Selama delapan tahun, keberadaanku di kerajaan bisnis Leonardo Wistara bagaikan hantu yang tak terlihat. Pada siang hari, aku menjadi asisten eksekutifnya, bekerja bagaikan mesin yang menggerakkan bisnis gelapnya. Namun pada malam hari, aku menjadi burung peliharaan paling patuh di sangkar emasnya. Sesosok tubuh tanpa nama di ranjangnya.
Aku mencintai dia dengan pengabdian yang nyaris berubah menjadi kegilaan, api cinta konyol yang kupelihara sejak aku masih jadi mahasiswa penerima beasiswa yang terseret masuk ke dalam orbit pria itu. Aku percaya cinta rahasiaku suatu hari bisa mencairkan hatinya. Namun, ternyata aku salah.
Suatu hari Isabel, cinta pertama Leonardo yang sulit dilupakan, kembali muncul. Di hari yang sama, sosok pria yang selama ini kukenal langsung lenyap. Senyum langka yang dulu hanya untukku, kini semuanya untuk Isabel.
Kebersamaanku dengannya seolah-olah dihapus begitu saja, digantikan dengan kehadiran cinta pertamanya. Bahkan ketika Isabel menjebakku, Leonardo tetap memercayainya tanpa ragu.
Dia selalu memilih Isabel, setiap saat.
Aku pun menyerahkan surat pengunduran diri. Leonardo menandatanganinya tanpa menoleh padaku. Dia mengira aku akan merangkak kembali padanya, memohon dengan hati yang hancur.
Namun, dia salah.
Sementara dia sibuk bermain rumah-rumahan dengan "Darling" kesayangannya, aku diam-diam menata ulang seluruh hidupku. Bersiap-siap untuk menghilang dari dunia pria itu, untuk selamanya.
....
Sudut Pandang Amelia:
"Bu Amelia, surat pemberhentianmu sudah ditandatangani oleh Pak Leonardo." Suara manajer HRD terdengar bergetar di telepon, ada nada ragu yang tidak biasa. "Tapi sepertinya dia nggak sadar kalau berkas itu punyamu. Berkas itu ada di antara beberapa dokumen lain. Apa aku perlu ... sampaikan langsung ke dia?"
"Nggak usah," kataku. Suaraku terdengar terlalu tenang, menutupi detak jantungku yang berdebar di tulang rusuk. "Nggak usah bahas apa pun. Biarin saja."
"Tapi Bu Amelia," desak manajer itu, kali ini terdengar seperti menahan iba, "kamu sudah jadi asisten pribadi Pak Leonardo selama empat tahun. Sebelumnya, kerjanya nggak pernah seefisien ini. Dia mengandalkanmu untuk semua hal. Apa kamu benar-benar yakin ingin mengundurkan diri?"
Senyum tipis yang pahit muncul di bibirku. Dalam Keluarga Wistara, nilai kesetiaan bisa hilang dalam semalam.
"Nggak ada seorang pun yang benar-benar nggak tergantikan," kataku, mengulangi kalimat yang sudah kupersiapkan, kebohongan yang mulus dan terlatih.
"Studi pascasarjanaku sudah selesai, dan keluargaku membutuhkanku di rumah. Ada ... urusan yang harus ditangani. Karena Pak Leonardo sudah setuju, jadi aku akan jalani sesuai prosedur. Satu bulan untuk serah terima. Itu saja."
Kuakhiri panggilan itu sebelum loyalitas sang manajer yang salah kaprah meruntuhkan tekadku.
Tujuh tahun lalu, aku, Amelia Effendi, mahasiswa penerima beasiswa dari kota kecil yang sepi dan di tengah kesulitan ekonomi, diterima di universitas bergengsi. Di sana aku bertemu Sofia Wistara, sosok yang percaya diri dan nekat, putri kesayangan keluarga kriminal paling berkuasa di kota ini.
