Keesokan paginya, matahari sudah tinggi, tapi kamar Rini masih gelap. Tirai jendela ditutup rapat, hanya celah tipis cahaya yang menembus masuk. Rini masih meringkuk di kasur, wajahnya kusut, rambut acak-acakan.Arman mengetuk pintu pelan. “Mbak, ayo bangun. Kita harus berangkat cari kerja lagi. Kalau kesiangan, bisa-bisa kena marah.”Tak ada jawaban. Arman menghela napas, lalu membuka pintu. Ia menemukan adiknya masih memeluk guling dengan wajah murung.“Mbak… kamu dengar nggak? Ayo, jangan malas.”Dengan gerakan malas, Rini hanya memutar tubuhnya, membelakangi Arman. “Aku nggak mau, Man. Cape…”Arman mendekat. “Cape gimana? Kita semua lagi susah. Kalau kita nggak usaha, kita mau makan apa?”Rini mendadak bangkit, duduk bersandar di dinding. Matanya merah, entah karena kurang tidur atau karena menangis. “Aku males, Man. Kamu pikir gampang? Sarjana macam aku ini, dengan pengalaman segitu banyak, malah disuruh jadi staff packing di usahanya Agung? Apa nggak keterlaluan namanya?”Arman
Last Updated : 2025-11-22 Read more