Share

Bab 2

Author: Snow
Sudut Pandang Amelia:

Salju mulai turun dengan deras, butir-butir salju menempel di jendela penthouse. Aku memandangi tiga kotak kardus yang berisikan seluruh hidupku. Empat tahun, tersaring menjadi koleksi menyedihkan ini.

Pintu terbuka tepat saat aku sedang bersusah payah membuka kotak yang terbesar. Leonardo berdiri di sana, butiran salju tipis menempel di bahu mantel hitamnya. Udara dingin dari lorong menerpaku, sebuah kontras yang mengejutkan jika dibandingkan dengan hangat udara di dalam penthouse.

Mata abu-abu pria itu, yang biasanya bisa kubaca dengan mudah, mengamati keadaan di sekitar. Matanya berpindah dari aku, ke kotak barang-barangku, lalu kembali ke wajahku. Tidak ada rasa terkejut di sana. Yang ada hanya perhitungan.

"Sudah ketemu tempat yang baru?" tanya Leonardo. Suaranya netral, nadanya sama seperti saat dia meninjau laporan.

Aku mengeratkan genggamanku pada kotak kardus itu. "Apartemen lamaku. Pemiliknya setuju untuk menyewakannya selama satu bulan."

Alisnya sedikit berkerut, terlihat garis tipis di antara alisnya. "Satu bulan? Kenapa?"

Pertanyaannya santai, seperti tanpa minat. Dia berjalan melewatiku, mengambil kotak kardus itu dari tanganku seolah-olah sama sekali tidak berbobot. "Biar aku antar kamu."

"Aku bisa pesan mobil barang," kataku cepat-cepat.

"Saljunya terlalu deras. Lagian sudah malam." Nada suaranya tidak memberi ruang untuk berdebat. Dia menekan tombol lift privat menuju garasi bawah tanah. "Kalau terjadi sesuatu padamu, Sofia pasti marah."

Sofia pasti marah. Bukan dia. Dia tidak pernah mengkhawatirkanku. Penegasan itu terasa seperti sengatan baru di tulang rusukku.

Garasi itu sunyi seperti kuburan. Maybach hitamnya berkilau di bawah sorot lampu yang menyilaukan. Kami sudah sering bertindak liar di mobil ini sampai tidak terhitung lagi. Di kursi belakang setelah selesai rapat, menempel di kaca yang gelap di saat kami berdua membutuhkan pelampiasan. Namun, saat aku masuk ke kursi penumpang, interiornya terasa asing.

Aroma parfumnya yang familier, yang berkesan gelap dan mahal, kini digantikan oleh parfum manis yang memuakkan seperti permen murahan. Sepasang dadu berbulu yang konyol tergantung di kaca spion. Jok kulit hitam pekat itu kini dilapisi sarung jok putih yang lembut. Sekantong kue macarons yang sudah dimakan setengahnya teronggok di tempat cangkir yang biasa kupakai untuk kopiku.

Aku menatapnya, pikiranku berusaha menyambungkan semua hal manis yang memuakkan ini dengan sosok bos mafia yang sanggup memerintahkan anak buahnya untuk menghancurkan tempurung lutut seseorang tanpa emosi yang meledak-ledak.

Leonardo menyadari tatapanku saat mesin mulai dinyalakan. "Isabel suka segala sesuatu yang ... ceria," katanya, seolah-olah alasan itu bisa menjelaskan segala kemanisan yang berlebihan ini.

Aku menoleh ke luar jendela, menatap dunia yang diselimuti warna putih. "Akhirnya dia kembali padamu, Pak Leonardo," kataku pelan. Kata-kata itu terasa seperti pecahan kaca di tenggorokanku. "Aku ikut senang."

Dia tampak terkejut. Tangannya yang bertumpu di kemudi menegang sesaat, buku-buku jarinya memucat. Dia tidak mengatakan apa-apa, dan keheningan yang membentang di antara kami terasa tebal dan berat.

