Share

Bab 6

Penulis: Snow
Sudut Pandang Amelia:

Keheningan rumah sakit yang steril cuma jadi jeda sementara. Seminggu kemudian aku dipulangkan, sementara ingatan tentang kecelakaan itu masih membekas seperti luka baru di kepala.

Dokter memintaku mengambil waktu untuk beristirahat, membiarkan tubuhku pulih. Namun, roda Keluarga Wistara tidak pernah berhenti berputar hanya karena ada bagian yang rusak. Mereka hanya berharap semuanya bisa diganti atau diperbaiki.

Aku kembali ke kompleks organisasi pada Senin pagi. Udara terasa berbeda. Lebih tipis. Tatapan setiap anggota keluarga seolah-olah mengandung campuran iba dan rasa ingin tahu yang kelam.

Semua sudah mendengar tentang jamuan itu dan kecelakaan yang menyusul. Aku bukan lagi Amelia Effendi yang cakap. Sekarang, aku hanyalah perempuan yang diberi izin oleh bos besar untuk dipermalukan secara terbuka agar pacarnya terhibur.

Aku tetap tenang. Aku melakukan pekerjaanku seperti biasa. Interaksiku dengan Leonardo kini hanya sebatas memo dan email yang diketik dan dikirim melalui bawahannya. Dia tidak memanggilku.

Sepertinya ada sesuatu dalam tatapanku setelah kecelakaan itu, semacam ketegasan yang sudah final, yang membuatnya gelisah. Dia tidak tahu bagaimana cara menghadapi versi diriku yang ini … yang tidak menangis, tidak memohon, hanya menatapnya dengan tatapan kosong.

Namun, kedamaian yang rapuh itu hanya bertahan selama seminggu saja.

Telepon di mejaku berdering, saluran internal berkedip, menunjukkan ekstensi yang kutakuti. Itu saluran pribadinya. Teleponnya kubiarkan berdering tiga kali selagi aku menguatkan diri, lalu mengangkatnya.

"Amelia. Kantorku. Sekarang."

Sambungan terputus. Tidak ada basa-basi. Tidak ada permintaan. Hanya ada sebuah perintah.

Aku masuk dan mendapati dia berdiri di samping mejanya, sudah mengenakan jasnya. Isabel ada di sana, terkulai di salah satu kursi tamu, tampak bosan tetapi tetap cantik.

"Aku ada rapat dengan Komisi," kata Leonardo, tanpa menatapku sambil membetulkan kancing lengannya. "Isabel mau belanja. Kamu temani dia."

Darahku membeku. "Pak Leonardo, aku harus menyerahkan laporan keuangan triwulanan untuk …."

"Aku nggak nanya," potongnya, suaranya tajam. Akhirnya dia melirikku, tatapannya datar, seolah-olah sedang menugaskan suatu pekerjaan pada sebuah mesin. "Temani dia. Turuti apa maunya. Bawakan tasnya."

Dia berjalan menghampiri Isabel, membungkuk, dan mencium keningnya. "Aku nggak akan lama, Darling."

"Jangan lama-lama," katanya sambil cemberut, lalu memamerkan senyum cemerlangnya.

Begitu pintu tertutup di belakangnya, senyumnya lenyap. Dia menatapku dari atas sampai bawah, seperti predator yang mengamati mangsa yang terluka.

"Ayo pergi," serunya. "Dan jangan pasang muka menyedihkan begitu. Kamu beruntung bisa keluar dari tempat suram ini."

Sesi belanja itu rasanya seperti siksaan model baru. Kami keluar masuk butik paling eksklusif, tempat Isabel diperlakukan layaknya bangsawan. Aku hanya mengikutinya dari belakang sambil menenteng tas belanja yang semakin banyak.

Di sebuah butik mewah, dia memilih gaun merah muda berimpel yang mencolok. "Ini," katanya sambil menyodorkannya padaku. "Coba pakai ini. Kurasa ini bakal kelihatan kocak banget."

