All Chapters of Tak Sengaja Mencintaimu: Chapter 51 - Chapter 60

Interaksi mereka malam itu tidak akan pernah Vanka lupakan. Setelah tujuh tahun perpisahan, ini adalah untuk pertama kalinya Shankara bersikap hangat kepada Vanka. Bagi Vanka, semua sudah cukup. Ia tidak ingin berharap lebih jauh. Tugas Shankara juga sudah selesai. Setelah malam itu, Vanka tidak pernah bertemu dengan Shankara. Lelaki itu juga tidak mengunjungi Lengkara lagi. Dan hari ini adalah hari ketiga sejak transplantasi. Vanka tahu kalau siang ini Shankara sudah diizinkan pulang. Sedangkan Vanka masih akan lama di rumah sakit ini. Sendiri. Hanya sendiri. Ia tidak memiliki seorang pun untuk bergantian menjaga Lengkara. Ia hanya punya dirinya sendiri. Di kamar rawat Shankara, suasana justru berkebalikan. Anindia mondar-mandir, sibuk memasukkan barang-barang ke dalam tas. Shankara duduk di tepi tempat tidur. Gerakannya masih pelan. Nyeri di area insisi masih ada, tapi tidak separah sebelumnya, namun masih menusuk jika ia terlalu banyak bergerak. Dokter tadi sudah menjelask

Hening sepeninggal Shankara. Vanka berdiri mematung di tempatnya. Shankara sudah melakukan kewajibannya yang selama ini Vanka tuntut sampai mengemis dan merendahkan harga dirinya. Seharusnya Vanka merasa lega. Tapi entah kenapa Vanka benar-benar merasa kosong, hampa. Tangannya naik menyentuh dada, merasakan degup jantungnya yang berdetak dengan normal. Ia meraup oksigen sebanyak-banyaknya, mengisi paru-parunya dengan udara baru.Setelah cukup lama, Vanka melangkah ke kursi di sebelah tempat tidur Lengkara. Ia duduk di sana dan termenung begitu lama memikirkan jalan hidupnya ke depan. Ia akan menata hidupnya yang terlanjur berantakan dari awal. Ia tidak butuh laki-laki. Tidak Reza maupun Shankara. Cukup hanya dirinya dan Lengkara.Pintu yang dibuka dengan kasar membuat Vanka kaget. Ia memandang ke arah itu dan menemukan Anindia. Dengan tidak sopannya perempuan itu melangkah masuk dengan wajah penuh emosi.Vanka bangkit dari kursinya, menyambut Anindia yang melangkah menghampirinya.A

Selagi Vanka masih berbicara dengan Ambar di dalam kamar rawat, di lantai bawah rumah sakit yang sama, seorang pria baru saja turun dari mobilnya.Shankara.Ia menyugar rambutnya lalu memasuki lobi rumah sakit. Sudah satu minggu ia tidak menginjak tempat ini. Seminggu yang lalu sebelum pulang, dokter memintanya datang untuk kontrol pasca proses pendonoran sumsum tulang guna memastikan kondisi tubuhnya tetap stabil dan tidak ada penurunan imun. Karena meski ia pendonor, bukan penerima, tubuhnya tetap harus dipantau. Prosedur itu menguras fisik, dan dokter mengatakan risiko anemia dan kelelahan berkepanjangan masih mungkin terjadi.Shankara awalnya berniat untuk sebentar saja. Datang, diperiksa, pulang. Tidak ada alasan untuk berlama-lama.Atau begitu yang ia pikirkan.Setelah pemeriksaan selesai, dokter memberitahu, "Pak Shankara, hemoglobin Anda bagus sekali. Lebih stabil dari minggu lalu. Pemulihan Anda termasuk cepat.""Syukurlah, Dok.""Namun tetap batasi aktivitas berat ya, Pak,"

"Bang ...." Vanka menggoyangkan tangan Shankara lantaran lelaki itu masih saja bungkam.Shankara mengerjap, lalu terlihat gerakan pria itu menghela napas. "Van, bisa kita duduk dulu? Ini bukanlah hal yang bisa kita bicarakan sambil berdiri dan emosi." Sejak tadi tanpa sadar mereka berbicara sambil berdiri.Vanka merasa tidak sedang emosi. Mungkin Shankaralah yang emosi. Tapi Vanka tetap mengangguk. Mereka lalu pindah ke sofa kecil di sudut kamar. Shankara duduk lebih dulu. Lalu Vanka duduk di sampingnya. Jarak mereka hanya setengah lengan.Hening beberapa saat."Bang …." Vanka mencoba lagi. Suaranya parau. "Aku cuma butuh itu. Satu kalimat aja. Supaya semuanya jelas."Shankara menunduk. Tangannya terangkat seolah ingin mengusap wajah, tapi ia membatalkannya dan membiarkan jari-jarinya mengepal di pangkuan. Ia kemudian menatap Vanka. "Hubungan kita memang rumit. Tapi menurut Abang nggak perlu mengucapkan kata itu, Van. Mungkin dalam hal ini kita beda pendapat. Yang Abang yakini, secar

Vanka sangat terkejut oleh pertanyaan itu sampai ia harus menyentuh telinganya hanya untuk meyakinkan bahwa dirinya tidak salah dengar."Bang, jangan ngomong kayak gitu.""Abang cuma nanya, Van.""Itu bukan pertanyaan yang seharusnya Abang ajukan kalau Abang memang sudah bergerak dari masa lalu, atau kalau Abang beneran mau nikah sama Anindia."Shankara tidak berkedip. Tatapannya semakin intens, seperti sedang menunggu Vanka menyerah pada keraguan yang barusan ia munculkan.Vanka memalingkan wajah. Pertanyaan Shankara tadi berhasil mengguncang sebuah ruang kecil dalam dirinya yang masih menyimpan sisa cinta dan kenangan tujuh tahun yang lalu. Namun ia cepat-cepat mengendalikan dirinya."Kalau pun nggak ada Anindia, nggak ada pengaruhnya buat aku," kata Vanka setelah mengembalikan tatapannya pada Shankara. Lelaki itu diam, dan Vanka melanjutkan."Abang bilang semuanya sudah selesai. Oke. Aku terima. Tapi jangan buat aku bingung dengan pertanyaan kayak gitu."Shankara membuka bibirnya