Share

Bab 4

Penulis: Snow
Sudut Pandang Amelia:

Hari-hari berikutnya menjadi pelajaran tentang ketahanan dalam diam. Aku menjalankan tugasku dengan efisiensi seperti mesin yang tampaknya membuat Leonardo gelisah. Sesekali dia memperhatikanku dari ambang pintu kantornya, dengan garis kebingungan samar di antara alisnya, seolah-olah mencoba memahami perubahan dalam diriku.

Wanita yang dulu memandangnya dengan cinta yang tak tersamarkan, kini menatapnya dengan sopan dan hampa seperti orang asing. Aku telah menjadi hantu yang tak dianggap, sama seperti caranya memperlakukanku selama ini.

Perjamuan untuk menyambut kembalinya Isabel akan diadakan di tempat paling bergengsi milik keluarga itu, sebuah ballroom berdekorasi mewah di salah satu kasino Leonardo.

Selama berhari-hari, aku mengoordinasikan segalanya, mulai dari menu, detail keamanan, hingga daftar tamu para bos besar dari keluarga sekutu beserta istri mereka. Semua harus sempurna. Leonardo sudah menegaskan hal itu.

Aku meninjau rencana keamanan bersama Margo, menunjukkan dua titik lemah yang berpotensi terlewatkan olehnya. Dia menatapku dengan rasa hormat yang belum pernah dia perlihatkan sebelumnya.

"Seharusnya kamu yang menjalankan bisnis ini, Amelia," katanya pelan. Aku hanya tersenyum tipis. Seandainya saja dia tahu.

Malam pun tiba. Aku mengenakan gaun hitam sederhana karena peranku hanya sebagai penyelenggara, bukan tamu. Aku bergerak di antara kerumunan yang berkilauan, memastikan gelas anggur tetap terisi. Memastikan agar bos besar Keluarga Lastana duduk jauh dari rombongan Keluarga Rozak, dan agar orkestra bermain dengan volume yang pas.

Isabel tampak cemerlang dalam gaun biru muda, bergelayut di lengan Leonardo dan tertawa riang mendengar apa pun yang dikatakan pria itu. Dia menjadi pusat perhatian, sang putri yang baru saja kembali. Sementara aku hanyalah bayangan di latar belakang.

Aku memperhatikan mereka dari pinggir ruangan. Leonardo mengenakan tuksedo yang dirancang khusus yang membuatnya tampak seperti bos besar yang berkuasa. Dia menyentuh punggung Isabel dengan posesif. Isabel berlenggok menikmati perhatian itu, melemparkan tatapan penuh kemenangan ke arahku setiap kali tatapan kami bertemu. Aku membalasnya dengan datar, tanpa ekspresi.

Kemenangannya tidak berarti. Dia telah memenangkan seorang pria yang jelas-jelas mampu berbuat sekejam itu. Silakan saja, dia boleh ambil semuanya.

Aku melihat Sofia di seberang ruangan. Dia menatap kakaknya dan Isabel dengan ekspresi jijik yang tidak ditutupi. Saat mata kami bertemu, tatapannya dipenuhi rasa sakit yang sama tak berdayanya. Dia sempat melangkah ke arahku, tetapi aku menggeleng pelan, nyaris tidak terlihat. Aku tidak boleh menimbulkan keributan. Tidak malam ini. Sofia pun berhenti, bahunya merosot pasrah.

Di pertengahan malam itu, di tengah riuh rendah acara, suara Isabel meninggi, tajam dan tertekan.

"Gelangku! Leonardo, gelangku hilang! Gelang berlianku!"

Musik terhenti. Semua mata tertuju pada Isabel. Dia berdiri di samping kursinya, pergelangan tangannya kosong, wajahnya tampak seperti topeng duka yang dibuat begitu rapi.

"Itu milik nenekku. Nggak tergantikan," serunya, mengalihkan pandangannya yang tergenang air mata ke arah Leonardo.

"Nanti pasti ketemu, Darling," kata Leonardo, suaranya tenang tetapi matanya sudah mengamati ruangan, ada kilatan berbahaya di dalamnya. Ini rumahnya, acaranya. Pencurian adalah penghinaan baginya.