"Aku di sini bukan untuk belanja sendiri, Nona Isabel."

"Omong kosong. Anggap saja ini hadiah. Ayo, coba saja. Atau aku perlu telepon Leonardo dan bilang kalau kamu nyusahin aku?"

Ancamannya jelas. Aku mengambil gaun itu dan pergi ke ruang ganti. Ukuran gaun itu terlalu besar buatku, semua rimpelnya menutupi tubuhku. Aku tampak konyol.

Saat aku keluar, Isabel tertawa terbahak-bahak sambil mengeluarkan ponselnya. "Oh, sempurna. Senyum dong." Dia mengambil beberapa foto, tawanya menggema di seluruh toko. "Kamu kelihatan seperti anjing pudel yang basah kuyup. Aku bakal kirim ini ke Leonardo. Dia butuh sering-sering ketawa."

Rasa malu membakar hatiku, tetapi aku hanya berdiri di sana, tidak bergerak, sampai dia selesai.

Pola ini berulang. Dia memaksaku mencoba pakaian yang lebih absurd … topi berbulu raksasa, sepatu yang kebesaran … lalu semuanya difoto. Ejekannya terus menyengatku dengan tajam.

Setelah berjam-jam seperti ini, kami berjalan menyusuri lorong yang lebih sepi dan mewah, tanganku penuh dengan barang-barang belanjaannya, semangatku sudah hancur berkeping-keping. Isabel mendahuluiku, mengeluhkan kualitas toko-toko yang ada.

Lalu, semuanya terjadi dalam sekejap.

Beberapa pria muncul dari gang samping, bergerak dengan cepat dan brutal. Mereka bukan preman biasa, mereka bergerak seperti anak buah mafia yang terlatih dari keluarga saingan. Salah satu dari mereka membekap mulut Isabel dengan tangan, menariknya ke belakang. Yang lain mencengkeramku dengan tangan sekuat besi.

Kami didorong masuk ke dalam mobil van yang menunggu. Pintunya ditutup, menjerumuskan kami ke dalam kegelapan. Lalu, van itu melesat pergi.

"Leonardo bakal bunuh kalian semua karena ini," teriak Isabel, keberaniannya diselipi oleh kepanikan.

Salah satu pria itu, wajahnya tertutup topeng, menampar Isabel dengan punggung tangannya. "Diam!"

Namun, pikiranku terus berpacu. Dalam pergumulan itu, ponselku terjatuh dari saku ke dalam salah satu kantong belanja. Kebetulan, tanganku tidak terikat. Saat para pria itu fokus pada Isabel yang terisak-isak, aku berhasil memasukkan tanganku ke dalam tas, meraba-raba mencari ponselku.

Dengan gerakan yang terlatih dan tanpa suara, aku membuka ponselku dan menekan tombol panggilan darurat yang tersambung langsung ke ponsel rahasia Leonardo. Aku tidak bicara, aku hanya membiarkan panggilannya tetap tersambung, seperti sinyal tanpa suara.

Kami dibawa ke sebuah gudang. Mereka menyeret kami keluar dan memaksa kami berlutut. Pemimpinnya, seorang pria jangkung dengan sikap dingin, berdiri di hadapan kami. "Leonardo Wistara sudah terlalu lama jadi duri dalam daging buat kami," katanya. "Kita lihat saja apa yang akan dia pilih."

Pintu gudang tiba-tiba terbuka. Leonardo berdiri di sana, diapit empat orang terbaiknya, dengan pistol teracung. Matanya penuh amarah, mengamati seluruh ruangan sampai tertuju pada Isabel, lalu padaku.

"Lepaskan mereka, Aldi," geram Leonardo. "Ini urusan kita berdua."

Sang pemimpin, Aldi, tertawa. "Nggak bisa, Bos Wistara. Begini saja. Kamu boleh ambil satu orang. Yang satu lagi tetap di sini sama kami. Pilih. Sekarang. Atau penembak jituku yang ada di langit-langit akan menembak kepala mereka berdua. Coba saja. Lihat apakah pistolmu lebih cepat daripada peluru mereka."