Kami sudah setengah jalan menuju kompleks apartemenku. Wiper sedang bekerja keras membersihkan salju yang menumpuk, ketika telepon Leonardo terhubung melalui speaker mobil. Suara Isabel, ringan dan merdu seperti lonceng angin, memenuhi seisi mobil.

"Leonardo, sayang. Saljunya indah banget. Kamu ke sini dong, aku ingin bikin manusia salju bareng kamu. Sekarang juga."

Aku melihat postur tubuh Leonardo langsung berubah. Samar-samar, dia terlihat lebih santai. Tubuhnya seakan sudah tidak sabar ingin menyenangkan hati seseorang, sebuah ekspresi yang jarang kulihat darinya. "Aku cuma antar Amelia sebentar, Darling. Aku bakal segera ke sana."

"Tapi aku mau bikin sekarang," rengeknya, suaranya melengking dan dibuat-buat. "Jangan bikin aku menunggu. Kamu tahu sendiri kalau aku paling benci menunggu."

Dia melirikku. Sekilas, aku bisa melihat sesuatu yang mirip rasa jengkel, bahkan mungkin rasa bersalah di matanya. Aku tahu persis apa yang ada di pikirannya. Seorang bos mafia yang patuh, kini terjepit antara kewajiban menyingkirkan mantan simpanannya dengan aman dan keinginannya untuk menuruti setiap kemauan sang ratu yang baru saja kembali.

Aku tidak tahan lagi. Aku sudah tidak sanggup lagi menjadi penghalang di jalannya.

Sebelum Leonardo sempat berbicara, aku menarik tuas pintu dan mendorong pintu berat itu hingga terbuka. Angin dingin yang menusuk tulang menerpa seisi mobil yang hangat bagaikan serangan badai.

"Pak Leonardo, aku lanjutkan naik taksi saja."

Dia tidak membantah. Dia tidak berkata, "Jangan konyol," atau "Nggak usah repot-repot." Dia hanya menggerutu, "Ya sudah." Dia menepikan mobil ke pinggir jalan, bannya berderak di atas salju tebal. Dia keluar, mantelnya berkibar tertiup angin, dan mengambil kotak kardusku dari bagasi. Lalu, dia meletakkannya dengan hati-hati di trotoar bersalju di sampingku.

Tanganku yang mati rasa karena dingin dan tegang, tergelincir saat mengangkat kotak kardus. Kotak itu jatuh, isinya berhamburan seperti daun gugur di atas salju yang putih bersih.

Pemandangan itu membuat jantungku berdebar kencang.

Di sana, semua bukti-bukti pengabdianku yang menyedihkan terpampang jelas di bawah sorotan lampu jalan yang terang.

Sebutir peluru kosong dari sesi latihan menembak pertamanya bersamaku. Sekuntum bunga kering dari buket yang pernah dia berikan tanpa sadar. Sebuah pernak-pernik kecil yang konyol dari pedagang kaki lima yang dia belikan untukku secara iseng bertahun-tahun lalu. Barang-barang kecil, kenang-kenangan bodoh dari cinta yang tidak seharusnya bertumbuh.

Wajahku memanas karena rasa malu yang begitu dalam hingga terasa seperti luka fisik. Aku berlutut, salju langsung membasahi celanaku, jari-jariku meraba-raba, berusaha mengumpulkan kepingan hatiku yang bodoh sebelum dia melihat semuanya.

"Maaf," gumamku, kepalaku tertunduk, tidak sanggup menatapnya.

Leonardo berdiri terpaku, tubuhnya yang tinggi membentuk bayangan panjang di atas semua aibku. Aku merasakan tatapannya padaku dan pada penampakan menyedihkan dari rahasiaku selama tujuh tahun. Dia tidak mengatakan sepatah kata pun. Dia tidak membungkuk untuk membantu. Dia hanya menyaksikan semuanya, sebuah monumen bisu untuk rasa maluku.

