Semua Bab Di Ranjang Majikanku: Bab 11 - Bab 20

Desas-desus itu memenuhi dapur. Suara berbisik para pembantu lain terdengar jelas, mata mereka melirik tajam ke arah Binar yang berusaha pura-pura sibuk menyiapkan bubur untuk Ardan."Dia keluar dari ruang kerja Tuan kemarin malam, aku lihat sendiri," desis salah satu dari mereka. "Rambutnya acak-acakan, bajunya kusut.""Apa iya? Tapi Tuan, kan—""Tahu apa kalian!" seru Maryam tiba-tiba, memecah bisikan-bisikan itu. Wajahnya tegas. "Kerja! Jangan menggunjing!"Tapi kehebohan sudah terjadi. Binar merasa setiap bertemu yang lain, dia seolah dikuliti dan penuh tuduhan. Dia menunduk, mencoba tetap tenang.Tiba-tiba, suara langkah sepatu hak tinggi yang tidak teratur mendekat. Celia muncul di pintu dapur, wajahnya kusut dan kesal. "Pagi-pagi sudah berisik! Kerja yang becus kalau masih mau digaji di sini!" hardiknya.Para pembantu langsung bubar. Celia tidak tampak curiga dengan obrolan mereka. Dia sudah terbiasa dengan pembantu yang bergosip. Celia mendekat, mengambil kopinya dan melihat

Binar tidak sempat berpikir. Ciuman Bhaga seperti badai yang menyapu semua keraguan. Bibirnya keras dan menuntut, lidahnya menjelajah mulut Binar tanpa malu.Dia mendorong pelan Binar ke arah sofa kulit yang besar dan mewah di sudut ruangan, tanpa melepaskan ciumannya. Punggung Binar yang membentur permukaan kulit yang dingin, membuatnya sedikit terkejut."T-Tuan, ini—" protes Binar lemah di sela-sela ciuman yang membuatnya kehabisan napas. Dadanya naik turun tak beraturan.Tangannya menempel di dada Bhaga yang keras, mencoba menciptakan jarak yang sia-sia."Bukan 'Tuan'," geram Bhaga, memutuskan ciumannya hanya untuk mengalihkan cumbuannya ke leher Binar yang terlihat menggoda.Bibir Bhaga menyecap, menggigit lembut kulit di sana, membuat Binar merintih lemah. "Panggil namaku." Nafas panasnya membakar kulit Binar.Tangannya yang cekatan membuka kancing baju Binar, lalu turun ke bawah, menemukan resleting roknya.Suara resleting yang dibuka dengan cepat berderit di ruangan sunyi. Baju

Matahari masih ada di langit tertinggi, tapi kedua orang di kamar utama tak peduli. Mereka berbagi rasa panas, lewat gairah dan nafsu. Celia sudah merebah di kasur, dengan lingerie tipis, badannya menggeliat di bawah tubuh besar Kevin yang mengukungnya.Bunyi decapan dari cumbuan mereka memenuhi langit-langit kamar. Tangan Kevin yang besar meraih pinggang ramping Celia, menariknya erat. Tubuh mereka menempel, dan Celia mendesah lembut, kepalanya menoleh memberi akses pada Kevin yang menciumi rahang dan lehernya.“Mengajakku main begini di rumah suamimu sendiri,” gumam Kevin di dekat telinganya. “Kamu nakal juga ya, Celia.”“Jangan pikirin dia, Kevin,” desah Celia sambil melingkarkan lengannya di leher Kevin dengan manja. “Fokus padaku saja.”Bau parfum mahal Celia bercampur dengan aroma khas Kevin, menciptakan wewangian yang memabukkan.Tangan Kevin meraba kulit Celia, merobek lingerie itu, gaun tipis itu langsung terbelah dan dibuang ke sembarang arah. Dia menarik nafas dalam. Meski

Paginya, Binar bangun dengan tubuh yang terasa berat dan nyeri. Setiap ototnya menegang, mengingatkannya pada intensitas "percakapan" di ruang kerja Bhaga semalam. Bagaimana pria itu menekannya tanpa lelah hingga beberapa kali, seolah tak ada lagi hari esok.Tetapi ini lebih dari sekadar fisik, ada kelelahan mental. Binar mulai merasa seperti hanya menjadi tempat pelampiasan Bhaga dari frustasi pernikahan dan tekanan pekerjaan.Saat turun ke dapur, tatapan para pembantu lain terasa lebih menusuk dari biasanya. Seorang pembantu muda, berbisik keras cukup untuk didengar, "Wah, jalannya kayak lagi sakit punggung ya? Kerja keras benar semalam."Tawa cekikikan kecil menyertainya. Binar menunduk, pipinya memerah.Maryam menghampiri, wajahnya dingin. Tidak seperti biasanya, kepala pembantu itu tidak menegur para pembantu lainnya yang sibuk bergosip."Binar, kau yang antar Ardan sekolah hari ini. Lalu belanja ke pasar. Ini, daftarnya sudah aku siapkan."Binar mengangguk, mengambil daftar bel

Suasana rumah terasa menegangkan. Para pembantu mengintip dari dalam dan memperhatikan dalam diam.Sedangkan di halaman rumah, Celia berdiri di samping mobil mewah yang masih menyala, wajahnya penuh binar antusias, sangat kontras dengan kemurungan di dalam rumah."Ardan, cepat sayang! Nanti kita telat pesawatnya!" panggil Celia pada anaknya yang masih berdiri di pintu dengan raut sedikit bingung.Kevin, yang sudah duduk di kursi sopir, melongok keluar jendela. "Hey, little man! Ayo naik! Om Kevin sudah siapin game seru buat kamu di iPad!" serunya dengan suara riang.Wajah Ardan langsung berbinar. "Wiii, game!" Dia pun berlari kecil ke arah mobil, tanpa ragu memeluk Kevin yang kini turun untuk membantunya masuk. "Om Kevin, nanti Ardan main yang balapan, ya!""Tentu, boleh banget! Yuk, langsung berangkat!" Kevin dengan mudah menggendong Ardan dan menempatkannya di kursi belakang yang sudah dipasangi car seat.Dua mobil beriringan pergi ke bandara. Setelah pagar besar itu ditutup, semua