Sudut Pandang Amelia:
Akhir pekan berlalu dalam kabut rasa sakit dan tidur yang tidak nyenyak. Senin pagi pun tiba, kakiku masih berdenyut nyeri setiap kali melangkah. Namun, aku tetap datang ke kompleks utama Keluarga Wistara tepat pada pukul 08.55. Bangunan megah yang mengintimidasi itu, yang merupakan monumen kekuasaan Leonardo, kini terasa seperti penjara buatku.
Kompleks itu bagaikan benteng yang disamarkan dengan kemewahan. Orang-orang bersenjata yang mengenakan setelan jas rapi berpatroli di sekelilingnya, mata mereka tidak pernah berhenti menyapu keadaan sekitar. Aula utama dipenuhi dengan gema percakapan dalam bahasa Idelia, suara dentingan gelas, dan ketegangan yang selalu menyelimuti setiap Keluarga Wistara beroperasi.
Aku menyusuri koridor-koridor yang familier, menerima anggukan salam dari para prajurit maupun para akuntan. Mereka semua tahu posisiku, tetapi tidak ada satu pun dari mereka yang tahu siapa diriku di mata bos mereka.
Aku menjalani rutinitas pagi dengan otomatis. Kopi hitam dengan tambahan dua sendok gula, persis seperti saat Leonardo menyesap cangkir pertamanya. Lalu, aku menyortir surat, menandai kontrak-kontrak yang mendesak, dan mengosongkan jadwalnya untuk rapat pukul 10.00 dengan Keluarga Lastana.
Ini adalah negosiasi krusial yang telah kusiapkan selama berminggu-minggu. Keluarga Lastana mengendalikan akses pelabuhan yang dibutuhkan oleh Leonardo untuk jalur pelayaran barunya. Kami tidak boleh mengusik mereka.
Saat aku merapikan dokumen-dokumen itu, Margo, tangan kanan Leonardo untuk urusan keamanan, menghampiri mejaku. Wajahnya terlihat tegang. "Anak buah Keluarga Lastana datang lebih awal. Mereka sudah ada di ruang rapat dan bawa tambahan orang. Ada 15 orang, kalau hitunganku benar. Lebih banyak daripada yang telah disepakati."
Aku merinding. Sudah jelas kalau ini adalah unjuk kekuatan, sebuah ujian. "Kasih tahu Pak Leonardo. Dan gandakan jumlah pengawal yang berjaga di lorong. Tapi jangan terang-terangan."
Margo mengangguk, memperlihatkan rasa hormatnya dengan jelas. Di dunia ini, aku dikenal karena ketenanganku di bawah tekanan dan kemampuanku membaca ancaman sebelum pecah. Mereka tidak tahu bahwa ketenangan itu lahir dari bertahun-tahun menghadapi ancaman yang jauh lebih pribadi dari hati Leonardo yang mudah berubah.
Pada pukul 9.50, aku mengumpulkan berkas-berkas yang dibutuhkan dan berjalan menuju kantor Leonardo. Pintu ruang kerjanya sedikit terbuka. Aku berhenti sejenak, tanganku sudah terangkat untuk mengetuk, tetapi melalui celah itu, aku melihat mereka berdua.
Isabel duduk di tepi meja kayu ek yang besar, mengayunkan kaki telanjangnya. Dia memakai salah satu kemeja kerjanya, lengannya digulung dan kerahnya dibiarkan terbuka. Sikapnya terang-terangan menunjukkan siapa pemilik hati pria itu, membuat perutku terasa menegang.
Leonardo duduk di kursi kulit bersandaran tinggi, tetapi tubuhnya menghadap ke Isabel, membentuk sudut yang tidak pernah kulihat selama jam kerja. Isabel sedang menyuapkan sepotong croissant, jarinya masih berada di dekat bibir Leonardo. Leonardo memakannya dari tangan Isabel, senyum kecil yang manja muncul di bibir yang biasanya terlihat tegas.