"Baru saja aku taruh sini. Aku cuma lepas sebentar untuk membetulkan sepatuku ...." Tatapannya menyapu ruangan, lalu berhenti tepat di mataku. Dia menunjuk dengan jari gemetar dan menuduh, "Kamu! Kamu barusan lewat sini. Kamu satu-satunya yang dekat dengan tempat dudukku."

Rasa takut yang dingin dan tidak asing menyergapku. Ini jebakan. Usaha untuk mempermalukanku yang direncanakan dengan teliti. Aku baru melihat gelang itu di pergelangan tangannya sepuluh menit yang lalu. Dia pasti melepasnya saat tidak ada yang melihat. Kenekatannya, sandiwaranya, benar-benar membuatku tercengang.

Seluruh ballroom hening. "Aku sedang memeriksa meja makan, Nona Isabel. Aku nggak lihat gelang apa pun."

"Kamu bohong!" teriaknya. "Kamu selalu iri padaku. Kamu menginginkan Leonardo untuk dirimu sendiri. Pasti kamu yang ambil!"

Tuduhan itu menggantung di udara, buruk dan tidak masuk akal. Aku melihat wajah-wajah di kerumunan … ada yang ragu, ada yang penasaran, dan ada yang sudah yakin aku bersalah. Di dunia mereka, cemburu adalah alasan yang mudah dipercaya siapa saja.

Mata Leonardo menyipit, bergeser dari sosok Isabel yang histeris ke tatapanku yang membeku. Rasa curiga yang menguasai seluruh ruangan membebaniku.

"Geledah dia," perintah Leonardo, suaranya rendah dan dingin. Dua pengawalnya bergerak maju.

"Jangan," bisikku, mundur. "Aku nggak ambil apa pun." Suaraku tetap tenang, tetapi di dalam hati aku berteriak. Ini pengkhianatan terakhir. Dituduh di depan umum seperti pencuri amatir.

"Kalau kamu nggak bersalah, kamu nggak perlu takut," kata Leonardo, tatapannya tidak goyah. Kata-katanya terasa seperti ejekan. Kepolosan tidak berarti apa-apa di hadapan keinginannya untuk menenangkan perempuan itu.

Para pengawal tidak menunggu persetujuanku. Mereka mencengkeram lenganku. Salah satunya merogoh dan menepukku dengan kasar sementara yang lain mengosongkan tas kecil yang kubawa.

Aku merasakan tatapan setiap bos besar, setiap kepala anak buah, setiap orang yang sudah bekerja denganku bertahun-tahun. Aku melihat rasa iba di mata Sofia, juga tatapan puas Isabel yang dingin dan kejam. Aku memejamkan mata, mencoba mengalihkan perhatianku dari penghinaan itu.

"Nggak ada, Bos Leonardo," lapor salah satu pengawal.

Isabel meratap, "Dia pasti sembunyikan gelangnya di suatu tempat. Periksa area staf. Periksa kantornya."

Rahang Leonardo mengeras. Suasana semakin menegang, menodai malam itu. Dia menatapku yang berdiri malu di tengah ruangan, lalu menatap Isabel yang kini terisak di pelukannya.

"Cukup," katanya, satu kata itu memecah ketegangan. Dia melangkah menghampiriku, ekspresinya sulit dibaca. "Kamu ikut aku."

Dia tidak menunggu jawaban. Dia meraih lenganku, genggamannya erat, dan mulai menarikku keluar dari ballroom. Isabel segera menyusul di sisinya.

"Leonardo, kamu mau ke mana? Kamu nggak boleh pergi!"

"Aku akan antar dia pulang. Urusan ini bakal selesai sekarang!"

"Aku ikut juga!" desaknya, menggenggam lengan Leonardo erat.

Leonardo tidak membantah. Dia menuntun kami berdua keluar dari ballroom, melewati koridor belakang kasino, lalu masuk ke Maybach yang sudah menunggu. Sopirnya, salah satu orang kepercayaan Leonardo, menatap lurus ke depan. Aku sempat menangkap tatapannya lewat kaca spion. Ada sedikit simpati di sana, lalu hilang begitu saja.