Tatapan Leonardo beralih tajam antara Isabel dan aku. Isabel menangis tersedu-sedu, "Leonardo, kumohon. Selamatkan aku. Kamu harus selamatkan aku."

Matanya bertemu dengan mataku. Aku melihat konflik dan pergumulan di hatinya, untuk sesaat. Namun, semuanya hilang secepat datangnya. "Aku bawa dia," kata Leonardo, suaranya serak tetapi tegas, sambil mengacungkan pistolnya pada Aldi. "Aku bawa Isabel. Bebaskan Amelia, atau ini akan berakhir buruk bagi semua orang."

Aldi hanya tersenyum. "Kamu sudah buat pilihan." Dia mengangguk kepada anak buahnya. Mereka mendorong Isabel ke arah Leonardo. Salah satu anak buah Leonardo menangkapnya dan menariknya ke belakang barisan pelindung mereka.

Tatapan Leonardo bertemu dengan mataku untuk sedetik terakhir yang mendebarkan. Aku melihat secercah sesuatu … mungkin semacam rasa sakit atau penyesalan … tetapi semuanya sudah terlambat. Dia telah memilih. Dia berbalik, melindungi Isabel dengan tubuhnya, lalu mundur bersama anak buahnya, meninggalkanku berlutut sendiri.

Saat pintu gudang tertutup, menetapkan takdirku, Aldi berjalan menghampiriku. Dia meraih wajahnya dan melepas topengnya.

Itu Matius Rozak, putra bos besar dari Keluarga Rozak, pria yang dikenal karena kelicikan dan ambisinya.

Dia menatapku, senyum kemenangan yang aneh tersungging di wajahnya. "Aku yang memenangkan taruhan kita. Sudah waktunya kamu memenuhi taruhan kita." Dia mengulurkan tangannya kepadaku.

Aku menyeka air mata dengan punggung tanganku. Lalu, aku menyambut uluran tangannya. "Baiklah."

....

Leonardo menghambur keluar dari gudang, lengannya melingkari Isabel yang terisak. Anak buahnya segera membentuk lingkaran perlindungan yang rapat, senjata diarahkan ke pintu masuk gudang.

"Bawa dia ke mobil. Sekarang," bentak Leonardo, mendorong Isabel ke arah pengawal kepercayaannya, Margo. "Amankan dia."

"Leonardo. Kamu mau ke mana?!" teriak Isabel, suaranya serak karena panik saat dia mencengkeram lengan baju Leonardo. "Jangan tinggalin aku."

Mata pria itu, liar dan putus asa, mengamati pintu gudang. "Aku mau jemput Amelia," raungnya sambil berbalik. Pistolnya terangkat saat dia bersiap untuk kembali menyerbu sarang para pesaingnya. Bayangan Amelia berlutut di lantai beton, tatapan mereka bertemu untuk terakhir kalinya, terukir dalam di benaknya.

Namun, tepat saat otot-ototnya menegang dan hendak bergerak, ponselnya bergetar terus-menerus di sakunya. Dia mengabaikannya, terus melangkah maju. Ponsel itu bergetar lagi, berdengung keras dan mendesak.

Sambil mengumpat, dia menariknya keluar, berniat mematikannya, tetapi ibu jarinya terhenti di atas layar. Itu adalah pesan dari nomor tak dikenal yang terenkripsi.

Darahnya membeku. Merasakan firasat akan datangnya malapetaka, dia membukanya.

Sebuah foto termuat. Foto itu berbintik-bintik dan gelap, tetapi sangat jelas. Wajah Amelia, penuh memar dan berdarah, satu matanya bengkak sampai tertutup. Bibirnya terbuka, seperti jeritan terakhir yang sunyi.

