Share

Bab 5

Author: Snow
Sudut Pandang Amelia:

Rasa nyeri terasa seperti denyut yang tak pernah pergi, selalu mengingatkanku pada kecelakaan itu. Aku berbaring di ranjang rumah sakit yang serbaputih, menatap langit-langit, menghitung lubang-lubang kecil di panel akustiknya. Setiap lubang rasanya seperti bagian diriku yang hilang.

Pintu berderit terbuka. Aku tidak repot-repot menoleh, paling-paling yang datang hanyalah perawat lain yang membawa pil lebih banyak atau dokter yang punya lebih banyak pertanyaan.

"Mel? Ya Tuhan, Mel!"

Suara itu bukan suara perawat. Suara itu familier, hangat, dan disertai kepanikan yang membuat jantungku berdegup kencang. Kepalaku yang bersandar di bantal keras menoleh perlahan.

Sofia berdiri di ambang pintu, wajahnya pucat, rambutnya yang biasanya ditata sempurna sedikit acak-acakan, seolah-olah dia baru saja menyisirnya dengan tangan. Dia tampak seperti baru saja terbang entah dari mana, mantel panjang dan mahal tersampir di lengannya, dan sebuah koper desainer ditinggal di dekat pintu.

Dia bergegas ke samping tempat tidurku, matanya terbelalak ngeri saat dia melihat perban, infus, dan kondisiku yang hancur. "Aku baru pulang dari luar negeri. Kudengar kamu kecelakaan. Dokter bilang kamu terluka. Aku takut banget!" Suaranya bergetar di kata terakhir.

Saat melihat sahabatku, satu-satunya orang di dunia ini yang terasa seperti keluarga, tembok yang kubangun untuk menahan emosiku runtuh seketika. Isak tangis yang tanpa sadar telah kutahan, lolos dari bibirku. Air mataku mengalir, panas dan tanpa suara, membasahi sisi wajahku sampai ke rambutku.

Sofia tidak ragu-ragu. Dia duduk di tepi tempat tidur dengan hati-hati dan memelukku. Aku memeluknya erat, membenamkan wajahku di rajutan sweternya yang lembut, menghirup aroma parfumnya yang familier. Itu aroma yang membuatku merasa aman, aroma hidupku sebelum Leonardo datang, aroma persahabatan yang entah bagaimana tetap tidak tersentuh dari racun dunia pria itu.

Kami berdiam seperti itu untuk beberapa lama sampai air mataku mereda menjadi napas tersengal. Dia menarik diri, matanya sendiri sudah berkaca-kaca. Lalu, dia menyibakkan rambut dari dahiku yang basah. "Ssst, sudah, sudah .... Aku di sini sekarang. Kamu bakal baik-baik saja."

Dia mengambil secangkir air dari meja samping tempat tidur dan mendekatkan sedotan ke bibirku. Aku minum, air dingin itu melegakan tenggorokanku yang sakit. Setelah aku kembali tenang, dia menggenggam tanganku erat-erat.

"Ceritain semuanya," katanya, suaranya lembut tetapi tegas. "Dan jangan coba-coba nutupin apa pun. Gimana kabarmu beberapa tahun terakhir? Kakakku ... dia memperlakukan kamu dengan baik nggak?"

Dia mengamati wajahku, tatapannya tajam dan penuh arti. "Terus, gimana hubunganmu sama pacar yang kamu ceritain di surat-suratmu? Yang kamu bilang bikin kamu bahagia? Kapan aku bisa ketemu dia? Aku harus cek dulu. Kalau dia nggak cukup baik buat kamu, aku nggak akan merestui."

Pertanyaan-pertanyaan itu, yang penuh dengan kepedulian tulus, terasa seperti garam di lukaku. Tanpa sadar, ekspresi wajahku pasti berubah, karena ekspresi Sofia ikut menegang, dari khawatir menjadi ngeri.

"Mel?"

"Pacarku ...," jawabku, suaraku serak seperti bisikan. Aku mengalihkan pandangan ke luar jendela, menatap langit kelabu yang dingin. "Nggak ada pacar. Kami ... kami sudah putus."

Sofia terdiam sejenak, mencerna. "Oh, sayangku," akhirnya dia berkata, suaranya penuh iba dan pengertian. "Aku ikut sedih. Tapi tahu nggak? Ini yang terbaik. Kalau dia nggak bisa lihat betapa berharganya kamu, dia memang nggak pantas. Masih banyak pria lain di luar sana. Pria yang lebih baik. Aku kenal banyak. Aku bisa kenalin semua ke kamu!"