"Katanya kamu ngidam makan ini kemarin," kata Leonardo. Kali ini, suaranya terdengar lebih lembut dan lebih intim daripada saat berbicara padaku. "Aku menyuruh salah satu anak buahku untuk antre selama satu jam di toko kue ala Ferusha kesukaanmu itu."
"Rasanya sempurna, sama renyahnya seperti yang kuingat," gumam Isabel sambil mencondongkan tubuh untuk membersihkan remah-remah di bibir bawah pria itu. "Tapi Leonardo, kamu 'kan seorang bos mafia. Seharusnya kamu nggak suruh anak buahmu untuk beli kue. Itu tugas asistenmu."
Senyum Leonardo sedikit melebar. Dia mengulurkan tangan dan meraih tangan Isabel, mencium ujung jarinya. "Buat kamu, semuanya aku urus sendiri. Aku nggak pernah mendelegasikan hal yang penting."
Pemandangan itu terasa seperti pukulan yang menghantam dadaku. Nafasku sesak, rasa sakit yang tidak asing menyebar ke seluruh tubuhku.
Aku menunduk menatap tanganku sendiri, yang terkepal begitu erat di balik map manila sampai buku jariku memutih. Ujung staples yang tajam menusuk telapak tanganku, rasa sakit yang kecil itu kugunakan untuk menutupi rasa sakit yang lebih besar di dalam dadaku.
Aku berdiri di sana, terpaku selama satu menit penuh, menyaksikan Leonardo dalam versi yang selama ini hanya ada dalam bayanganku. Versi yang lembut, penuh perhatian, dan penuh kasih.
Jam dinding berdetak, menunjukkan pukul 9.58. Pertemuan itu akan segera dimulai. Keluarga Lastana terkenal tepat waktu dan angkuh.
Aku menarik napas dalam-dalam, mengatur ekspresi agar terlihat netral dan profesional, lalu mengetuk pintu dengan keras.
"Pak Leonardo, pertemuan dengan Keluarga Lastana akan dimulai."
Di dalam ruangan, suasana mesra itu buyar seketika. Leonardo menegakkan tubuh, kembali mengenakan topengnya sebagai bos mafia. Dia mulai berdiri, tetapi tangan Isabel terulur, mencengkeram lengan bawahnya.
"Nggak boleh. Jangan pergi," rengeknya manja. "Tetaplah di sini sebentar lagi. Aku bosan."
Leonardo ragu-ragu, tatapannya berpindah dari wajah Isabel yang memohon ke pintu tempat aku berdiri.
"Tunda pertemuannya," ucapnya. Suaranya kembali terdengar tegas, tetapi kali ini ditujukan kepadaku. "Undur dua jam lagi."
Aku tersentak kaget. "Pak Leonardo, para bos dari Keluarga Lastana, Keluarga Rozak, dan Keluarga Fadela sudah menunggu di ruang rapat. Negosiasi ini sangat penting untuk perluasan wilayah selatan ...."
"Duh, Leonardo, asistenmu ini bikin pusing saja," sela Isabel sambil memutar bola matanya. "Harus banget ya dia merusak suasana? Apa dia nggak bisa baca situasi?"
Ekspresi Leonardo yang sempat ragu langsung mengeras saat dia menatapku. "Aku sudah bilang, undur saja dua jam lagi. Nggak ada urusan bisnis keluarga yang lebih penting daripada Isabel."
Kata-katanya terasa seperti pengkhianatan yang jauh lebih besar daripada urusan pribadi. Dia mempertaruhkan kesepakatan bernilai belasan miliar, bahkan bisa memicu perang dengan tiga keluarga berpengaruh, hanya demi keinginan seorang perempuan.
Inikah pria yang dulu kucintai? Pria yang selalu kupuji sebagai ahli strategi? Dia rela membuang semuanya hanya karena senyum manis dan bibir manyun perempuan itu.
