All Chapters of Cinta Pertama yang Tak Tergantikan: Chapter 1 - Chapter 10

Selama delapan tahun, keberadaanku di kerajaan bisnis Leonardo Wistara bagaikan hantu yang tak terlihat. Pada siang hari, aku menjadi asisten eksekutifnya, bekerja bagaikan mesin yang menggerakkan bisnis gelapnya. Namun pada malam hari, aku menjadi burung peliharaan paling patuh di sangkar emasnya. Sesosok tubuh tanpa nama di ranjangnya.Aku mencintai dia dengan pengabdian yang nyaris berubah menjadi kegilaan, api cinta konyol yang kupelihara sejak aku masih jadi mahasiswa penerima beasiswa yang terseret masuk ke dalam orbit pria itu. Aku percaya cinta rahasiaku suatu hari bisa mencairkan hatinya. Namun, ternyata aku salah.Suatu hari Isabel, cinta pertama Leonardo yang sulit dilupakan, kembali muncul. Di hari yang sama, sosok pria yang selama ini kukenal langsung lenyap. Senyum langka yang dulu hanya untukku, kini semuanya untuk Isabel.Kebersamaanku dengannya seolah-olah dihapus begitu saja, digantikan dengan kehadiran cinta pertamanya. Bahkan ketika Isabel menjebakku, Leonardo tetap

Sudut Pandang Amelia:Akhir pekan berlalu dalam kabut rasa sakit dan tidur yang tidak nyenyak. Senin pagi pun tiba, kakiku masih berdenyut nyeri setiap kali melangkah. Namun, aku tetap datang ke kompleks utama Keluarga Wistara tepat pada pukul 08.55. Bangunan megah yang mengintimidasi itu, yang merupakan monumen kekuasaan Leonardo, kini terasa seperti penjara buatku.Kompleks itu bagaikan benteng yang disamarkan dengan kemewahan. Orang-orang bersenjata yang mengenakan setelan jas rapi berpatroli di sekelilingnya, mata mereka tidak pernah berhenti menyapu keadaan sekitar. Aula utama dipenuhi dengan gema percakapan dalam bahasa Idelia, suara dentingan gelas, dan ketegangan yang selalu menyelimuti setiap Keluarga Wistara beroperasi.Aku menyusuri koridor-koridor yang familier, menerima anggukan salam dari para prajurit maupun para akuntan. Mereka semua tahu posisiku, tetapi tidak ada satu pun dari mereka yang tahu siapa diriku di mata bos mereka.Aku menjalani rutinitas pagi dengan otomat

Sudut Pandang Amelia:Rasa nyeri terasa seperti denyut yang tak pernah pergi, selalu mengingatkanku pada kecelakaan itu. Aku berbaring di ranjang rumah sakit yang serbaputih, menatap langit-langit, menghitung lubang-lubang kecil di panel akustiknya. Setiap lubang rasanya seperti bagian diriku yang hilang.Pintu berderit terbuka. Aku tidak repot-repot menoleh, paling-paling yang datang hanyalah perawat lain yang membawa pil lebih banyak atau dokter yang punya lebih banyak pertanyaan."Mel? Ya Tuhan, Mel!"Suara itu bukan suara perawat. Suara itu familier, hangat, dan disertai kepanikan yang membuat jantungku berdegup kencang. Kepalaku yang bersandar di bantal keras menoleh perlahan.Sofia berdiri di ambang pintu, wajahnya pucat, rambutnya yang biasanya ditata sempurna sedikit acak-acakan, seolah-olah dia baru saja menyisirnya dengan tangan. Dia tampak seperti baru saja terbang entah dari mana, mantel panjang dan mahal tersampir di lengannya, dan sebuah koper desainer ditinggal di dekat

Teriakan Leonardo bergema di jalanan sepi, suaranya serak dan penuh rasa kehilangan. Dia mencoba menelepon, tetapi nomor itu sudah tidak aktif. Dengan tangan gemetar, dia menekan tombol-tombol dengan frustrasi, mencoba melacaknya, hingga nyaris tidak bisa memegang ponselnya."Balik! Semua balik ke dalam! Sekarang!" teriaknya kepada anak buahnya, suaranya pecah oleh keputusasaan yang belum pernah mereka dengar sebelumnya. Dia berlari kembali ke gudang, menendang pintu hingga terbuka, dan menodongkan senjata ke ruang kosong.Gudang itu sudah kosong melompong. Bersih. Tidak ada seorang pun yang tersisa. Satu-satunya bukti perkelahian tadi hanyalah sepotong kain merah muda yang bernoda darah, robekan dari ujung gaun yang berimpel, tergeletak di lantai beton berdebu tempat Amelia berlutut.Leonardo terhuyung-huyung menghampiri kain itu, lalu jatuh berlutut. Dia meraihnya, jari-jarinya gemetar saat menyentuh kain yang ternoda itu. Masih lembap karena darahnya. Kepastian itu membuatnya hancur

Sudut Pandang Leonardo:Mesin perang Keluarga Wistara meraung hidup di bawah perintahku. Itu adalah monster yang telah kubangun, kuberi makan, dan kulatih hampir sepanjang hidupku, dan kini kulepaskan dengan satu tujuan, pemusnahan besar-besaran.Aku berdiri di ruang strategi, tempat di mana Amelia tidak pernah kuizinkan masuk, dan peta-peta yang ada di dinding kini bukan lagi wilayah bisnis, melainkan ladang pembantaian. Aku menunjuk dan memberi perintah, suaraku dingin dan datar, duka dan amarah dipadatkan menjadi fokus sekeras batu."Serang dermaga mereka malam ini. Bakar semua kiriman. Aku nggak peduli kalau itu barang kita yang tercampur dengan barang mereka. Bakar saja.""Para pencatat keuangan mereka. Temukan mereka. Yakinkan mereka bahwa setia pada keluarga yang riwayatnya sudah tamat itu adalah ide yang buruk.""Keponakan mereka, yang sedang dilatih oleh Keluarga Rozak. Aku mau dia dibawa ke sini. Hidup-hidup."Perintahku disambut anggukan cepat. Orang-orang itu melihat peruba