Mobil itu hening saat melaju menjauh dari trotoar. Isabel duduk di belakang bersama Leonardo, sementara aku di kursi penumpang depan. Ketegangannya begitu pekat sampai rasanya sulit bernapas.

Isabel memecah keheningan, suaranya merengek kesal. "Leonardo, seharusnya kamu nggak mempermalukanku seperti itu di depan semua orang! Dia cuma pelayan! Kenapa kamu repot-repot urus dia?"

"Isabel, jangan sekarang," ujar Leonardo, suaranya terdengar letih.

"Justru aku harus bahas sekarang! Aku mau tahu! Apa kamu punya perasaan sama dia? Itu sebabnya kamu selalu bela dia?"

"Aku nggak bela dia. Aku berusaha mencegah keributan."

"Semua ini selalu tentang dia! Sejak aku kembali, dia seperti hantu yang terus mengganggu kita!" Suaranya meninggi, mulai terdengar putus asa. "Aku lihat caramu menatapnya waktu kamu kira aku nggak lihat. Seolah-olah, kamu lagi mencoba memecahkan sesuatu. Kamu nggak pernah menatapku seperti itu!"

Nada suaranya makin tajam. Dia memukul lengan Leonardo, tidak keras, tetapi cukup mengganggu. "Lihat aku kalau aku bicara! Leonardo!"

"Isabel, hentikan," geram Leonardo sambil meraih pergelangan tangannya. "Kamu bisa bikin kita kecelakaan."

Sang sopir, teralihkan oleh pertengkaran di kursi belakang, menoleh di saat yang krusial. Dia tidak melihat truk pengiriman barang yang menerobos lampu merah di persimpangan depan.

Benturannya memekakkan telinga. Dalam sekejap, dunia berubah menjadi hiruk-pikuk yang brutal, logam beradu dan kaca pecah di mana-mana. Maybach itu, sekuat apa pun, tetap tidak sanggup menahan hantaman truk yang melaju kencang. Kami terpental ke depan seperti boneka tak bernyawa.

Aku terpental ke depan, sabuk pengaman menahan tubuhku dengan keras di dada dan bahu. Kepalaku menghantam sandaran kepala dengan suara yang menusuk. Selama beberapa detik, yang ada hanya keheningan, bau karet terbakar, dan bau bensin yang tumpah.

Dengan linglung, aku mencoba bergerak. Rasa sakit tajam menusuk bahuku dan membuatku mengerang.

Dengan sisa tenaga, aku menoleh. Leonardo sudah bergerak, mendorong pintu sampai terbuka. Darah mengalir dari luka di dahinya, tetapi dia masih tampak kuat. Isabel menjerit, suaranya melengking dan panik.

"Kakiku! Leonardo, kakiku! Sakit!"

Leonardo cepat-cepat menoleh, seluruh fokus tertuju pada Isabel. "Bagian mana yang sakit, Darling?"

"Pergelangan kakiku! Sepertinya patah! Kamu tahu aku ini penari! Pergelangan kakiku nggak boleh cedera!" Tangisannya dramatis, meskipun rasa sakitnya terdengar nyata.

Sirene mulai meraung di kejauhan. Bantuan semakin dekat. Leonardo menatap Isabel, lalu menatapku. Aku mencengkeram bahuku, darah mengalir dari dahiku. Tatapan kami bertemu sesaat. Ada sesuatu di sana. Kekhawatiran atau mungkin keraguan. Terlalu singkat untuk dipahami.

Lalu dia kembali pada Isabel, keputusannya sudah jelas. Dia memanggil paramedis yang baru tiba. "Ke sini! Dia duluan! Dia penari, pergelangan kakinya harus segera diperiksa. Kakinya nggak boleh cedera!"

Paramedis langsung bergegas membantu Isabel keluar dari mobil yang ringsek. Leonardo mengikuti mereka, seluruh perhatiannya tertuju pada Isabel. Dia tidak menoleh. Tidak sekali pun.

Aku tetap duduk di mobil yang remuk itu sambil menyaksikan semuanya. Aku melihat Leonardo membantu Isabel naik ke brankar, tangannya menggenggam tangan Isabel, yang dia pedulikan hanyalah kenyamanan perempuan itu.