Lalu tanpa suara, dia berbalik, kembali ke mobil putihnya yang manis dan konyol itu, lalu melaju pergi. Lampu belakangnya yang merah menghilang di balik tirai salju yang bertiup, meninggalkanku sendirian dalam kehampaan yang membekukan dan sunyi.

Aku berlutut di sana cukup lama, hawa dingin merembes sampai ke sumsum tulangku. Tidak ada taksi yang lewat. Badai salju telah menelan seluruh kota. Akhirnya, dengan jari-jariku yang membiru dan kaku, aku menyusun kembali isi kotak yang basah kuyup itu dan mulai berjalan kaki.

Aku baru berjalan beberapa langkah dengan susah payah ketika sebuah sepeda motor, seperti hantu di tengah badai, tergelincir di atas hamparan es hitam dan menghantamku dari belakang.

Benturannya begitu cepat dan brutal. Aku menjerit saat terjatuh, kotak itu terlepas dari genggamanku sekali lagi. Rasa sakit yang panas dan menusuk menjalar ke kakiku. Aku menunduk dengan linglung, melihat luka sayatan yang panjang dan dalam di betisku. Darah sudah menggenang dan menetes ke salju, warna merah yang menyala tampak mencolok di atas permukaan yang putih bersih.

Si pengendara motor, yang hanya tampak seperti bayangan panik di mataku, cepat-cepat menegakkan motornya lalu meluncur ke dalam kegelapan tanpa menoleh sama sekali.

Aku berbaring di sana sejenak, terengah-engah. Rasa dingin dan rasa sakit berpadu menjadi pusaran yang memusingkan. Dengan rahang terkatup, aku meraih kotak kardusku yang penyok dan basah karena salju lalu memulai perjalanan pulang yang panjang dengan tertatih-tatih.

Aku menghabiskan waktu berjam-jam. Berjam-jam untuk menyeret kakiku yang terluka di salju yang tidak kunjung reda, setiap langkah terasa seperti sengatan api yang baru.

Ketika akhirnya aku melewati pintu apartemenku yang kecil dan kosong dengan tertatih-tatih, aku langsung ambruk di dalamnya. Aku terbaring di lantai dingin sebelum sempat mengumpulkan tenaga untuk merawat lukaku. Proses membersihkan dan membalut lukaku sendiri terasa kabur, terkubur di antara rasa sakit dan kelelahan.

Setelah itu, dengan menggigil dan kelelahan, aku memeriksa ponselku. Ada satu pesan dari Leonardo, terkirim tak lama setelah dia meninggalkanku berlutut di pinggir jalan.

[ Kamu perempuan yang baik, Amelia. Aku bukan pria yang pantas buatmu. ]

Aku menatap kata-kata itu, setiap patah katanya terasa seperti pukulan palu kecil yang menghantam dadaku. Dia sudah melihat seluruh isi hatiku terbuka dan berserakan di hadapannya, seolah-olah dibiarkan berdarah begitu saja, dan satu-satunya respons yang dia berikan hanyalah nasihat yang kelihatannya perhatian padahal ujung-ujungnya tetap meremehkanku.

Saat cahaya fajar kelabu pertama yang menyedihkan menembus jendelaku yang berdebu, aku turun ke tanah kosong berselimut salju di belakang gedung apartemenku. Aku menemukan tong sampah besi yang berkarat, sisi-sisinya terasa sedingin es saat kusentuh.

Satu per satu, kutumpuk isi kotakku yang basah kuyup dan ternodai darah. Semua kenang-kenangan, bunga kering, dan juga peluru kosong itu. Lalu, aku menyalakan korek api.

Api mulai menyala, awalnya terlihat lemah tetapi tak lama mulai berkobar, lapar dan menyala-nyala. Api itu melahap koleksiku yang menyedihkan. Untuk sesaat, panasnya menghangatkan kebekuan yang tersimpan di dalam hatiku.

