All Chapters of Kita yang Terluka: Chapter 21 - Chapter 30

Mendadak, ucapan Ammar tadi melintas di pikiran Adelia. Wanita itu menggigit bibir. Ketakutan merayapi hatinya walau dia tahu Ammar tidak akan memaksa. Adelia tahu cinta lelaki itu terlalu besar untuk Zahra. Hampir setiap dia terbangun karena haus di malam hari, Adelia mendengar Ammar mengigau, memanggil nama Zahra dalam lelapnya.Di tempat berbeda, Ammar menghela napas panjang saat sampai di tempat tujuan. Disinilah dia menghabiskan waktu hampir setiap hari sejak resmi bercerai dengan Zahra. Menggunakan mobil yang diberikan Gunawan untuk Adelia, dia bebas memandangi rumah yang dulu dia tinggali bersama Zahra dan kedua anak mereka. Dia memang meminta Zahra tetap tinggal disana karena rumah itu diperuntukkan bagi Riko dan Rika.“Riko ….” Bibir Ammar mengulas senyum tanpa dia sadari saat melihat anak bungsunya berlari keluar dari rumah. Lelaki itu tertawa saat Riko berhasil mengecoh pengasuhnya sehingga tidak tertangkap. Anaknya itu memang sedang aktif-aktifnya. Kalau sedang main kesana

“Mama dan Papa kesini nanti malam biar gantian jaga. Hari ini tetangga dekat rumah ada acara jadi tidak enak kalau tidak datang.” Zahra menjelaskan sambil menyudahi makan. Dia lalu berlalu ke kamar mandi untuk mencuci tangan. Saat kembali ke kamar, Zahra sedikit termangu karena beradu pandang dengan Ammar. Terakhir mereka menunggui Riko sakit begini sebelum kecelakaan yang menyebabkan kelumpuhan Adelia.“Mas sudah dzuhur? Salat saja dulu di mushola, kalau mau sekalian istirahat sebentar atau langsung pulang tidak apa-apa. Gantian aku yang menjaga Riko disini.” Zahra mengalihkan pandangan dan duduk di sofa kembali. Sejujurnya, dia tidak nyaman berada di ruangan yang sama dengan Ammar. Apalagi, Riko tertidur setelah menghabiskan sepiring buah-buahan tadi.“Aku salat sebentar.” Ammar tidak menanggapi ucapan Zahra yang lain. Mana mungkin dia akan pulang atau berlama-lama pergi. Kesempatan langka baginya bisa ngobrol banyak dengan Zahra seperti ini. Apalagi, suasana di ruang rawat Riko ta

“Pindang patin dan es jeruk satu ya, Pak.” Zahra langsung memesan makanan begitu sampai di rumah makan Palembang yang terlihat selalu ramai setiap dia datang. Dia menoleh ke berbagai sudut, tapi tidak menemukan kursi kosong. Wanita itu akhirnya melangkah mendekat ke arah lelaki yang sedang menikmati makanannya seorang diri. Dia menyipitkan mata saat semakin dekat karena Zahra tidak asing dengan wajah itu.“Mas? Kursi ini kosong? Boleh saya duduk disini? Tidak ada meja kosong lagi.” Zahra tersenyum sopan saat bertatapan. Dia menghela napas lega saat lelaki yang makanannya tersisa separuh itu mengangguk tidak keberatan.“Tumben sore-sore kesini? Biasanya jam makan kantor datangnya.”“Eh?” Zahra menautkan alis. Dia akhirnya tertawa saat lelaki yang duduk di hadapannya terkekeh pelan. Rupanya, bukan hanya dia yang merasa tidak asing dengan lelaki itu. Seingat Zahra, setiap kali datang kesana, dia pasti melihat lelaki itu duduk di kursi yang sama dan selalu sendiri, seperti hari ini. Itula

“Bagaimana kuliahmu?” Zahra mendekati Riko dan memegang dahi anaknya yang sedang pulas. Wanita itu menghela napas lega saat mengetahui Riko tidak panas tinggi lagi.“Minggu depan aku seminar proposal penelitian, Mbak, mohon doanya.” Azizah duduk di samping Zahra. Sungguh, dia benar-benar rindu dengan mantan kakak iparnya itu. Setahunan ke belakang, dia ingin sekali menghubungi Zahra untuk berbagi keluh kesah. Selama ini, dia memang sering curhat masalah apapun dengan Zahra. Namun, Azizah mengerti keadaan Zahra yang sedang tidak baik-baik saja sehingga tidak pernah saling bertukar kabar lagi.“Alhamdulillah, semoga lancar dan diberi kemudahan.” Zahra menepuk bahu Azizah yang menyandarkan kepala di bahunya. Dia bisa merasakan kerinduan Azizah pada dirinya, karena dia juga sangat merindukan kebersamaan dengan keluarga mantan suaminya itu. Zahra merasa seperti baru bertemu lagi dengan adiknya sendiri.“Mama kaget sewaktu dikabari Ammar kalau Riko demam. Tadinya, Mama akan menemani Anisa k

Ketegangan kembali terjadi di rumah itu. Sementara, di tempat berbeda, Zahra terlihat panik saat mesin mobilnya mendadak mati. Wanita itu mengeluh sambil memegangi keningnya. Bisa-bisanya kendaraannya mogok saat jam genting berangkat kerja seperti ini. Wanita itu akhirnya bergegas mengabari di grup kantor kalau kemungkinan dia akan telat datang hari ini. Zahra harus memastikan mobilnya aman dulu baru bisa meninggalkannya di tempat itu.Saat sedang berusaha mencari informasi bengkel yang bisa menderek mobilnya, telepon dari Azzam masuk. Tanpa berpikir dua kali, Zahra langsung mengangkatnya.“Kamu dimana? Aku masih di jalan ini mana tahu lokasinya dekat, biar bareng sekalian. Mobilmu nanti tinggal saja. Aku ada kenalan montir. Biar dia yang urus.”Zahra menghela napas lega mendengar ucapan lelaki itu. Tanpa bertanya apapun lagi, dia mengiyakan karena mengejar agar tidak terlambat sampai di kantor.Sekitar lima menitan menunggu, city car berwarna biru metalic berhenti di samping mobil Za