Angin malam bergerak pelan, seolah mencoba menyusup melalui celah-celah jendela warung. Marni duduk sendirian, memandangi tumpukan kain pembungkus sesaji yang kini terlihat semakin lusuh. Setiap helai kain itu seperti berdenyut, seakan hidup, seakan merespons tatapan siapa pun yang berani melihatnya terlalu lama.Sejak tadi sore, warungnya tidak lagi seramai sebelumnya. Justru, semakin banyak pelanggan yang datang dengan wajah aneh: pucat, mata cekung, dan langkah terseret. Mereka memesan makanan dalam diam, lalu melahapnya seolah kelaparan setelah berhari-hari tidak makan. Setelah itu, mereka pergi tanpa sepatah kata pun, meninggalkan aroma aneh seperti tanah basah dan bunga kamboja layu.Marni mulai merasa ada yang berubah—bukan hanya pada kain penglaris itu, tetapi juga pada dirinya.Ia sering mendapati bayangan berjalan di sudut matanya. Ia mendengar seseorang memanggil namanya dari dapur, dari kamar mandi, bahkan dari bawah meja kasir. Suara itu selalu sama: lirih, panjang, dan s
Last Updated : 2025-11-25 Read more