All Chapters of Jodoh Jebakan Dari Opa: Chapter 31 - Chapter 40

Matahari baru naik setengah lingkaran di langit timur. Rumah besar Opa Hartono mulai ramai dengan suara burung di halaman depan dan aroma kopi yang mengepul dari dapur. Suasana kamar Raka dan Anaya masih tenang, hanya terdengar suara lembut AC yang berbunyi. Anaya masih di kamar, sibuk bercermin dengan wajah cemberut. “Aduh gosongnya masih ada. Mas Raka ini gimana sih, katanya aku cantik eksotis. Eksotis dari mana coba…” gumamnya sambil mendekatkan wajahnya ke kaca. Sementara itu, di luar kamar, Raka baru saja turun dari lantai dua, masih dengan rambut sedikit acak karena habis mandi. Ia mengenakan kemeja biru muda, dan Jas biru dongker, terlihat lebih segar dibanding biasanya. Kopi hitam sudah di tangannya, tapi belum sempat ia seruput, Opa Hartono langsung mendekat dengan wajah penuh penasaran. “Rakaaa…” suara Opa menggoda, seperti wartawan yang mencium bau gosip. Raka yang masih setengah sadar langsung berhenti melangkah. “Ada apa Opa, aneg aja melihat ekspresi

Pantai malam itu masih menyisakan suara ombak yang lembut, tapi perjalanan pulang justru membuka bab baru.Di mobil, Anaya sudah mulai bersandar dengan mata setengah merem, wajahnya lelah tapi cantiknya tetap bikin Raka melirik diam-diam.“Eh, Anaya” Raka tiba-tiba buka suara.“Hmmm?” jawabnya malas, mata masih setengah tertutup.“Minggu depan ikut aku ke acara gala kantor ya.”Anaya langsung melek.“HAAAAH?!”Suaranya menggelegar sampai Raka kaget hampir banting stir.“Kenapa teriak, saset? Ini mobil, bukan konser dangdut!”“Mas Rakaaaa…”Anaya menutup wajah pakai kedua tangannya.“Aku nggak pernah ikut acara gala-gala an kayak gitu. Aku nanti malu-maluin!”“Yaelah, gala kantor aja kok kayak mau pesta kerajaan Inggris.”Raka santai sambil senyum jahil.Anaya langsung duduk tegak, waja

Sepulang dari gala, mobil melaju pelan. Lampu-lampu jalan memantul di kaca mobil, tapi suasana di dalam mobil berbeda. Anaya menunduk, wajahnya pucat. Raka, yang menyetir, segera menoleh. “Saset… kamu kenapa? Kok wajahmu pucat?” Anaya menahan napas, menekan perutnya sambil meringis. “Mas… perut aku sakit… nggak tau kenapa, sakit banget mas.” Raka spontan memegang tangannya. “Sakitnya kayak gimana saset? Tadi kamu nikmati banget makanan di sana… apa mungkin kamu salah makan atau ada alergi makanan tertentu?” “Nggak tau Mas..… ini sakit banget…” Anaya meringis sambil nangis, suaranya lirih tak menghiraukan ucapan Raka Raka langsung panik. “Saset! Ya sudah, kamu tenang ya, kita ke rumah sakit sekarang.” Anaya meringkuk di kursi, sambil terus menahan perutnya yang berasa keras. “Mas… aku nggak kuat, mules kayak di remes rem

Malam semakin larut, tapi rumah keluarga Hartono belum juga benar-benar sunyi. Suara TV masih menyala pelan menampilkan episode terakhir dari drakor yang tak sepenuhnya mereka pahami karena terlalu sibuk… Bercanda dan bucin-bucinan.* Anaya sudah mulai merebahkan diri sepenuhnya di sofa, kepalanya bertengger nyaman di paha Raka. Selimut menutup hingga dagu, pipinya yang biasanya cerah kini masih sedikit pucat, tapi ada semburat hangat karena satu hal. Ia tahu, kadal buntung-nya benar-benar jadi suami siaga hari ini. Namun, semua kenyamanan itu tak bisa mengalihkan satu perasaan yang terus mendesak di dalam hatinya atau lebih tepatnya, di dalam perutnya. “Mas…” suara Anaya terdengar pelan, tapi serius. “Hmmm?” sahut Raka tanpa menoleh, matanya masih terpaku ke layar TV. “Mas, aku mau roti.” “.Hah?” Raka langsung menoleh cepat, seperti baru s

Raka duduk di teras rumah dengan wajah datar, secangkir kopi di tangan, dan tatapan kosong menembus kolam ikan. Bukan, dia bukan sedang bermeditasi. Juga bukan sedang mengagumi refleksi dirinya di permukaan air.Dia sedang overthinking.Level akut.Kopinya sudah dingin. Tapi pikirannya masih panas.“Dewa. siapa sih sebenarnya orang ini ”Nama itu sudah seperti ringtone dalam kepalanya. Muter terus, tanpa henti.Anaya masih di kamar mandi, nyanyi-nyanyi lagu lawas sambil cuci muka. Suaranya senang, ringan, dan... bahagia.Melihat tingkat istri sasetnya, malah bikin Raka tambah gatel kepala.“Dia nyanyi. Padahal semalam dianter cowok lain. Kok bisa happy. Apa sebegitu bahagianya dia dengan orang itu?” pikir Raka.“Apa karena cowok itu seusia dia? terlihat lebih fresh, satu frekuensi dan terlalu ...tampan. Apa aku... kalah saing?”Ia mendesah panjang."Hmmm ...aku memang kalah tampan, kalah muda, kalah rapi... juga kalah latar belakang.”Raka memandangi jari kelingkingnya sendiri. Gak n