Baskara meletakkan kain itu, kemudian setengah berjongkok di depanku, tangannya terulur.“Tanganmu nggak apa-apa, ‘kan? Biar aku lihat.”Refleks, aku menarik tanganku. Tangannya hanya menyentuh udara kosong.Baskara terkejut menatapku. Ada getaran emosi aneh yang menggantung di udara di antara kami. Hanya tersisa sembilan hari lagi sebelum aku dan Dimas pergi.Ya, sembilan hari lagi....“Ayah?”Suara Dimas terdengar cemas.Aku bangkit perlahan, menggendongnya yang masih bertelanjang kaki, lalu membawanya ke ranjang.“Dimas, tidur lagi saja,” ucapku lembut.Dimas menggenggam tanganku tanpa bicara. Hanya mengangguk, lalu memejamkan mata.Baskara melangkah masuk ke kamar, sorot matanya campur aduk.“Tadi… aku nggak sengaja,” ucapnya.“Ya,” ucapku pelan sambil menepuk-nepuk selimut dengan lembut.Dia terdiam sejenak, lalu duduk di sampingku. Wajah tegasnya perlahan melunak.“Aku nggak melarang Dimas pakai baju bagus. Hanya saja, dia ‘kan masih kecil… pertumbuhannya cepat. Jadi, nggak perl
続きを読む