Keceriaan Sofia yang dipaksakan adalah kebohongan yang baik niatnya, dan kami berdua tahu itu. Tidak ada "pria yang lebih baik" di dunia kami. Yang ada hanya pria seperti kakaknya.

Sebelum aku sempat menjawab, pintu kamar rumah sakit didorong terbuka dengan keras sampai dindingnya bergetar. Leonardo berdiri di sana, wajahnya sedingin awan badai. Matanya menyapu pemandangan itu, Sofia duduk di tempat tidurku sambil menggenggam tanganku dan wajahku yang masih dibasahi air mata. Kerutan di dahinya pun semakin dalam.

"Kenalin dia ke siapa?" tanya Leonardo, suaranya yang rendah dan berbahaya memenuhi ruangan kecil itu. "Nggak bisa. Pria-pria yang kamu kenal itu semua playboy manja dan sembrono. Nggak ada satu pun yang cocok."

Sofia langsung geram, berbalik ke arahnya seperti singa betina yang protektif. "Mereka nggak semuanya playboy! Jangan seenaknya menyamaratakan semua orang begitu!" Sofia berdiri menghadap kakaknya, kedua tangannya berkacak pinggang. "Lagian sejak kapan kamu berhak nentuin siapa yang aku jodohin sama sahabatku? Ini bukan urusanmu!"

Ketika mendengarnya, sekelebat rasa jengkel terlihat di wajah Leonardo. "Aku bilang nggak boleh, dan itu nggak bisa diganggu gugat," gerutunya, suaranya mulai kehilangan kendali. "Perasaan nggak bisa dipaksakan. Berhenti maksain jadi mak comblang. Kamu cuma bikin dia makin kecewa."

'Perasaan nggak bisa dipaksakan.'

Ironi dari ucapannya itu, setelah semua yang terjadi, begitu menusuk sampai rasanya menggelikan. Tawa getir bergema pelan di rongga dadaku yang terasa hampa.

Aku mengulurkan tangan dan meremas tangan Sofia, menarik perhatiannya kembali kepadaku. Aku menggeleng pelan dengan lelah. "Sudah," kataku sambil mencoba menyampaikannya lewat tatapanku, 'Nggak usah capek-capek berdebat.'

Lalu, aku menatap Leonardo dengan tenang. "Sofia cuma bercanda, Pak Leonardo," kataku, suaraku datar dan tidak lagi menunjukkan emosi yang sebelumnya. "Apa kamu butuh sesuatu?"

Setelah melihatku stabil, masih hidup dan bernapas, serta tidak lagi sekarat, Leonardo tampak sedikit lebih tenang. Krisis yang sempat menghantuinya seperti hilang begitu saja.

Nalurinya nyaris membuatnya berkata bahwa dia datang untuk menjengukku, untuk memeriksa keadaanku, tetapi kata-kata itu berubah sebelum sempat keluar, digantikan oleh alasan yang lebih aman dan terdengar seperti sebuah kebetulan.

"Nggak ada yang penting," katanya, tidak lagi menatapku. "Sofia dengar tentang kecelakaanmu dan langsung datang ke sini dari bandara. Aku di sini untuk antar dia pulang." Ada jeda singkat yang hampir tidak terdengar. "Dan untuk memeriksa situasi."

Situasi. Itulah aku. Sebuah situasi.

"Baiklah, Kak," kata Sofia, suaranya penuh sarkasme. "Aku bakal pulang malam ini. Kamu boleh pergi sekarang." Dia membuat gerakan mengusir dengan tangannya. "Mel terluka parah. Dia nggak butuh kamu berdiri di sini, mengawasi dia dan bikin dia makin terbebani." Sofia mendorong kakaknya keluar ruangan, menutup pintu rapat-rapat, dan bersandar sambil mendesah jengkel.

Ruangan itu langsung terasa lebih enteng, seolah-olah aliran oksigennya telah kembali.

"Ya Tuhan, dia nyebelin banget," gumamnya sambil kembali ke samping tempat tidurku. Kemarahannya memudar ketika dia menatapku, berganti dengan kesedihan yang dalam dan penuh kekhawatiran.

"Nggak usah pedulikan dia. Dia bisa nyebelin banget, tapi ... sebenarnya dia peduli, dengan caranya sendiri yang aneh. Perawat bilang kamu kritis waktu dibawa masuk. Mereka bilang Leonardo yang atur semuanya. Dia panggil spesialis, buat pastikan kamu dapat perawatan terbaik. Dia di sini sepanjang malam."