Tidak ada yang menyangka kalau kami akan menjadi begitu dekat. Duniaku penuh dengan buku pelajaran, pekerjaan paruh waktu sebagai pelayan, dan pinjaman biaya kuliah. Dunia Sofia penuh pengawal yang selalu waspada, kartu kredit tanpa limit, dan kuasa yang tidak pernah diucapkan tapi terasa seperti bayangan yang besar. Namun, kami menemukan titik temu lewat sesi belajar larut malam, pizza berminyak, dan cita-cita yang dari luar terlihat berasal dari dunia yang jauh berbeda.
Perlahan dan hati-hati, dia menarikku masuk ke orbitnya. Aku bertemu ayahnya, pria yang membawa hawa dingin ke mana pun dia pergi. Tatapannya menyimpan beban yang terkumpul dari puluhan tahun hidup di dunia mafia. Aku bertemu ibunya yang anggun dan sulit dijangkau seperti bulan di musim dingin. Dan aku bertemu kakaknya, Leonardo.
Leonardo Wistara. Terlalu tampan, dengan aura berbahaya yang membuat orang lain menjauh, tetapi bagiku dia justru terasa lembut. Hatiku yang polos dan bodoh, sama sekali tidak siap menghadapi badai sepertinya, menyerah tanpa perlawanan.
Aku mengubur perasaan itu dalam-dalam, seperti harta karun memalukan yang tidak boleh diketahui siapa pun. Bahkan Sofia pun tidak tahu.
Setelah lulus, Sofia dikirim ke Endora untuk melanjutkan studi, sesuai tradisi di Keluarga Wistara. Aku tetap di kota dan mulai mengirimkan lamaran ke sana-sini. Berkat kemampuanku sendiri, aku akhirnya mendapat tawaran menjadi Asisten Eksekutif Pribadi untuk Leonardo, meskipun aku curiga Sofia juga ikut membantu.
Dari luar, orang melihat hal ini sebagai kesempatan untuk membangun karierku. Namun dalam hatiku, ini adalah kesempatan untuk terus berada di dekat Leonardo, kesempatan untuk menghirup udara yang sama.
Enam bulan kemudian, terjadi sebuah insiden. Negosiasi dengan faksi lawan berubah menjadi adu senjata. Leonardo disergap dan diracuni dengan obat kuat yang membuatnya kehilangan kendali. Aku menemukan dia di ruang kerjanya. Seluruh tubuhnya panas, keringat menetes, dan pupilnya melebar.
Leonardo yang terkenal karena pengendalian diri yang kuat, kini kehilangan kemampuan itu. Dengan tangan gemetar, aku meraih ponsel untuk menghubungi dokter keluarga.
Namun, dia bergerak begitu cepat dan mengimpit tubuhku ke dinding beton yang dingin. Dia menciumku dengan putus asa dan lapar, tangannya merobek pakaianku dengan hasrat yang kasar dan penuh kepanikan.
Malam itu dipenuhi dengan tubuh yang saling menyatu, kulit yang terasa panas, dan bisikan-bisikan yang membingungkan .... Itulah malam yang menghancurkan ketenangan hidup yang selama ini kujaga.
Aku terbangun saat fajar. Leonardo sudah bangun, duduk di kursi kulit dekat jendela dengan rokok di tangan. Saat aku bergerak, dia menoleh. Tatapannya kini tenang dan penuh perhitungan, jauh berbeda dari gairah di malam sebelumnya.
Pertanyaan pertamanya keluar begitu saja dari mulutnya, nadanya dingin dan kaku. "Kamu jatuh cinta sama aku?"
Mulutku terbuka, ucapan penolakan hampir keluar dan pipiku memanas. Namun dia menyela dengan suara yang datar dan tegas.
"Wajahmu selalu memerah tiap kali aku masuk ruangan. Kamu hafal pesanan kopi langgananku, jadwalku, dan setiap kebiasaan kecilku tanpa pernah dikasih tahu. Kamu memburu pekerjaan ini, di posisi yang spesifik begitu kamu lulus ...."
Dia sedikit mencondongkan tubuh, tatapannya menusuk tajam, membaca semua isi hatiku. "Kamu pikir aku sebodoh itu, bakal percaya kalau kamu bilang ini semua cuma kebetulan?"