Namun, aku hanyalah asistennya. Aku mengangguk sekali, kaku dan singkat. "Baik, Pak."
Aku menutup pintu dengan perlahan dan berbalik, bahuku seakan merosot menanggung beban yang tak terlihat. Aku berjalan menuju ruang rapat, langkah sepatu hak tinggiku bergema hampa di lantai yang mengilap.
Langkahku terasa seperti pawai kematian. Setiap langkah menggemakan ketukan harapanku yang sekarat. Dia telah memilih. Bukan hanya antara perempuan itu dan aku, tetapi antara tanggung jawab dan kesenangan pribadinya. Dan aku, serta seluruh anggota Keluarga Wistara, telah kalah.
Di dalam, ketiga gembong kriminal itu duduk mengelilingi meja mahoni. Enzo Lastana, pria bertubuh besar dengan cincin emas besar di jarinya, mengetuk-ngetuk arlojinya dengan tidak sabar. "Di mana dia?" gerutunya, suaranya bergemuruh pelan.
Aku berusaha terlihat tenang meskipun sama sekali tidak merasakannya. " Aku mohon maaf, Pak. Pak Leonardo sedang terhalang urusan yang nggak bisa ditunda. Beliau meminta pertemuan ini dijadwalkan ulang dua jam dari sekarang."
Suasana ruangan menjadi dingin. Mario Rozak, pria ramping dan elegan yang jauh lebih berbahaya dibanding penampilannya, bersandar di kursinya. Senyum tipis terukir di bibirnya. "Berhalangan? Karena apa? Urusan yang lebih mendesak?"
Aku tetap membalas tatapannya lurus-lurus. "Ada masalah pribadi, Pak."
Itu adalah jawaban yang salah. Salah satu anak buah Keluarga Lastana, Ricky, pria berbadan kekar yang pernah kulihat mematahkan lengan orang hanya gara-gara minumannya tumpah, melangkah maju. Sebelum aku sempat bereaksi, telapak tangannya sudah menghantam wajahku. Suaranya menggema di ruangan itu.
Rasa sakit meledak di pipiku, bahkan kepalaku sampai terentak ke samping. Aku pun bisa merasakan darah di mulutku.
"Masalah pribadi?" geram Enzo dengan jijik. Dia berdiri, menumpukan kedua tinjunya yang besar di atas meja. "Kami sudah mengosongkan jadwal untuk dia, tapi dia malah sibuk dengan urusan pribadi? Ini penghinaan! Apa dia pikir kami ini pesuruhnya?"
Ricky menarik tangannya lagi. Aku tersentak, bersiap menerima pukulan berikutnya. "Mungkin kami harus menyampaikan pesan yang lebih jelas," geramnya.
Selama dua jam berikutnya, aku berdiri di sana dan menyerap semua amarah mereka. Mereka tidak berani menghina Leonardo secara langsung, jadi semua amarah mereka, sikap merendahkan mereka, dan ancaman terselubung mereka ditujukan kepadaku. Aku menahan perih di pipiku, dan juga rasa malu karena dijadikan pelampiasan demi harga diri mereka yang tersinggung.
Aku memikirkan tujuh tahun yang telah kuberikan untuk Leonardo, juga seluruh kesetiaan dan cintaku. Penghinaan di depan umum ini adalah pembalasan yang terakhir. Aku membalas utang budiku dengan darah dan rasa malu.
Ketika Leonardo akhirnya memasuki ruang rapat di siang harinya, dalam keadaan segar dan tenang, suasana langsung berubah. Para bos besar lainnya menelan ludah, ekspresi mereka perlahan kembali netral.
"Maaf atas keterlambatannya, Bapak-bapak," kata Leonardo, suaranya halus dan berwibawa saat dia duduk di ujung meja. "Bisa kita mulai?"
Matanya menyapu ruangan, sekilas melewati aku. Apakah dia berhenti sejenak di pipiku yang memerah? Jika iya, dia tidak menunjukkan apa pun. Dia tidak bertanya apa yang terjadi. Dia tidak peduli. Pesannya jelas, aku tidak berarti.