Untuk sesaat, kata-katanya membuat bara kecil yang menyakitkan kembali menyala di antara abu yang tersisa di hatiku. Benarkah dia melakukan itu? Benarkah dia telah memperjuangkan hidupku?

Namun kesadaranku seketika kembali lagi, dengan dingin dan brutal. Semua "usaha" yang dia lakukan bukan karena peduli, tetapi karena dia tidak mau kasus kematian yang rumit membebani nuraninya. Buat dia, itu soal kendali, bukan perhatian. Andai hidupku harus dibandingkan dengan kenyamanan Isabel, aku tahu persis pilihan mana yang bakal dia ambil.

Oleh karena itu, aku tidak mau bermimpi lagi. Aku tersenyum muram pada Sofia. "Aku cuma salah satu aset di organisasinya. Sudah jadi tanggung jawabnya untuk memastikan asetnya tetap berfungsi."

Sofia terlihat ingin membantah, tetapi kenyataan pahit di mataku menghentikannya. Dia kembali duduk, dan kami terdiam selama beberapa saat. Satu-satunya suara hanyalah bunyi "bip" monitor jantung yang stabil, mesin yang seolah-olah menghitung umur dari hati yang sudah retak sejak awal.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Cinta Pertama yang Tak Tergantikan   Bab 20

    Sudut Pandang Amelia:Suara mobil-mobil Keluarga Wistara yang menjauh perlahan menjadi satu-satunya upacara perpisahan bagi dunia lamaku. Aku berdiri di dalam pabrik yang luas dan hening itu, bau mesiu dan darah masih menusuk tenggorokan, sementara selembar surat pengunduran diri yang terlipat terasa seperti beban berat di tanganku."Anggap saja ini pengunduran diriku dari hidupmu."Kata-katanya bergema di ruang kosong yang dia tinggalkan. Tidak ada permohonan di matanya, tidak ada upaya terakhir untuk menguasai. Hanya akhir yang begitu letih dan mutlak.Dia menatapku, dan untuk pertama kalinya dia benar-benar melihat diriku, bukan sebagai Amelia miliknya, bukan sebagai bayangannya, bahkan bukan sebagai musuhnya, tetapi sebagai sosok yang berdiri sendiri. Dan dia melepaskanku.Kemenangan itu terasa hampa. Matius terluka dan ditangkap, ambisinya runtuh. Pria yang pernah kucintai baru saja menyerahkan seluruh dunianya lalu pergi. Sofia pun pergi, kembali kepada kakaknya yang bagaimanapun

  • Cinta Pertama yang Tak Tergantikan   Bab 19

    Sudut Pandang Leonardo:Sentuhan dingin bilah pisau di kulitku itu menjadi tamparan keras yang menyadarkanku. Itulah momen yang memutus sisa-sisa penyangkalanku.Selama seminggu, aku bersembunyi di penthouse, bukan sebagai raja di singgasananya, tetapi sebagai binatang terluka yang kembali ke sarangnya. Keheningan itu tidak lagi hampa, semuanya dipenuhi gema kegagalanku sendiri. Selama berjam-jam, aku berdiri di depan jendela, menelusuri jejak lampu-lampu kendaraan di bawah sana, masing-masing seperti pengingat bahwa kota ini terus bergerak maju tanpa aku.Aku tidak menyentuh laporan keuangan atau berkas intelijen. Bahasa mereka yang kering tidak mampu menangkap kenyataan yang akhirnya harus kuhadapi. Aku sudah kehilangan perempuan itu. Bukan karena kematian, tetapi karena kebutaanku sendiri yang begitu besar.Obsesiku selama berbulan-bulan kini terasa seperti penyakit, dan satu-satunya obat adalah menyerah sepenuhnya sampai rasanya seperti kehilangan anggota tubuh.Dalam keadaan hamp