Rasa sakit di tubuhku menusuk, tetapi itu tidak ada apa-apanya dibandingkan kesadaran pahit yang tiba-tiba menamparku. Saat itu aku paham sepenuhnya. Aku akan selalu datang belakangan. Lukaku tidak akan pernah lebih penting daripada kenyamanan Isabel

Seorang paramedis akhirnya mendekati sisi mobilku. "Nona? Apa kau bisa bergerak?"

Aku mengangguk, membuka sabuk pengaman dengan tangan yang masih bisa kugerakkan.

Semuanya sudah selesai. Benar-benar selesai. Kecelakaan itu bukan hanya menghancurkan mobil itu, tetapi juga menghancurkan ilusi yang terakhir. Pilihan pria itu sudah bulat.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Cinta Pertama yang Tak Tergantikan   Bab 20

    Sudut Pandang Amelia:Suara mobil-mobil Keluarga Wistara yang menjauh perlahan menjadi satu-satunya upacara perpisahan bagi dunia lamaku. Aku berdiri di dalam pabrik yang luas dan hening itu, bau mesiu dan darah masih menusuk tenggorokan, sementara selembar surat pengunduran diri yang terlipat terasa seperti beban berat di tanganku."Anggap saja ini pengunduran diriku dari hidupmu."Kata-katanya bergema di ruang kosong yang dia tinggalkan. Tidak ada permohonan di matanya, tidak ada upaya terakhir untuk menguasai. Hanya akhir yang begitu letih dan mutlak.Dia menatapku, dan untuk pertama kalinya dia benar-benar melihat diriku, bukan sebagai Amelia miliknya, bukan sebagai bayangannya, bahkan bukan sebagai musuhnya, tetapi sebagai sosok yang berdiri sendiri. Dan dia melepaskanku.Kemenangan itu terasa hampa. Matius terluka dan ditangkap, ambisinya runtuh. Pria yang pernah kucintai baru saja menyerahkan seluruh dunianya lalu pergi. Sofia pun pergi, kembali kepada kakaknya yang bagaimanapun

  • Cinta Pertama yang Tak Tergantikan   Bab 19

    Sudut Pandang Leonardo:Sentuhan dingin bilah pisau di kulitku itu menjadi tamparan keras yang menyadarkanku. Itulah momen yang memutus sisa-sisa penyangkalanku.Selama seminggu, aku bersembunyi di penthouse, bukan sebagai raja di singgasananya, tetapi sebagai binatang terluka yang kembali ke sarangnya. Keheningan itu tidak lagi hampa, semuanya dipenuhi gema kegagalanku sendiri. Selama berjam-jam, aku berdiri di depan jendela, menelusuri jejak lampu-lampu kendaraan di bawah sana, masing-masing seperti pengingat bahwa kota ini terus bergerak maju tanpa aku.Aku tidak menyentuh laporan keuangan atau berkas intelijen. Bahasa mereka yang kering tidak mampu menangkap kenyataan yang akhirnya harus kuhadapi. Aku sudah kehilangan perempuan itu. Bukan karena kematian, tetapi karena kebutaanku sendiri yang begitu besar.Obsesiku selama berbulan-bulan kini terasa seperti penyakit, dan satu-satunya obat adalah menyerah sepenuhnya sampai rasanya seperti kehilangan anggota tubuh.Dalam keadaan hamp

  • Cinta Pertama yang Tak Tergantikan   Bab 18

    Sudut Pandang Leonardo:Penghinaan yang terjadi di gang malam itu membakar lebih panas daripada kemarahan apa pun yang pernah aku rasakan. Tergeletak di atas beton yang basah, dengan rasa darah dan kekalahan masih memenuhi mulut, sementara Amelia … Mel … berdiri di atasku sambil menodongkan pistol, itu adalah titik terendah yang tidak pernah aku bayangkan.Dia bukan hanya menolakku. Dia menundukkan aku secara fisik, melucuti aku, lalu meninggalkan aku terpuruk di tanah. Ingatan itu seperti cap yang membakar harga diriku, luka yang berdenyut setiap kali jantungku berdetak.Selama berhari-hari, aku seperti badai yang terkurung di dalam penthouse. Aku merusak banyak hal, dari vas antik yang dulu pernah dikagumi perempuan itu, sampai gelas kristal yang dulu kami pakai untuk bersulang, juga monitor yang menampilkan laporan keuangan yang menunjukkan kesuksesannya yang terus berjalan.Aku mengamuk pada bayangan, pada kehadiran Margo yang selalu berhati-hati, pada dinding yang diam tetapi tera