Gambar itu diberi judul dengan satu baris brutal. [ Dia sudah pergi. Kata-kata terakhirnya adalah dia berharap nggak pernah bertemu denganmu. ]

Wajah Leonardo memucat. Dunia seakan berhenti berputar. "Nggak mungkin." Kata itu terdengar seperti bisikan parau yang penuh rasa tidak percaya. "AMELIA!"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Cinta Pertama yang Tak Tergantikan   Bab 20

    Sudut Pandang Amelia:Suara mobil-mobil Keluarga Wistara yang menjauh perlahan menjadi satu-satunya upacara perpisahan bagi dunia lamaku. Aku berdiri di dalam pabrik yang luas dan hening itu, bau mesiu dan darah masih menusuk tenggorokan, sementara selembar surat pengunduran diri yang terlipat terasa seperti beban berat di tanganku."Anggap saja ini pengunduran diriku dari hidupmu."Kata-katanya bergema di ruang kosong yang dia tinggalkan. Tidak ada permohonan di matanya, tidak ada upaya terakhir untuk menguasai. Hanya akhir yang begitu letih dan mutlak.Dia menatapku, dan untuk pertama kalinya dia benar-benar melihat diriku, bukan sebagai Amelia miliknya, bukan sebagai bayangannya, bahkan bukan sebagai musuhnya, tetapi sebagai sosok yang berdiri sendiri. Dan dia melepaskanku.Kemenangan itu terasa hampa. Matius terluka dan ditangkap, ambisinya runtuh. Pria yang pernah kucintai baru saja menyerahkan seluruh dunianya lalu pergi. Sofia pun pergi, kembali kepada kakaknya yang bagaimanapun

  • Cinta Pertama yang Tak Tergantikan   Bab 19

    Sudut Pandang Leonardo:Sentuhan dingin bilah pisau di kulitku itu menjadi tamparan keras yang menyadarkanku. Itulah momen yang memutus sisa-sisa penyangkalanku.Selama seminggu, aku bersembunyi di penthouse, bukan sebagai raja di singgasananya, tetapi sebagai binatang terluka yang kembali ke sarangnya. Keheningan itu tidak lagi hampa, semuanya dipenuhi gema kegagalanku sendiri. Selama berjam-jam, aku berdiri di depan jendela, menelusuri jejak lampu-lampu kendaraan di bawah sana, masing-masing seperti pengingat bahwa kota ini terus bergerak maju tanpa aku.Aku tidak menyentuh laporan keuangan atau berkas intelijen. Bahasa mereka yang kering tidak mampu menangkap kenyataan yang akhirnya harus kuhadapi. Aku sudah kehilangan perempuan itu. Bukan karena kematian, tetapi karena kebutaanku sendiri yang begitu besar.Obsesiku selama berbulan-bulan kini terasa seperti penyakit, dan satu-satunya obat adalah menyerah sepenuhnya sampai rasanya seperti kehilangan anggota tubuh.Dalam keadaan hamp

  • Cinta Pertama yang Tak Tergantikan   Bab 18

    Sudut Pandang Leonardo:Penghinaan yang terjadi di gang malam itu membakar lebih panas daripada kemarahan apa pun yang pernah aku rasakan. Tergeletak di atas beton yang basah, dengan rasa darah dan kekalahan masih memenuhi mulut, sementara Amelia … Mel … berdiri di atasku sambil menodongkan pistol, itu adalah titik terendah yang tidak pernah aku bayangkan.Dia bukan hanya menolakku. Dia menundukkan aku secara fisik, melucuti aku, lalu meninggalkan aku terpuruk di tanah. Ingatan itu seperti cap yang membakar harga diriku, luka yang berdenyut setiap kali jantungku berdetak.Selama berhari-hari, aku seperti badai yang terkurung di dalam penthouse. Aku merusak banyak hal, dari vas antik yang dulu pernah dikagumi perempuan itu, sampai gelas kristal yang dulu kami pakai untuk bersulang, juga monitor yang menampilkan laporan keuangan yang menunjukkan kesuksesannya yang terus berjalan.Aku mengamuk pada bayangan, pada kehadiran Margo yang selalu berhati-hati, pada dinding yang diam tetapi tera