Dia membedah segala rasa ketertarikanku yang menyedihkan dan begitu kentara, mengungkap setiap bukti sampai wajahku memerah. Membuatku diselimuti campuran rasa malu karena tertangkap basah, dan juga masih berharap, meskipun hatiku sakit.
Dalam keheningan yang berat dan terasa menghakimi itu, Leonardo tidak meraih jaketnya. Dia meraih dompetnya. Dia menyodorkan sebuah kartu titanium hitam di atas permukaan meja yang mengilap, tepat di antara kami berdua.
"Tadi malam itu cuma sebuah kesalahan. Kesalahan yang terjadi karena pengaruh obat. Aku punya orang lain di hatiku. Aku nggak bisa membalas perasaanmu, dan aku nggak akan menawarkan komitmen." Dia mengatakannya seperti sebuah fakta yang sudah ditetapkan, sebuah keputusan yang bulat.
"Sofia pernah cerita tentang ... kondisi keuangan keluargamu. Uang di rekening itu cukup banyak supaya kamu nggak perlu khawatir lagi. Ambil saja. Anggap saja kesalahan semalam sudah dilupakan."
Aku terdiam, pikiranku kalut. Lalu aku ingat ... di tengah panasnya malam itu, ketika pertahanannya runtuh, dia berbisik menyebut sebuah nama di atas kulitku, berulang kali. "Isabel."
Saat Sofia mabuk anggur dan mengoceh tanpa henti, aku jadi tahu kalau Isabel adalah cinta pertama Leonardo yang tidak terlupakan, bidadari pujaan yang tak tersentuh. Dia mencintai gadis itu dengan pengabdian yang nyaris seperti obsesi.
Bahkan setelah Isabel pergi ke luar negeri untuk "mempelajari seni", di tengah desas-desus tentang hubungannya dengan seorang playboy kaya dari Endora, Leonardo tetap bersumpah akan menunggunya.
Dia adalah monumen cinta yang tidak bisa dipahami oleh siapa pun. Sofia pernah menggerutu sambil menenggak anggur murahan di kamar asramaku, "Keluargaku, kami dikenal berhati dingin. Begitu cara kami bertahan hidup turun-temurun."
"Bisa-bisanya kami berakhir dengan kakakku, si bucin romantis sialan itu? Dia sanggup menunggu sampai bertahun-tahun, bilang perempuan lain cuma kompromi, dan dia bahkan nggak mau menurunkan standar."
Kata-kata itu bergema di kepalaku ketika aku berdiri telanjang dan sangat rapuh di hadapannya. Lalu entah bagaimana, keberanian yang tidak terduga mengalir dalam diriku. Saat dia berbalik dan hendak pergi, aku memberanikan diri untuk bersuara.
"Aku nggak menginginkan uangmu." Suaraku hanya terdengar seperti bisikan gemetar. Aku menelan ludah, memaksa diriku tegar.
"Aku cuma ingin kamu kasih aku kesempatan. Pak Leonardo, kumohon. Tetaplah bersamaku. Cobalah. Kalau dia nggak kembali, atau kalau ... kalaupun dia kembali, tapi kamu sadar perasaanmu padanya sudah berubah ... aku akan pergi hari itu juga. Aku janji. Aku akan pergi dan nggak akan melihat ke belakang lagi."
Dia berhenti, tangannya tertahan di kenop pintu. Dia menatapku, dan selama beberapa detik, tatapannya melembut. Wajahnya menyiratkan perasaan yang sulit terbaca.
Lalu, tatapan hangat itu menghilang. Tertutup lagi oleh dinding dingin yang tak bisa ditembus. Dia berkata dengan pelan, acuh, nyaris seperti bosan, "Terserah kamu saja." Lalu, dia pergi meninggalkanku berdiri sendirian di sana. Yang tersisa hanya sebuah kartu hitam dan harga diriku yang hancur berantakan.
Sejak itu, hidupku terbagi menjadi kebohongan yang tertutup rapi. Di siang hari, aku adalah asistennya yang profesional dan tak bercela, dan di malam hari, aku adalah perempuan rahasianya.