Dengan wajah yang mati rasa, aku menyaksikan cinta rahasiaku yang membara dan tak tergoyahkan selama tujuh tahun, yang kusimpan untuk Leonardo, berubah menjadi abu dan asap. Bara apinya pun perlahan padam di tengah salju yang tiada henti.
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Cinta Pertama yang Tak Tergantikan   Bab 20

    Sudut Pandang Amelia:Suara mobil-mobil Keluarga Wistara yang menjauh perlahan menjadi satu-satunya upacara perpisahan bagi dunia lamaku. Aku berdiri di dalam pabrik yang luas dan hening itu, bau mesiu dan darah masih menusuk tenggorokan, sementara selembar surat pengunduran diri yang terlipat terasa seperti beban berat di tanganku."Anggap saja ini pengunduran diriku dari hidupmu."Kata-katanya bergema di ruang kosong yang dia tinggalkan. Tidak ada permohonan di matanya, tidak ada upaya terakhir untuk menguasai. Hanya akhir yang begitu letih dan mutlak.Dia menatapku, dan untuk pertama kalinya dia benar-benar melihat diriku, bukan sebagai Amelia miliknya, bukan sebagai bayangannya, bahkan bukan sebagai musuhnya, tetapi sebagai sosok yang berdiri sendiri. Dan dia melepaskanku.Kemenangan itu terasa hampa. Matius terluka dan ditangkap, ambisinya runtuh. Pria yang pernah kucintai baru saja menyerahkan seluruh dunianya lalu pergi. Sofia pun pergi, kembali kepada kakaknya yang bagaimanapun

  • Cinta Pertama yang Tak Tergantikan   Bab 19

    Sudut Pandang Leonardo:Sentuhan dingin bilah pisau di kulitku itu menjadi tamparan keras yang menyadarkanku. Itulah momen yang memutus sisa-sisa penyangkalanku.Selama seminggu, aku bersembunyi di penthouse, bukan sebagai raja di singgasananya, tetapi sebagai binatang terluka yang kembali ke sarangnya. Keheningan itu tidak lagi hampa, semuanya dipenuhi gema kegagalanku sendiri. Selama berjam-jam, aku berdiri di depan jendela, menelusuri jejak lampu-lampu kendaraan di bawah sana, masing-masing seperti pengingat bahwa kota ini terus bergerak maju tanpa aku.Aku tidak menyentuh laporan keuangan atau berkas intelijen. Bahasa mereka yang kering tidak mampu menangkap kenyataan yang akhirnya harus kuhadapi. Aku sudah kehilangan perempuan itu. Bukan karena kematian, tetapi karena kebutaanku sendiri yang begitu besar.Obsesiku selama berbulan-bulan kini terasa seperti penyakit, dan satu-satunya obat adalah menyerah sepenuhnya sampai rasanya seperti kehilangan anggota tubuh.Dalam keadaan hamp

  • Cinta Pertama yang Tak Tergantikan   Bab 18

    Sudut Pandang Leonardo:Penghinaan yang terjadi di gang malam itu membakar lebih panas daripada kemarahan apa pun yang pernah aku rasakan. Tergeletak di atas beton yang basah, dengan rasa darah dan kekalahan masih memenuhi mulut, sementara Amelia … Mel … berdiri di atasku sambil menodongkan pistol, itu adalah titik terendah yang tidak pernah aku bayangkan.Dia bukan hanya menolakku. Dia menundukkan aku secara fisik, melucuti aku, lalu meninggalkan aku terpuruk di tanah. Ingatan itu seperti cap yang membakar harga diriku, luka yang berdenyut setiap kali jantungku berdetak.Selama berhari-hari, aku seperti badai yang terkurung di dalam penthouse. Aku merusak banyak hal, dari vas antik yang dulu pernah dikagumi perempuan itu, sampai gelas kristal yang dulu kami pakai untuk bersulang, juga monitor yang menampilkan laporan keuangan yang menunjukkan kesuksesannya yang terus berjalan.Aku mengamuk pada bayangan, pada kehadiran Margo yang selalu berhati-hati, pada dinding yang diam tetapi tera