  • Cinta Pertama yang Tak Tergantikan   Bab 17

    Sudut Pandang Leonardo:Kesadaran bahwa aku sedang dipermainkan, bahwa fokusku yang hanya tertuju pada Amelia membuatku tidak melihat langkah besar Matius untuk merebut kekuasaan, terasa seperti penghinaan yang jauh lebih menyakitkan daripada luka apa pun.Aku telah berubah menjadi pengalih perhatian. Aku, Leonardo Wistara, tidak lebih dari bidak dalam perangku sendiri, digiring seenaknya oleh perempuan yang justru sedang berusaha kukunci gerakannya.Amarah yang muncul setelahnya bukan amarah yang membara. Amarah itu dingin dan tajam, sesuatu yang harus kugunakan sebagai alat, bukan api yang dibiarkan meledak. Aku memanggil Margo ke ruang kerjaku, peta kota terbentang di depan kami seperti tubuh pasien yang siap dibedah."Cukup," kataku, suaraku datar, tidak lagi dipenuhi gejolak obsesif yang menguasai diriku selama berminggu-minggu. "Serangan personal terhadap Mel Rozak akan dihentikan. Berlaku sekarang juga."Margo menatapku, terkejut. "Bos Wistara?""Dia itu seperti nyanyian putri d

  • Cinta Pertama yang Tak Tergantikan   Bab 16

    Sudut Pandang Leonardo:Perjalanan pulang dari gala terasa kabur, penuh amarah dingin dan perasaan hampa yang sulit dijelaskan. Bayangan Amelia ... Mel ... masih tertanam kuat di pikiranku. Gaun hijau zamrud itu, gelungan elegan yang menampakkan lehernya, serta tatapan dingin yang sama sekali tidak memiliki kehangatan yang selama ini aku ratapi.Dia bukan hanya masih hidup, dia sedang bersinar. Dan dia menatapku seperti aku orang asing, bahkan orang asing yang menyusahkan.Sofia tidak mengucapkan sepatah kata pun sepanjang perjalanan. Ketegangan di antara kami begitu nyata, seolah-olah memenuhi seluruh ruang di kursi belakang Maybach. Begitu mobil masuk ke halaman rumah, dia keluar dari mobil dan memasuki rumah tanpa menoleh.Jarak di antara kami kini terasa seperti jurang, dan dengan kepastian yang membuat darahku membeku, aku tahu kalau adikku sudah memihak dengan mantap. Dia memilih perempuan itu.Aku langsung menuju ruang kerja. Keheningan ruangan menyambutku, kontras dengan kekaca

  • Cinta Pertama yang Tak Tergantikan   Bab 15

    Sudut Pandang Leonardo:Semua ini mengubah segalanya. Perang itu tidak lagi sekadar operasi sederhana melawan Keluarga Rozak. Semuanya berubah menjadi jaring rumit, dan adikku sendiri adalah salah satu simpul yang terjalin di dalamnya.Aku tidak bisa menyerbu markas Keluarga Rozak tanpa kemungkinan membahayakan dirinya. Aku juga tidak bisa langsung menanyakannya tanpa memperkuat kecurigaanku dan membuatnya berlari sepenuhnya ke pihak Amelia.Aku butuh strategi baru. Aku harus melihat Amelia yang baru ini dengan mataku sendiri. Sosok bernama "Mel Rozak".Kesempatan itu muncul dalam beberapa hari. Sebuah gala amal bergengsi di museum seni kota. Acara semacam ini biasanya dimanfaatkan oleh Matius untuk memoles reputasinya dan memamerkan bisnis legalnya yang baru. Intel menyebutkan bahwa orang-orang terdekatnya, termasuk konsultan strategi barunya, akan hadir.Aku akan datang. Bukan sebagai pemburu yang menerobos gerbang, tetapi sebagai hantu masa lalu yang kembali melangkah ke dalam hidup

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status