“Kapan Mas Faiq kemari, Bi? Umar itu sakit karena rindu ayahnya,” ujar Mufidah sembari memandang ke cermin, di mana tampak wajahnya dan Abinya. Mufidah yang biasanya ceria tampak sedikit murung kali ini. Nada suaranya mendayu, menunjukkan kerinduan yang mendalam pada keponakan kecilnya, Umar, putra Kasih.“Kalau tidak ada halangan, Kamis sore. Tadi dia telepon Abi,” jawab sang ayah santai. Mata tuanya tetap fokus mengemudi, meski sesekali melirik anak sulungnya lewat kaca spion. Raut wajahnya menunjukkan ketenangan, berbeda dengan gejolak di hati salah satu penumpang di kursi belakang.“Alhamdulillah,” gumam Mufidah, senyumnya mengembang. “Semoga bulan depan Fida dapat reward lagi, jadi bisa pulang dan main sama Umar. Masak waktu Fida bawa Umar ke asrama, dicandain Bude Rukayah. Katanya, Umar anaknya Fida, karena mirip.”Tawa renyah Mufidah ditanggapi kekehan kecil Abinya. Kebahagiaan sederhana itu seolah menjadi bumbu dalam perjalanan panjang mereka.
Terakhir Diperbarui : 2025-10-19 Baca selengkapnya