All Chapters of Gelora Hasrat Pewaris Takhta Dhirendra: Chapter 121 - Chapter 130

Sesungguhnya, Isla tak perlu memberikan pilihan seperti itu karena dia tahu jika pilihan Kilan pasti akan jatuh padanya.Lelaki seperti Kilan tidak pernah siap kehilangan apa pun yang sudah ia anggap miliknya.Terlebih lagi… Isla.Isla tahu itu.Ia tahu Kilan bisa melakukan apapun sesukanya. Tapi Isla yang paling tahu jika Kilan tidak bisa menahan ketakutan akan kehilangan dirinya.Dan saat Isla mengucapkan kata-kata itu, kata-kata yang menusuk tepat di titik paling lemah Kilan, pertahanan pria itu runtuh begitu saja.“Apa nggak ada pilihan lain?” Kilan mengembuskan napas panjang, berat, seperti seseorang yang baru saja dijatuhkan ke jurang.Isla dapat melihat perubahan itu dengan jelas. Mata Kilan, yang tadi penuh bara marah dan ego, kini meredup menjadi campuran panik dan keputusasaan.Jari-jarinya mengepal dan membuka lagi, seperti tidak tahu di mana harus menaruh tangan.Sementara Ferania membeku d

Di ruang tamu kediaman Dhirendra, suasana tegang terasa mencekik. Ruangan yang didominasi oleh sofa-sofa mewah dan lukisan-lukisan mahal, tetapi kemewahan itu terasa kontras dengan aura permusuhan yang menyelimuti.Adnan duduk tegak di salah satu sofa, diapit oleh Yuria yang tenang dan menampakan wajah angkuhnya sementara Ferania yang kini menunduk cemas. Mereka semua menunggu.Ketika keluarga Dhirendra masuk, Adnan langsung bangkit berdiri.Kilan masuk dengan langkah gontai, wajahnya masih pucat. Isla berjalan tenang di sampingnya. Joseph, Sarai, dan Kavian menyusul.Joseph mengambil tempat di sofa utama, dengan Sarai di sampingnya, sementara Kavian duduk di sofa single dengan kaki yang saling bertumpu angkuh. Kilan dan Isla duduk berseberangan dengan keluarga Radneswari.“Sekarang,” ujar Joseph, suaranya rendah dan penuh otoritas. Dia menatap tajam ke arah Adnan. “Jelaskan padaku, Adnan. Tanpa berteriak. Apa yang sebenarnya terj

“Kamu hanya perlu menikahinya. Aku akan tetap menjadi istrimu dan Ferania akan menjadi istri keduamu.”Keheningan yang mencekik turun di ruangan itu. Kavian langsung tertawa sinis, sementara Sarai terkejut. Adnan dan Yuria terlihat bingung, tetapi mata mereka berbinar karena kemungkinan mendapatkan status ganda.Joseph menatap Isla dengan pandangan yang kompleks.“Isla, kita hidup di Indonesia. Poligami hanya diperbolehkan dengan izin pengadilan dan memenuhi syarat yang sangat ketat. Itu tidak semudah yang kau katakan.”“Aku tahu, Papa” balas Isla, nadanya tetap tenang. “Tapi... jika Kilan menolak menikahi Ferania, keluarga Dhirendra akan menghadapi skandal yang jauh lebih besar. Kilan sudah mengaku menghamili Ferania. Sekarang, jika Kilan menolak bertanggung jawab penuh, Ferania bisa membawa ini ke media dan menuntut secara hukum.”Isla menatap Adnan.“Papa, aku berikan apa yang Papa mau

Kilan menatap nanar kamar baru yang ia tempati malam ini. Kamar itu memang mewah, tetapi ukurannya hanya seperempat dari kamar utama yang ditinggalkannya. Furnitur yang dingin, tanpa sentuhan pribadi, terasa seperti sel penjara yang mahal.Ferania, di sisi lain, tampak sibuk mondar-mandir, mencoba mengatur koper-koper miliknya.“Kak Kilan kenapa malah diam di sana? bantu aku rapikan pakaian dong!” ucap Ferania merengek.“Rapikan sendiri! Tugas istri itu melayani suami, jadi sudah kewajibanmu menyiapkan semuanya” Seru Kilan ketusFerania mengganga “Kakak kok tega sama aku? Aku lagi hamil loh!” rengeknyaKilan tidak bergerak. Dia membuka sebotol whisky dan menyesapnya langsung dari botol.“Kak!”“Berisik! Aku sudah memberimu anak dan status, Ferania,” jawab Kilan dingin. “Jangan menuntut lebih dari itu. Urusan koper bukan masalahku. Panggil saja pelayan buat rapikan baran

Keesokan paginya, ruang sarapan keluarga Dhirendra agak berbeda dari hari biasanya.Semua itu karena kehadiran Ferania yang ceria.Ceria bukan dalam arti yang menyenangkan, tetapi berisik.Wanita yang kemarin sudah resmi menjadi istri kedua Kilan itu duduk di meja makan dengan santainya. Dia masih mengenakan gaun tidur sutra yang sedikit terlalu mencolok untuk suasana sarapan formal keluarga DhirendraFerania berusaha keras mengisi keheningan dengan cerita-cerita tentang dirinya, mengajukan pertanyaan-pertanyaan berlebihan tentang sejarah keluarga, dan sesekali memanggil Kilan dengan sebutan 'Sayang' dengan volume yang tidak perlu.Sedang Kilan duduk di seberang meja, terlihat seperti mayat hidup. Dia menghindari kontak mata dengan siapa pun dan hanya menyeruput kopinya dengan cepat.Kehadiran Ferania, yang secara resmi adalah istrinya yang baru, di meja sarapan ini terasa seperti duri di tenggorokannya, apalagi setelah malamnya ia habiskan sendirian di sayap timur.Sarai sendiri terl