“Maafkan aku, Ibu,” bisiknya lirih sebelum menekan tombol panggilan.Dari seberang sana, suara Rendra terdengar datar. “Ya, Beni?”“Pak Rendra,” suara Beni tercekat, “kapan... kapan proyeknya dilanjutkan?”“Kau sudah tidak sabar ya?” sahut Rendra. “Besok jam delapan. Jangan sampai telat.”Tut... tut... tut...Begitu panggilan berakhir, Beni melemparkan ponselnya ke kasur. Keringat mengucur deras dari dahinya sering dengan desahan napasnya yang berat.Keesokan paginya, Beni berdiri kembali di depan apartemen mewah yang sama. Setiap langkah menuju lobi terasa seperti berjalan menuju tiang gantungan.“Setelah aku mendapat bayaran, aku akan berhenti menjadi kameramen.” Gumam Beni pada dirinya sendiri.Di dalam lift, bayangannya yang pucat terpantul di kaca. Dia mengenakan kemeja yang sama dengan pertemuan pertama, tapi kali ini tanpa semangat. Saat pintu apartemen terbuka, suasana yang sama menya
Last Updated : 2025-11-05 Read more