Aku menyelinap keluar, kepalaku tertunduk bukan hanya untuk menyembunyikan pipiku yang memar, tetapi juga untuk menyembunyikan keyakinan dingin yang akhirnya mengeras di dalam hatiku.
"Amelia!"
Suara Isabel, nyaring dan tajam, memecah keheningan di lorong. Aku berhenti dan menoleh.
Dia berjalan ke arahku dengan senyum kecil yang puas di wajahnya. "Kudengar dari Leonardo, kamu bisa bikin kopi yang lumayan. Para pria kelihatan lesu hari ini. Sayang sekali, tolong buatkan satu putaran untuk semua orang di aula utama. Kopiku seperti biasa ya, harus digiling manual, takaran bijinya setengah gram."
Dia tahu tentang pertemuan dengan Keluarga Lastana. Dia tahu apa yang baru saja terjadi. Dia sedang mengingatkanku tentang posisiku yang baru, dari orang kepercayaan menjadi pelayan kopi.
Aku tidak berani menolak. "Tentu."
Dapur di kompleks itu canggih, tetapi tidak dirancang untuk satu orang yang harus membuat kopi untuk seluruh aula berisi lebih dari seratus anggota keluarga dan rekan. Aku menghabiskan hampir dua jam. Menggiling biji kopi sesuai permintaannya, menyeduh teko demi teko, mencari cangkir bersih yang cukup, menyiapkan kopi sesuai standarnya.
Kakiku yang terluka menjerit setiap kali aku berdiri terlalu lama. Luka di dahiku, tersembunyi di bawah poniku, berdenyut mengikuti detak jantungku. Namun rasa sakit fisik itu menjadi pengalih perhatian yang disambut, dibanding rasa sakit lain yang lebih dalam dan menyesakkan di dadaku.
Saat aku bekerja, kenangan-kenangan bermunculan. Leonardo, di awal perjanjian kami, pernah mendapati aku kelelahan setelah melakukan tugas serupa untuk pertemuan besar. Dia tidak berkata apa-apa, tetapi malam itu, tangannya sangat lembut saat memijat bahuku yang pegal.
"Kamu nggak perlu membuktikan apa pun ke siapa pun," gumamnya di rambutku. Kontradiksi itu sangat menusuk. Dulu, aku pantas menerima kelembutannya yang disembunyikan. Sekarang, aku tidak pantas menerima apa pun selain cemoohan.
Akhirnya, aku mulai membawa nampan-nampan itu, membagikan cangkir-cangkir kopi. Ketika aku membawa cangkir untuk Isabel, dia sedang bersantai di kursi tamu di kantor Leonardo, memainkan ponselnya.
Dia menerima cangkir porselen itu, menyesap dengan sengaja, lalu wajahnya langsung meringis jijik.
"Ini menjijikkan!" teriaknya, suaranya menggema.
Sebelum aku sempat bergerak, dia menyiramkan seluruh isi cangkir ke wajahku. Cairan panas itu menghantam kulit dan mataku, menyengat dan membuatku buta sesaat. Aku berteriak, tanganku terangkat menutupi wajah, tubuhku mundur terhuyung hingga jatuh.
Namun, Isabel belum selesai. Amarahnya berubah menjadi tontonan di seluruh kantor. "Dasar jalang nggak berguna!" teriaknya sambil meraih cangkir penuh lain dari nampan. "Kamu kira aku nggak tahu kamu ini apa? Kamu ini apa buat dia?" Dia melempar cangkir kedua, cairan panas itu memercik ke dadaku dan lenganku. "Kamu bukan siapa-siapa! Dia cuma pakai kamu sebagai pelacur murahan!"
