “Cantika … aku—“ “Enggak usah ngomong, aku tahu semuanya … namanya Elar

“Nan, saya titip Nayaka … mungkin malam ini saya akan menginap di rumah sakit gantian sama papinya.” Cantika berpesan ketika masuk ke dalam kamar si kembar. “Baik Bu … yang sabar dan kuat ya Bu, Selena sudah tertangani dengan baik … sebentar lagi juga pulih,” kata nannynya Selena menguatkan. Cantika tersenyum lembut tapi matanya sembab. Dia menggendong Nayaka yang masih terlelap dan belum mandi, mengecupnya dalam lalu menyimpannya kembali ke box bayi. Setelah itu Cantika keluar dan turun ke lantai satu. “Pagi Bu … sarapan sudah siap,” kata bu Ratri dari bawah tangga. “Makasih Bu ….” Cantik duduk di kursi meja makan, dia harus sarapan sebelum berangkat ke rumah sakit. “Bu, ini saya buatkan teh herbal untuk Ibu.” Bu Ratri meletakan cangkir mug dekat Cantika. “Saya juga membuat untuk bapak, ada di tumbler sama sarapan pagi untuk bapak,” kata Bu Ratri sembari meletakan satu tas berisi kotak makanan. Cantika menatap tas itu sebentar kemudian menatap bu Ratr