All Chapters of Terjebak Pernikahan Berduri: Chapter 41 - Chapter 50

Di sekolah, Stevano sama sekali tidak bisa fokus dengan pelajaran. Pikirannya berkelana jauh, ia seperti kehilangan arah hanya dalam waktu sebentar. Tidak pernah ada niat untuknya menyakiti Raisha, namun keadaan yang telah membuatnya terus menyakiti wanita itu.Di tengah lamunannya, mendadak Axel menepuk pundaknya cukup keras sampai membuat Stevano terlonjak dari kursi. Pemuda itu menoleh, melemparkan tatapan dingin dan menusuk pada sahabatnya. "Kenapa? lagi ada masalah sama Raisha?" tanya Axel yang duduk di sebelahnya. "Tidak ada." "Stev, kamu pikir kita berteman baru sebentar? aku sudah mengenalmu cukup lama, aku tahu kalau saat ini kamu sedang tidak baik-baik saja." Stevano mendesah panjang, ia memang tidak bisa menutupi masalahnya dari sahabatnya. "Bianca sudah sadar," kata Stevano tanpa menatap Axel. "Apa?!" suara Axel naik satu oktaf. "Kapan?" "Belum lama, aku juga baru berkunjung ke sana tiga kali." "Sebentar, kenapa kamu ke sana?" Axel menggeser posisi duduknya menjadi

Stevano mengerem lebih keras dari seharusnya. Amarahnya mendadak naik, dan sulit di kontrol.Mobil berhenti mendadak tepat di garis putih, membuat dada Bianca kembali terdorong ke depan. Stevano menoleh, menatap Bianca dengan tatapan tajam yang tidak pernah ia tunjukkan sebelumnya."Berhenti berbicara seenaknya," ucap Stevano dengan suara rendah.Bianca terdiam beberapa detik, kaget, marah, lalu tersinggung dengan ucapan yang Stevano lontarkan."Aku cuma bilang kamu berubah," balas Bianca, suaranya meninggi. "Dulu kamu selalu nurut apa pun yang aku mau. Sekarang? kamu bahkan tidak bisa bersikap manis sedikit pun padaku!"Stevano mengusap wajahnya kasar.Kepalanya berdenyut.Emosinya kacau.Bayangan Raisha yang makan sambil menunduk, mata sembabnya, senyum canggungnya… terus menghantui benaknya.Bianca tidak tahu.Tidak akan pernah tahu.Dan ia tidak bisa menceritakan apa pun pada gadis itu."Bia… aku cuma capek," ucap Stevano akhirnya, menahan nada suaranya agar tidak meledak."Capek?"

Ruangan itu mendadak terasa lebih sempit. Pernyataan Stevano menggantung di udara, memukul tepat di dada setiap orang yang mendengarnya.Helena memegangi mulutnya, terkejut sekaligus tak percaya. Kenzo memejamkan mata sejenak, seolah menahan diri agar tidak meledak oleh jawaban anaknya."Jadi begitu," ucap Kenzo perlahan. "Kamu tidak siap kehilangan Bianca… tapi kamu juga tidak siap bertanggung jawab pada istrimu.""Papa tidak mengerti," desis Stevano. "Papa sangat mengerti," balas Kenzo cepat. "Kamu sedang mempertahankan masa lalu dan masa depanmu di saat yang sama. Dan kamu justru menghancurkan keduanya."Stevano bangkit berdiri, langkahnya gelisah seperti binatang yang terperangkap. "Bianca bangun dari koma setelah sekian lama. Dia tidak punya siapa-siapa kecuali aku. Dia bahkan… lupa hampir semua yang terjadi sebelum kecelakaan. Dia mencari aku. Apa aku harus pura-pura tidak mengenalnya?""Raisha mengandung anakmu," balas Kenzo tanpa memberi ruang jeda. "Dan kamu yang membuatnya

Pintu apartemen terbuka lebar dan sosok Stevano muncul dengan pakaian yang sudah kusut, ia menoleh ke segala arah namun ia tidak melihat sosok istrinya. Hari sudah pagi, biasanya jam enam Raisha sudah bangun dan berada di dapur. Akan tetapi sekarang di dapur hanya ada Bi Jumi yang sedang memasak, Stevano menutup pintu apartemen dan mendekati dapur. "Bi, Raisha mana?" tanya Stevano. Bi Jumi mengalihkan pandangan dari kuali ke arah Stevano. "Nyonya baru aja pergi, Den." "Pergi?" kening Stevano berkerut halus. "Ke mana?" "Nyonya tidak bilang, tapi dia pesan katanya kalau pergi cuma sebentar." "Pergi sama supir?" tanya Stevano. Bi Jumi mengangguk. "Iya, Den." Merasa sudah cukup mendapat informasi, akhirnya Stevano beralih melangkah menuju kamarnya. Begitu membuka pintu, aroma parfum mawar menyeruak ke dalam indra penciumannya. Parfum mawar menjadi ciri khas Raisha, sejak menikah gadis itu kerap menggunakan minyak telon namun Stevano tidak menyukainya hingga Raisha beralih menggun

"Bisa tidak sih, kamu tidak merepotkan aku terus hah?!" suara Stevano naik satu oktaf. "Dasar beban." Raisha membeku. Kata-kata itu menghantam dadanya lebih kuat daripada rasa nyeri yang tadi membuatnya pingsan."A-aku … Kak, aku cuma—""Kamu cuma apa?!" bentak Stevano. "Kamu pikir aku tidak punya hidup selain mengurus kamu?! dasar perempuan tidak bisa mikir! baru hamil sedikit saja sudah menyusahkan!"Raisha menahan napas, jemarinya gemetar. Seluruh tubuhnya tiba-tiba terasa dingin."A-aku … m-maaf," ucapnya lirih."Maaf?! kamu itu bikin malu, Raisha!" suara Stevano terdengar penuh jijik. "Hamil empat bulan, terus jadi beban mulu. Kamu pikir kamu siapa sampai semua orang harus selalu tahu kamu ada di mana?! kamu itu merepotkan!"Air mata Raisha jatuh tanpa bisa ia tahan."Aku tadi mau ke sekolah tapi aku … sakit perut, Kak. Aku—""Kamu selalu punya alasan!" potong Stevano tajam. "Hidup aku sudah cukup ribet, Raisha. Dan kamu menambah beban itu. Kalau bukan karena keadaan, aku tidak