Gelas ketiga menyusul, pecah di lantai dekat kepalaku, memercikkan rambut dan wajahku dengan pecahan keramik dan lebih banyak kopi. Aku basah kuyup, rambut dan pakaianku lengket oleh kopi hangat. Aroma kopi tercium di mana-mana, menyesakkan. Rasa sakitnya tajam dan menyengat.
Aku meringkuk seperti bola, lenganku melindungi kepala, lututku kutarik ke dada, membuat diriku sekecil mungkin agar tidak menjadi sasaran lebih besar. Aku menggigit bibir agar tidak berteriak.
Seluruh aula mendadak sunyi. Puluhan anggota keluarga menyaksikan, membeku. Tak ada seorang pun yang bergerak. Tak ada seorang pun yang berbicara. Mereka hanya menatap, wajah mereka campuran ngeri dan tak percaya. Mereka semua mengira akulah calon Nyonya Wistara, wanita yang memegang telinga dan kepercayaan bos besar.
Sekarang, mereka melihat kebenarannya. Aku hanyalah korban lain dalam permainan kekuasaan dan nafsu yang brutal, dibuang dan dihancurkan oleh pria yang telah kulayani dengan begitu setia.
Keributan itu akhirnya menarik Leonardo keluar dari ruang pertemuan. Dia berdiri di ambang pintu, matanya menyapu pemandangan di depannya, kopi yang menggenang di lantai, cangkir-cangkir yang pecah, dan aku, meringkuk dan basah kuyup di lantai seperti hewan yang terjebak dan terluka.
Dahinya berkerut. "Apa yang terjadi di sini?"
Seketika, amarah Isabel lenyap. Wajahnya berubah, menampilkan dirinya sebagai korban. Air mata menggenang di matanya yang besar. "Leonardo," rengeknya, suaranya bergetar, "aku cuma minta kopi sederhana ke asistenmu. Rasanya berpasir, kayak dia masukin pasir benaran! Tenggorokanku sakit!"
Dia memegangi tenggorokannya, tampak benar-benar kesakitan.
Tatapan Leonardo tertuju padaku, ekspresinya berubah dari bingung menjadi kemarahan dingin. "Kamu sudah kerja sama aku empat tahun, dan bikin kopi sederhana saja nggak bisa? Atau kamu punya masalah sama Isabel dan sengaja melakukan ini?"
Aku mengangkat kepalaku, pandanganku kabur oleh kopi dan air mata yang kutahan sekuat mungkin. "Pak Leonardo, aku ...."
Dia tidak membiarkan aku menyelesaikan kalimat itu. Dia memanggil wakilnya. "Amelia telah melanggar aturan keluarga. Potong gaji bulan ini dan bonus triwulannya. Siapkan memo untuk seluruh keluarga. Dia akan menyampaikan permintaan maaf resmi di depan umum pada pertemuan berikutnya."
Lalu, dia berbalik. Dia melepas jasnya dan menyampirkannya di bahu Isabel. "Ayo, Darling. Kita pulang. Kamu perlu istirahat."
Dan dia membawanya pergi, melewati aku, seolah-olah aku hanyalah sampah tak berguna yang ditinggalkan di lantai untuk dibersihkan petugas kebersihan. Hal terakhir yang kudengar adalah desahan lembut Isabel yang puas saat mereka masuk ke dalam lift.
Aku tetap berbaring di sana cukup lama, dinginnya marmer merembes ke pakaian basahku. Keheningan di aula itu mutlak. Tak ada yang datang membantu. Aku sekarang tak tersentuh, ternoda oleh ketidakpuasan bos besar.
Perlahan, dengan susah payah, aku memaksa diriku berlutut, lalu berdiri. Aku tidak memandang siapa pun saat melangkah pergi, kepalaku tetap tegak meskipun dipermalukan, setiap langkah terasa seperti sumpah dalam hatiku. Inilah akhir dari semuanya. Leonardo telah mematikan sisa cintaku dengan sikap tidak acuhnya. Yang tertinggal hanya bayangannya ... dan sebentar lagi, itu pun akan hilang.