  • Cinta Pertama yang Tak Tergantikan   Bab 18

    Sudut Pandang Leonardo:Penghinaan yang terjadi di gang malam itu membakar lebih panas daripada kemarahan apa pun yang pernah aku rasakan. Tergeletak di atas beton yang basah, dengan rasa darah dan kekalahan masih memenuhi mulut, sementara Amelia … Mel … berdiri di atasku sambil menodongkan pistol, itu adalah titik terendah yang tidak pernah aku bayangkan.Dia bukan hanya menolakku. Dia menundukkan aku secara fisik, melucuti aku, lalu meninggalkan aku terpuruk di tanah. Ingatan itu seperti cap yang membakar harga diriku, luka yang berdenyut setiap kali jantungku berdetak.Selama berhari-hari, aku seperti badai yang terkurung di dalam penthouse. Aku merusak banyak hal, dari vas antik yang dulu pernah dikagumi perempuan itu, sampai gelas kristal yang dulu kami pakai untuk bersulang, juga monitor yang menampilkan laporan keuangan yang menunjukkan kesuksesannya yang terus berjalan.Aku mengamuk pada bayangan, pada kehadiran Margo yang selalu berhati-hati, pada dinding yang diam tetapi tera

  • Cinta Pertama yang Tak Tergantikan   Bab 17

    Sudut Pandang Leonardo:Kesadaran bahwa aku sedang dipermainkan, bahwa fokusku yang hanya tertuju pada Amelia membuatku tidak melihat langkah besar Matius untuk merebut kekuasaan, terasa seperti penghinaan yang jauh lebih menyakitkan daripada luka apa pun.Aku telah berubah menjadi pengalih perhatian. Aku, Leonardo Wistara, tidak lebih dari bidak dalam perangku sendiri, digiring seenaknya oleh perempuan yang justru sedang berusaha kukunci gerakannya.Amarah yang muncul setelahnya bukan amarah yang membara. Amarah itu dingin dan tajam, sesuatu yang harus kugunakan sebagai alat, bukan api yang dibiarkan meledak. Aku memanggil Margo ke ruang kerjaku, peta kota terbentang di depan kami seperti tubuh pasien yang siap dibedah."Cukup," kataku, suaraku datar, tidak lagi dipenuhi gejolak obsesif yang menguasai diriku selama berminggu-minggu. "Serangan personal terhadap Mel Rozak akan dihentikan. Berlaku sekarang juga."Margo menatapku, terkejut. "Bos Wistara?""Dia itu seperti nyanyian putri d

  • Cinta Pertama yang Tak Tergantikan   Bab 16

    Sudut Pandang Leonardo:Perjalanan pulang dari gala terasa kabur, penuh amarah dingin dan perasaan hampa yang sulit dijelaskan. Bayangan Amelia ... Mel ... masih tertanam kuat di pikiranku. Gaun hijau zamrud itu, gelungan elegan yang menampakkan lehernya, serta tatapan dingin yang sama sekali tidak memiliki kehangatan yang selama ini aku ratapi.Dia bukan hanya masih hidup, dia sedang bersinar. Dan dia menatapku seperti aku orang asing, bahkan orang asing yang menyusahkan.Sofia tidak mengucapkan sepatah kata pun sepanjang perjalanan. Ketegangan di antara kami begitu nyata, seolah-olah memenuhi seluruh ruang di kursi belakang Maybach. Begitu mobil masuk ke halaman rumah, dia keluar dari mobil dan memasuki rumah tanpa menoleh.Jarak di antara kami kini terasa seperti jurang, dan dengan kepastian yang membuat darahku membeku, aku tahu kalau adikku sudah memihak dengan mantap. Dia memilih perempuan itu.Aku langsung menuju ruang kerja. Keheningan ruangan menyambutku, kontras dengan kekaca

  • Cinta Pertama yang Tak Tergantikan   Bab 15

    Sudut Pandang Leonardo:Semua ini mengubah segalanya. Perang itu tidak lagi sekadar operasi sederhana melawan Keluarga Rozak. Semuanya berubah menjadi jaring rumit, dan adikku sendiri adalah salah satu simpul yang terjalin di dalamnya.Aku tidak bisa menyerbu markas Keluarga Rozak tanpa kemungkinan membahayakan dirinya. Aku juga tidak bisa langsung menanyakannya tanpa memperkuat kecurigaanku dan membuatnya berlari sepenuhnya ke pihak Amelia.Aku butuh strategi baru. Aku harus melihat Amelia yang baru ini dengan mataku sendiri. Sosok bernama "Mel Rozak".Kesempatan itu muncul dalam beberapa hari. Sebuah gala amal bergengsi di museum seni kota. Acara semacam ini biasanya dimanfaatkan oleh Matius untuk memoles reputasinya dan memamerkan bisnis legalnya yang baru. Intel menyebutkan bahwa orang-orang terdekatnya, termasuk konsultan strategi barunya, akan hadir.Aku akan datang. Bukan sebagai pemburu yang menerobos gerbang, tetapi sebagai hantu masa lalu yang kembali melangkah ke dalam hidup

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status