  • Cinta Pertama yang Tak Tergantikan   Bab 17

    Sudut Pandang Leonardo:Kesadaran bahwa aku sedang dipermainkan, bahwa fokusku yang hanya tertuju pada Amelia membuatku tidak melihat langkah besar Matius untuk merebut kekuasaan, terasa seperti penghinaan yang jauh lebih menyakitkan daripada luka apa pun.Aku telah berubah menjadi pengalih perhatian. Aku, Leonardo Wistara, tidak lebih dari bidak dalam perangku sendiri, digiring seenaknya oleh perempuan yang justru sedang berusaha kukunci gerakannya.Amarah yang muncul setelahnya bukan amarah yang membara. Amarah itu dingin dan tajam, sesuatu yang harus kugunakan sebagai alat, bukan api yang dibiarkan meledak. Aku memanggil Margo ke ruang kerjaku, peta kota terbentang di depan kami seperti tubuh pasien yang siap dibedah."Cukup," kataku, suaraku datar, tidak lagi dipenuhi gejolak obsesif yang menguasai diriku selama berminggu-minggu. "Serangan personal terhadap Mel Rozak akan dihentikan. Berlaku sekarang juga."Margo menatapku, terkejut. "Bos Wistara?""Dia itu seperti nyanyian putri d

  • Cinta Pertama yang Tak Tergantikan   Bab 16

    Sudut Pandang Leonardo:Perjalanan pulang dari gala terasa kabur, penuh amarah dingin dan perasaan hampa yang sulit dijelaskan. Bayangan Amelia ... Mel ... masih tertanam kuat di pikiranku. Gaun hijau zamrud itu, gelungan elegan yang menampakkan lehernya, serta tatapan dingin yang sama sekali tidak memiliki kehangatan yang selama ini aku ratapi.Dia bukan hanya masih hidup, dia sedang bersinar. Dan dia menatapku seperti aku orang asing, bahkan orang asing yang menyusahkan.Sofia tidak mengucapkan sepatah kata pun sepanjang perjalanan. Ketegangan di antara kami begitu nyata, seolah-olah memenuhi seluruh ruang di kursi belakang Maybach. Begitu mobil masuk ke halaman rumah, dia keluar dari mobil dan memasuki rumah tanpa menoleh.Jarak di antara kami kini terasa seperti jurang, dan dengan kepastian yang membuat darahku membeku, aku tahu kalau adikku sudah memihak dengan mantap. Dia memilih perempuan itu.Aku langsung menuju ruang kerja. Keheningan ruangan menyambutku, kontras dengan kekaca

  • Cinta Pertama yang Tak Tergantikan   Bab 15

    Sudut Pandang Leonardo:Semua ini mengubah segalanya. Perang itu tidak lagi sekadar operasi sederhana melawan Keluarga Rozak. Semuanya berubah menjadi jaring rumit, dan adikku sendiri adalah salah satu simpul yang terjalin di dalamnya.Aku tidak bisa menyerbu markas Keluarga Rozak tanpa kemungkinan membahayakan dirinya. Aku juga tidak bisa langsung menanyakannya tanpa memperkuat kecurigaanku dan membuatnya berlari sepenuhnya ke pihak Amelia.Aku butuh strategi baru. Aku harus melihat Amelia yang baru ini dengan mataku sendiri. Sosok bernama "Mel Rozak".Kesempatan itu muncul dalam beberapa hari. Sebuah gala amal bergengsi di museum seni kota. Acara semacam ini biasanya dimanfaatkan oleh Matius untuk memoles reputasinya dan memamerkan bisnis legalnya yang baru. Intel menyebutkan bahwa orang-orang terdekatnya, termasuk konsultan strategi barunya, akan hadir.Aku akan datang. Bukan sebagai pemburu yang menerobos gerbang, tetapi sebagai hantu masa lalu yang kembali melangkah ke dalam hidup

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status