Di meja kerjanya, di interior mewah mobil Maybach berlapis baja miliknya, di jendela besar dengan pemandangan kota yang terhampar di bawah .... Kami meninggalkan jejak hubungan kami di mana-mana.
Dia tidak pernah bicara tentang cinta, tetapi akulah satu-satunya perempuan yang ada di sisinya setiap kali dia menghadiri jamuan makan. Ketika perempuan lain mencoba menarik perhatiannya, dia membiarkan aku yang mengatasinya. Hadiah-hadiah mahal berdatangan kepadaku tanpa proses rumit.
Semua orang mengira akulah calon istrinya. Di saat-saat paling intim, ketika dia meneriakkan namaku, bahkan aku pun mulai percaya kalau suatu hari dia akan mengakuiku.
Empat tahun berlalu. Semua orang di keluarganya maupun di lingkungan bisnisnya tidak pernah mencurigai hubungan kami. Mereka hanya melihatku sebagai seorang ajudan yang sangat setia dan cakap.
Dan aku, orang paling bodoh di antara semuanya, berusaha meyakinkan diriku sendiri bahwa semua momen rahasia itu, semua tatapan intensnya padaku dalam gelap, menyimpan sesuatu yang berarti. Aku yakin kalau semua itu telah berhasil meluluhkan hatinya.
Semua berubah ketika hari ulang tahun Leonardo tiba, seminggu yang lalu. Aku sudah menyiapkan makan malam sederhana yang hangat. Aku menyediakan anggur vintage langka kesukaannya dan hadiah berupa jam tangan yang sangat mahal. Semuanya kubeli dengan uang yang kutabung selama berbulan-bulan.
Aku ingin membuat malam yang sempurna dan walaupun hanya sebentar, berpura-pura seakan kami adalah pasangan normal, untuk membuktikan bahwa aku lebih dari sekadar rahasia.
Aku menunggu sampai lilinnya terbakar habis. Makanan yang tersaji di piring sudah mengering. Sampanye kehilangan buihnya. Namun, dia tidak datang juga. Saat jam melewati tengah malam, ponselku berbunyi. Leonardo yang menganggap media sosial sebagai hal remeh telah mengunggah postingan baru.
Kalimat yang dia tuliskan menusuk hatiku.
[ Hadiah ulang tahun yang terbaik adalah mendapatkan kesempatan kedua. ]
Di bawahnya ada foto. Leonardo dan Isabel sedang berpelukan mesra. Tangannya menyibakkan rambut Isabel dengan lembut saat mereka saling menatap dibawah sinar kembang api berwarna-warni yang terlihat mahal. Perempuan itu telah kembali.
Darah seakan mengalir keluar dari tubuhku sampai-sampai ruangan terasa berputar. Dadaku seperti diremas, sakitnya begitu nyata sampai aku sulit bernapas.
Dengan sisa harapan terakhir yang menyedihkan, aku mencoba menelepon Leonardo dengan jari gemetar.
Isabel yang menjawab. Suaranya ringan, merdu, dan manis, tetapi terasa pedih seperti tamparan di wajahku.
"Halo?"
Semua hening untuk sesaat.
"Halo? Siapa ini?" Saat suaraku tidak terdengar, dia memanggil dengan nada manis yang dibuat-buat, "Leonardo, sayang? Ponselmu bunyi. Ada orang bernama ... Amelia? Dia cuma diam saja."
Sesaat kemudian, suara pria itu terdengar. Suaranya rendah, acuh, dan teredam oleh jarak. Kata-katanya yang terukir dalam-dalam di kepalaku. "Itu bukan siapa-siapa. Nggak usah khawatir, sayang. Ayo tidur lagi."
Bukan siapa-siapa.
Ponselku terlepas dari tanganku yang mati rasa dan jatuh ke lantai marmer. Saat itu, aku tahu.
Tirai di panggung sudah diturunkan. Pertunjukan sudah selesai. Peranku dalam hidupnya sudah berakhir. Sudah waktunya meninggalkan panggung sandiwara ini.