Semua Bab BRONDONG TENGIL BU DOSEN!: Bab 61 - Bab 70

Detik itu juga, seluruh otot di tubuh Mayang menegang. Sialan, bisa-bisanya gadis itu dengan gampangnya mau mengumbar adegan vulgar bersama pacarnya. Karena masih di lingkungan kampus, Mayang tetap memaksa bibirnya membentuk senyum kaku. "Kamu nggak usah khawatir, Sab. Rahasia kamu aman," ujar Mayang. Dengan suara tenang demi menjaga wibawanya sebagai dosen, meski terasa getir di ujungnya."Saya bukan tipe dosen yang suka mencampuri kehidupan pribadi mahasiswa," tambahnya. "Dan seperti yang kamu bilang, kasihan Gilang kalau sampai beasiswanya dibatalkan hanya karena yaahh ... kecelakaan.""Terima kasih, Bu. saya tahu Ibu orang baik dan bisa dipercaya," balas Sabrina lega.Mayang tertawa ringan, dan berkata lagi, "Ada lagi yang mau kamu katakan? Saya harus kembali ke ruang dosen, masih ada materi kelas yang harus saya siapkan."Tanpa menunggu jawaban Sabrina, Mayang segera berbalik. Ia melangkah cepat menjauh dari depan ruang dekan, dan berjalan menuju toilet umum pria dan wanita. Di

"Uluuuhh ... maafkan Gilang, Mayang sayang ..." Gilang merogoh kantung celananya, mengeluarkan selembar saputangan wangi mint dan mengusapkannya ke wajah Mayang. "Kalau sudah tenang, kamu boleh cerita semuanya sama aku. Aku siap mendengarkan. Okay?"Mayang mengangguk-angguk sambil menggigit bibir bawahnya, menahan air mata yang terus mengalir tanpa kompromi. Kemudian Mayang kembali menyandarkan kepalanya ke dada Gilang, menghitung detak jantung pemuda itu.Kehangatan tubuh Gilang membuat dunia solah berhenti berputar. Dalam pelukan pemuda itu, Mayang merasa bagai wanita yang begitu dicintai. Detik itu juga, perbedaan usia mereka benar-benar tiada artinya lagi."Mayang nggak boleh nangis lagi, ya," bisik Gilang. Tangannya terus mengusap punggung Mayang pelan-pelan. "Kalau sama Gilang, Mayang cuma boleh senyum. Ketawa-ketawa. Nggak boleh sedih, apalagi nangis."Mayang mengerucutkan bibirnya manja. Seberkas senyum tipis perlahan terbit di sela sisa air matanya. Setelah tangis itu reda, Gi

Gilang menyipitkan mata. Kali ini, dia menangkap dengan jelas, ada yang tidak beres dengan Mayang. Sebelum sambungan telepon putus, dia hanya menyahut 'iya' pelan, lalu bergegas membeli satu kotak lolipop stoberi.Beberapa menit kemudian, dia sudah membungkuk di atas motor, menunggu Mayang sambil memainkan ponselnya. Kali ini dia melupakan sejenak artikel-artikel tentang cara memuaskan seorang wanita di atas ranjang atau gaya bercinta tahan lama. Dia justru membuka-buka artikel tentang cara memahami wanita.Matanya menelusuri layar."Kebiasaan wanita yang membingungkan para pria," bacanya. "Wanita kalau bilang terserah, itu artinya dia tahu apa yang dia mau, tapi tidak mau bilang. Hah? Masa sih?" Alis Gilang terangkat setengah. "Eh, tapi Mayang kayaknya nggak pernah bilang terserah, deh. Apa dia ... bukan wanita?"Gilang menggulir lagi layar ponselnya, mencari artikel yang pas untuk dia pelajari. Tapi rupanya otak encer dalam urusan akademik, tak menjamin encer juga dalam urusan perci

"Hueeekkk! Hueeekkk! Akkhh! Mual banget ... aduuhh ... muaall ..." Sabrina membungkukkan badannya ke atas toilet duduk di dalam kamarnya.Sabrina membungkuk di atas toilet duduk, tubuhnya lunglai, wajahnya pucat pasi. Sudah sejak pagi hingga malam hari, ia nyaris tak bergerak dari tempat tidur. Tenaganya habis. Yang bisa ia lakukan hanya berguling ke kiri untuk meraih segelas air di atas nakas, lalu berguling ke kanan untuk mengecek ponsel.Puluhan kali ia mencoba menghubungi Gilang. Tapi tak ada hasil. Tak satu pun panggilan tersambung. Sabrina mulai curiga Gilang punya dua atau bahkan tiga nomor ponsel lain."Berengsek!! Ke mana sih dia? Pas gue butuh malah nggak bisa dihubungi? Seneng banget kayaknya nggak ketemu gue di kampus! Sialan! Huuueekkk!!"Ia memuntahkan sisa cairan terakhir perutnya yang hanya berisi air putih. Tenggorokannya perih, karena terlalu memaksakan diri untuk muntah. Kepalanya berdenyut hebat. Perut kosong seharian, tak ada asupan apapun selain emosi yang terus

Satu jam perjalanan lebih sedikit itupun berhasil dilalui tanpa drama nyasar seperti kemarin. Karena kali ini, setiap Mayang mulai ragu-ragu, Gilang memilih segera dan mengamati jalur peta secara langsung. Baru setelah yakin dia kembali melajukan motornya.Sesuai dengan titah ibu negara—Mayang Sari tanpa Indriani—Gilang membelokkan motornya ke pom bensin terdekat. Sekalian mengisi amunisi kuda besinya, sebelum drama nyasar berubah menjadi drama dorong motor.Sementara Gilang mengantri bahan bakar, Mayang turun dari motor dan berlari menuju toilet umum. Tak lama kemudian, ia keluar dengan wajah sumringah."Lega banget … untung cepet ketemu toilet," gumamnya sambil memasukkan selembar uang lima ribuan ke kotak kebersihan dekat pintu toilet. "Kalau sampe rembes nggak ketahan kan gawat."Dari kejauhan, Gilang masih terlihat mengantri bersama sekitar lima orang lainnya. Wajar agak ramai, hari itu akhir pekan dan banyak orang sengaja mengajak pasangan atau anak mereka untuk jalan-jalan, men