Semua Bab Setelah Aku Kau Miliki: Bab 21 - Bab 30

"Mas, jangan lupa kalau besok ada jadwal ke Surabaya.""Iya, aku ingat. Sudah itu saja. Hendel kantor, ya.""Oke."Telepon dikembalikan Emir di tempat semula. Jangankan dia, adiknya pun sudah lelah dengan kelakuan mama mereka. Emir memperhatikan jalanan di hadapan. Entah ke mana lagi harus mencari Naima dan Zahra. Kalau tahu perginya ke kota mana, akan mudah tempat yang dituju. Tapi ini, Emir tidak punya gambaran sama sekali. Namun ia akan menemukan mereka apapun caranya.Emir menatap kosong ke arah jendela mobil yang berembun. Ia ingat bagaimana dirinya dan Naima saling mencintai. Hidup mereka aman sebelum mamanya ikut tinggal serumah. Sebelum mantan datang menyibukkan diri dengan alasan perhatian pada anak.Antara dirinya dan Naima seperti menemukan kembali cinta yang hilang. Mereka bahagia, saling tatap penuh cinta. Sebelum semuanya terasa asing karena kehadiran mertua dan mantan. Namun ketika malam mereka bercerita di kamar, Naima adalah pendengar yang baik. Fokus pada suami dan

Ingin rasanya Ezar bilang iya. Tapi yakin saja, sang mama pasti akan murka. Ezar menarik napas dalam-dalam. Ia ingin melihat keluarga kakaknya damai lagi. Karena Emir itu bukan cuma kehilangan istri. Tapi juga kehilangan ketenangan."Sudah, jangan bahas itu lagi. Sekarang pikirkan dirimu sendiri. Kapan mau lamaran sama April. Mama merestui kalian. Dia sopan, keluarganya juga baik.""April takut, Ma. Nanti diperlakukan seperti Mbak Naima."Deg. Wajah Bu Anjar merah padam menahan amarahnya. "Kamu ini nggak ngerti juga. Mereka ini beda. Naima juga bawa anaknya yang nakal itu. Bagaimana bisa mama negain Aurel di sini.""Dan Mama lebih percaya sama mantannya Mas Emir yang kegatelan lagi setelah melihat Mas Emir sekarang sukses?"Bu Anjar menahan geram pada putra bungsunya. Ezar memang lebih pandai melawan daripada Emir. Kalau Emir masih hati-hati jika bicara."Orang tuanya Yesi jelas, Zar. Terhormat dan terpandang.""Percuma terhormat dan terpandang tapi kelakuan anaknya nggak terpuji. Leb

SETELAH AKU KAU MILIKI- 16 Titipan Setelah menelepon Aurel, Emir merapatkan jaketnya karena udara dingin seakan menembus hingga ke tulang. Secangkir kopi disesapnya dalam-dalam. Sebatang rokok ia keluarkan dan dinyalakan. Asapnya berembus ke udara menyatu dengan kabut malam. Ia duduk di balkon vila itu. Di tempat yang sama, kota yang sama, kamar yang sama, tapi tidak lagi dengan orang yang sama. Ia sendiri kali ini. Kursi di depannya kosong. Dulu di kursi itu Naima duduk, mengenakan sweater abu-abu dan selimut tipis yang selalu ia bawa ke mana-mana karena hawa memang begitu dingin.Namun kini hanya sunyi yang menemaninya.Emir menarik napas panjang. Dua setengah tahun yang lalu, ia mengajak Naima, Zahra, dan Aurel ke kota ini. Di kamar ini juga mereka berempat menginap. Sebagai momen bulan madu setelah seminggu sebelumnya ia menikahi Naima. "Ini bukan bulan madu, Nai. Ini liburan keluarga," ujarnya seraya merangkul Naima disaat anak-anak tidur siang setelah kelelahan bermain."Ngg

"Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam." Terdengar jawaban dari dalam."Papa!" seru Aurel yang muncul dari dalam dan berlari ke arahnya sambil membuka tangan lebar. Emir berjongkok, menyambutnya dalam pelukan. "Papa ke mana aja? Aurel kangen banget," tanya bocah umur tujuh tahun itu dengan mata menatap lekat.Emir mengelus kepala putrinya lembut. "Papa ada kerja di luar kota, Sayang. Makanya nggak pulang beberapa hari."Mereka berpelukan lama. Biasanya Rasa lelah Emir luruh di pelukan kecil itu. Namun sekarang tak seperti dulu. Karena ada pelukan lain yang hilang darinya. Zahra, yang selalu tersenyum hangat padanya.Ketika Emir menggendong anaknya masuk ke dalam, ia disambut senyum dan sapaan Yesi. "Mas."Emir menatapnya dengan pandangan dingin. Tanpa menjawab, Emir menurunkan Aurel. "Papa mandi dulu," ucapnya lantas masuk ke kamar.Ia mandi dengan cepat, salat asar, kemudian kembali keluar. Saat itu Yesi sedang sibuk membereskan mainan Aurel. Emir menghampiri sang mama yang baru kelua

Mendengar ucapan sang mama, Zahra mengangguk patuh. Naima menatap anaknya dengan rasa haru yang terasa begitu berat. Di balik senyum itu, ada rasa pedih yang ia sembunyikan. Rasa bersalah karena telah menyeret anak sekecil itu dalam kisah rumit antara cinta dan luka orang dewasa.Selesai makan, mereka langsung keluar restoran. Naima membenahi jaket yang dipakai Zahra sebelum mereka kembali naik motor. "Kalau ketemu Papa, Zahra mau peluk Papa lama-lama, Ma. Biar Papa tahu Zahra nggak marah karena Papa lama nggak datang."Naima terkesiap, matanya berkaca. Ia membelai kepala anaknya seraya merapikan poni kecil yang jatuh di dahi. "Yuk, kita pulang." Dibantunya sang anak naik ke boncengan motor."Ma, kenapa nenek membenci Zahra. Tapi sayang banget sama Aurel? Kenapa nenek membedakan kami, Ma?" Akhirnya Zahra menanyakan hal itu juga. Naima yang hendak naik motor, diam sejenak menatap putrinya. "Nggak apa-apa. Ada mama yang sayang sama Zahra. Yuk, kita pulang!"Motor kembali melaju meningg