  • Cinta Pertama yang Tak Tergantikan   Bab 17

    Sudut Pandang Leonardo:Kesadaran bahwa aku sedang dipermainkan, bahwa fokusku yang hanya tertuju pada Amelia membuatku tidak melihat langkah besar Matius untuk merebut kekuasaan, terasa seperti penghinaan yang jauh lebih menyakitkan daripada luka apa pun.Aku telah berubah menjadi pengalih perhatian. Aku, Leonardo Wistara, tidak lebih dari bidak dalam perangku sendiri, digiring seenaknya oleh perempuan yang justru sedang berusaha kukunci gerakannya.Amarah yang muncul setelahnya bukan amarah yang membara. Amarah itu dingin dan tajam, sesuatu yang harus kugunakan sebagai alat, bukan api yang dibiarkan meledak. Aku memanggil Margo ke ruang kerjaku, peta kota terbentang di depan kami seperti tubuh pasien yang siap dibedah."Cukup," kataku, suaraku datar, tidak lagi dipenuhi gejolak obsesif yang menguasai diriku selama berminggu-minggu. "Serangan personal terhadap Mel Rozak akan dihentikan. Berlaku sekarang juga."Margo menatapku, terkejut. "Bos Wistara?""Dia itu seperti nyanyian putri d

  • Cinta Pertama yang Tak Tergantikan   Bab 16

    Sudut Pandang Leonardo:Perjalanan pulang dari gala terasa kabur, penuh amarah dingin dan perasaan hampa yang sulit dijelaskan. Bayangan Amelia ... Mel ... masih tertanam kuat di pikiranku. Gaun hijau zamrud itu, gelungan elegan yang menampakkan lehernya, serta tatapan dingin yang sama sekali tidak memiliki kehangatan yang selama ini aku ratapi.Dia bukan hanya masih hidup, dia sedang bersinar. Dan dia menatapku seperti aku orang asing, bahkan orang asing yang menyusahkan.Sofia tidak mengucapkan sepatah kata pun sepanjang perjalanan. Ketegangan di antara kami begitu nyata, seolah-olah memenuhi seluruh ruang di kursi belakang Maybach. Begitu mobil masuk ke halaman rumah, dia keluar dari mobil dan memasuki rumah tanpa menoleh.Jarak di antara kami kini terasa seperti jurang, dan dengan kepastian yang membuat darahku membeku, aku tahu kalau adikku sudah memihak dengan mantap. Dia memilih perempuan itu.Aku langsung menuju ruang kerja. Keheningan ruangan menyambutku, kontras dengan kekaca

  • Cinta Pertama yang Tak Tergantikan   Bab 15

    Sudut Pandang Leonardo:Semua ini mengubah segalanya. Perang itu tidak lagi sekadar operasi sederhana melawan Keluarga Rozak. Semuanya berubah menjadi jaring rumit, dan adikku sendiri adalah salah satu simpul yang terjalin di dalamnya.Aku tidak bisa menyerbu markas Keluarga Rozak tanpa kemungkinan membahayakan dirinya. Aku juga tidak bisa langsung menanyakannya tanpa memperkuat kecurigaanku dan membuatnya berlari sepenuhnya ke pihak Amelia.Aku butuh strategi baru. Aku harus melihat Amelia yang baru ini dengan mataku sendiri. Sosok bernama "Mel Rozak".Kesempatan itu muncul dalam beberapa hari. Sebuah gala amal bergengsi di museum seni kota. Acara semacam ini biasanya dimanfaatkan oleh Matius untuk memoles reputasinya dan memamerkan bisnis legalnya yang baru. Intel menyebutkan bahwa orang-orang terdekatnya, termasuk konsultan strategi barunya, akan hadir.Aku akan datang. Bukan sebagai pemburu yang menerobos gerbang, tetapi sebagai hantu masa lalu yang kembali melangkah ke dalam hidup

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status