Semua Bab Skandal Satu Malam Bersama Pak Dosen: Bab 71 - Bab 80

“Agnia, apa kamu sedang berusaha menggoda saya?” tanya Irgi menatap sayu. Diiringi dengan pergerakan jakunnya yang turun naik. Mendengar itu, sontak saja pupil mata Agnia pun melebar. Kemudian, ia refleks menggeleng dan menundukkan pandangannya sambil menarik turun tangan kiri yang semula sempat bertengger di pundak sang dosen. “Ng-nggak, kok, Pak. Sa-saya kan udah bilang kalo saya lupa nanya handuk ke Bapak. Lagipula, wajar aja kan kalo saya pake kemeja ini, orang saya gak punya pilihan lain,” cicit Agnia tak bosan menjelaskan. Sementara itu, ketika tangan Agnia sudah merosot turun dari pundaknya, Irgi justru malah menggantinya dengan satu tangannya yang sigap ia lingkarkan di pinggang Agnia. Menarik rapat ke arahnya, seiring dengan satu tangannya lagi yang ia gunakan untuk menyentuh dagu sang wanita yang kemudian ia angkat perlahan. “Kamu bisa berteriak minta handuk sama saya kalau kamu mau. Tapi, kamu malah lebih memilih memakai kemeja ini daripada minta saya ambilkan handuk un

“Apa?” Irgi memekik kaget. Dalam sekejap, si pria pun sampai batuk-batuk seiring dengan tersedak juga oleh air liurnya sendiri. Sementara itu, Agnia hanya bisa menahan malu di tengah kepala yang tertunduk dengan kedua tangan saling meremas. Irgi menghela nafasnya sejenak. Sempat mengusap wajahnya sendiri sebelum akhirnya ia berkata, “Ya sudah, kita makan saja dulu. Nanti sore, saya ajak kamu ke pasar malam untuk belanja keperluanmu selama di sini. Soal kondisimu sekarang, biar saya pikirkan sehabis makan nanti.” Pria itu sedikit salah tingkah di tengah tangan yang mengusap tengkuk. Sesudah berkata demikian, ia pun melengos duluan menuju ruang tengah. Meninggalkan Agnia yang masih kikuk sendiri, tetapi harus terpaksa ikut keluar kamar demi mengisi perutnya yang mulai keroncongan.*** Seusai makan bersama yang dilakukan secara khidmat tanpa adanya percakapan yang dilakukan, Agnia yang merasa perutnya sudah kenyang pun lalu bertekad untuk bangkit dari duduknya sambil membawa piring b

Baru saja Agnia memejamkan mata dan berniat tidur demi meredam suasana hatinya yang sedikit berantakan. Tahu-tahu, seseorang datang mengguncang tubuh si wanita yang seketika pula menggagalkan niat Agnia semula. “Agnia, kamu tidur?” tanya si pengguncang memastikan. Menyebabkan si pemilik tubuh refleks mendesah kasar seiring dengan matanya yang terpaksa dibuka kembali.“Apa, sih?” balas wanita itu ketus. Sempat mendecak sebelum akhirnya menoleh judes pada sosok pria yang tak lain adalah Irgi. “Bangun dulu. Di luar ada es buah, saya yakin kamu pasti suka,” lontar Irgi tanpa ragu. Untuk sesaat, sedikit berhasil membuat Agnia mengubah posisi berbaringnya, dari yang tadinya miring membelakangi Irgi, kini menjadi terlentang menatap pria itu keki. “Kebetulan sekali kan cuacanya sedang lumayan terik. Mumpung masih dingin, ayo kita santap bersama!” ajak sang pria semangat. Akan tetapi, rupanya malah membuat Agnia mendelik curiga hingga mulutnya bersua, “Es buah dari siapa emangnya? Perasa

‘AGNIA MALU IH!’ jerit hati kecil sang wanita. Sementara itu, wajah Agnia sendiri sudah sangat memerah di tengah ia yang tak menyangka jika dosennya ini akan sepeka itu. Padahal, awalnya pun Agnia tidak bermaksud menunjukkan ketidaksukaannya pada es buah pemberian si perempuan bernama Hanifah itu. Akan tetapi, siapa sangka jika ujung-ujungnya Irgi paham juga. “Apa kamu tidak suka juga dengan es krimnya, Agnia?” Tiba-tiba, sang dosen melayangkan tanya tatkala mendapati Agnia yang belum mencicipi satu pun es krim dari semua varian yang Irgi berikan. Menoleh, Agnia yang meringis sejenak pun lalu berusaha keras untuk tidak menunjukkan betapa dirinya masih sangat malu dengan kepekaan Irgi yang tepat sasaran. Meski begitu, Agnia pun merasa harus menghargai pemberian dari sang dosen. Oleh karena itu, ia pun lekas membuka kemasan es krim corong yang pertama kali Irgi tempelkan di pipinya tadi. “Sebelumnya, makasih banyak loh, Pak. Udah beliin saya es krim dengan semua varian yang ada. Pa

“Ru-Rumah Bapak?” beo Agnia tersendat. Menyudahi aksi bersandarnya, Irgi kini sudah kembali duduk tegak seraya mengangguk dan menatap sang wanita serius. “Ya. Menjadi tempat saya pulang ketika letih. Rumah yang benar-benar nyaman, dan tidak seorang pun boleh menempati rumah itu kecuali saya seorang,” tandas Irgi posesif. Untuk sesaat, berhasil telak membuat Agnia tercenung kaget di tengah Irgi yang sigap bangkit dari duduknya dan menggeser meja kayu di hadapannya agak menjauh. Dilanjut dengan ia yang mengambil posisi berlutut, tepat di depan Agnia yang masih duduk di kursi. “Jadilah rumah saya, Agnia. Bukan untuk sementara, melainkan sampai saya meregang nyawa pada suatu hari nanti…” pinta sang pria sangat serius. Menyorotkan pandangan penuh permohonannya pada Agnia seolah ia sedang melamar si wanita secara tidak langsung. Agnia termangu. Kini, pria itu tidak hanya meminta dirinya menjadi miliknya. Tetapi bahkan lebih-lebih dari hanya sekadar memiliki. “Saya tahu ini seperti sed