LOGINBhaga sedang memperhatikan presentasi di ruang rapat. Tubuhnya ada di sana, tapi pikirannya tidak.Dia tidak fokus mendengarkan apa yang sedang dijelaskan di depan, terlebih setelah melihat ada notifikasi masuk dari Ari.Di bawah meja, dia membuka foto tersebut dan rahangnya mengeras.“Apa-apaan ini?” tanyanya tanpa sadar dengan keras.Pria yang memberikan presentasi langsung tersentak. “Maaf, Pak Bhaga, ada apa?”Bhaga mengangkat kepala dengan dengusan keras. "Maaf, ada keadaan darurat yang harus saya tangani segera."Pria itu berdiri begitu tiba-tiba, membuat kursinya berdecit keras."Rudi," perintahnya pada asistennya yang duduk di samping, "lanjutkan meeting. Urusan apa pun, urus untukku."Sebelum siapa pun bisa protes, Bhaga sudah berjalan cepat keluar ruangan, meninggalkan para investor yang terkejut dan kebingungan.Langkahnya meninggalkan gedung seperti orang kesetanan. Dia menyetir sendiri, melaju dengan kecepatan gila menuju jalan tol yang mengarah ke desa.Setiap kilometer
Nurma melotot pada suaminya, napasnya tersengal karena marah. “Papi! Syarat apa itu? Hal itu justru memberi ruang untuk Bhaga tetap bersama perempuan rendahan itu.”Namun, Djati tidak menghiraukan istrinya. Matanya terus menatap pada Bhaga. “Ini keleluasaan terakhir dari ku, setelah ini tak ada kompromi lagi, Bhaga.”Kepalanya menoleh dan menatap ke depan. “Kau bisa mempertahankan posisimu di perusahaan, tapi nama keluarga kita tidak boleh lagi ternoda. Satu hal saja yang membuat saham kita turun karena kelakuanmu, maka hubungan kalian usai dan kau akan menikahi Selene.”Bhaga mengusap wajahnya kasar, dia tahu syarat ini sulit sekali, dengan keberadaan Selene yang terlindungi keluarganya, sedangkan hubungannya dengan Binar belum benar-benar stabil.Apa ini konsekuensi yang harus dia ambil demi mempertahankan hubungannya dengan Binar?“Kau siap, Bhaga?” tanya Djati lagi. “Bagaimana, kau tak siap, kan, kehilangan segalanya demi perempuan itu?”Nurma mendadak tampak cerah karena ucapan
Bhaga mengikuti Binar yang masuk ke kamar dengan langkah lunglai. Lagi-lagi, Binar merasa kecil diri. Merasa tak pantas dan ingin menyerah.Namun, sebelum itu terjadi. Bhaga memeluknya dari belakang dengan lembut. Langkah mereka terhenti. Binar menunduk, memperhatikan tangan Bhaga yang melingkar di perutnya. Lengan yang kuat dan selalu membuatnya nyaman.“Aku tidak akan bertunangan dengan Selene atau siapa pun. Percayalah padaku. Aku hanya akan menikah denganmu.”Tak ada jawaban. Binar sudah mendengar janji itu berulang kali, tapi Bhaga tak pernah menikahinya.Bhaga meletakkan dahinya ke pundak Binar. Dia menutup mata sejenak, frustrasi menyelimutinya. Selalu hal seperti ini yang menganggu hubungan mereka. Baru saja mereka merasakan kebahagiaan, kini seperti kembali ke titik awal lagi. Lalu apa yang harus dia lakukan?“Sayang…”Ponsel di sofa kembali berdering tak berhenti. “Sebentar ya.” Bhaga mengambil ponselnya dan kembali menghampiri Binar dan duduk di sebelahnya.“Apa lagi, Mi?”
Bhaga membuka mata, mengusap wajahnya dengan tangan. Dia masih sangat mengantuk, tapi sepertinya matahari sudah meninggi. Kepalanya menoleh dan sedikit bingung saat melihat tak ada Binar di sana.“Sayang…?”Dia nyaris panik, tapi mendengar suara gemericik air di kamar mandi membuatnya kembali berbaring dan bernapas lega. Sungguh, ditinggalkan oleh Binar begitu saja ditambah dengan persoalan Selene yang belum selesai, membuatnya semakin takut kehilangan Binar.Perlahan dia duduk dan bersandar pada kepala ranjang. Dia kembali mengusap wajahnya kasar. Tubuhnya sungguh lelah.Kemarin dia menghabiskan hari dengan banyak rapat penting dan saat mendapat kabar tentang Binar, tak berpikir dua kali, dia langsung memutar mobilnya dan mengebut ke sini.Seolah lupa dengan semua beban itu begitu bertemu Binar, Bhaga yang dibutakan oleh rasa rindunya malah melepaskan hasratnya pada Binar, lagi dan lagi sepanjang malam.Tangannya mengulur ke nakas, hendak mengambil ponselnya. Namun, ponsel Binar b
Bhaga memperhatikan setiap inci tubuh Binar.“Kamu baik-baik saja? Bagian mana lagi yang terluka?” Binar terdiam sambil melihat raut khawatir Bhaga yang mencari-cari lukanya. Pria ini, entah bagaimana caranya tahu keadaan Binar yang baru saja nyaris terperosok ke jurang.Binar menggeleng. “Tidak ada, hanya luka goresan ini saja. Itu pun tidak dalam, hanya sedikit perih.” “Besok kita ke dokter ya.” “Tidak mau. Cuma lecet sedikit.”“Sudah terluka, masih saja keras kepala,” tegur Bhaga.Mata Binar berkaca-kaca. Bibirnya bergetar halus saat matanya bertemu dengan mata Bhaga. Dia menjilat bibirnya. Tanpa diminta, Binar mendekatkan dirinya dan mengulum bibir Bhaga dalam. Suara decapan bibir mereka yang beradu memenuhi kamar itu, dan ketika tautan bibir mereka terlepas, Binar sudah bersemu merah.“Kan bisa … kamu sembuhkan saja,” bisik Binar kecil.“Hm? Aku bukan dokter, Sayang.”Binar menggigit bibir. “Maksud aku, sembuhkan dengan sentuhanmu.”Bhaga diam, tapi dalam hatinya bersorak ge
Dari balik semak belukar yang lebat, Ari, mengamati Binar dengan rasa serba salah. Tangannya sudah menggenggam erat senter besar dan tali yang selalu dia bawa.Ari ingin turun membantu, tapi perintah bosnya jelas. Jangan sampai Binar tahu keberadaannya. Tapi kalau Nona-nya itu terluka, dia juga yang bisa dalam bahaya. Pria itu mendekat, melihat keadaan Binar. Dia sedikit lega, karena Binar kini ada di tanah landai dan tidak begitu berbahaya lagi.Namun, hari semakin malam dan di dalam hutan begini keadaan akan semakin tidak memungkinkan. Ari sudah hampir siap melompat turun. Tapi telinganya menangkap suara langkah kaki cepat dan teriakan dari arah berlawanan. “BINAR?! BINAR, KAU DI MANA?!” Suara Tristan! Ari mundur, kembali menyelinap ke balik bayangan. Bagus. Dia datang. Suara langkah kaki semakin mendekat. Tristan berlari menerobos semak, wajahnya penuh kepanikan. Dia mendengar teriakan Binar dari kejauhan saat sedang memeriksa kebun. Dengan senter di tangan, dia menyusuri su







