Short
Saat Kau Pergi Tanpa Mengucap Kata Perpisahan

Saat Kau Pergi Tanpa Mengucap Kata Perpisahan

By:  RainCompleted
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel4goodnovel
10Chapters
2views
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Suamiku, seorang komandan resimen, akhirnya setuju aku ikut ke kesatuan, dengan satu syarat… Anak kami tak boleh memanggilnya ayah. Delapan tahun kami menjalani pernikahan rahasia. Delapan tahun pula aku tinggal di desa, merawat kedua orang tuanya. Setelah kedua mertuaku meninggal dunia, aku dan anakku memohon padanya agar kami bisa ikut bersamanya ke kesatuan. Dia setuju… Tapi dengan satu syarat! “Setibanya di kesatuan nanti, status kalian hanyalah kerabatku dari kampung,” ucapnya dingin. Saat itulah aku mengerti… Ternyata, di kesatuan sana, dia sudah memiliki keluarga lain. Akhirnya, aku membawa anakku pergi tanpa menoleh sedikit pun. Dan pria yang dikenal dingin itu… Justru tampak panik.

View More

Chapter 1

Bab 1

“Pak Kades, soal posisi di Organisasi Perempuan waktu itu… aku ingin mencobanya.”

“Kamu sudah pikirkan matang-matang, Nak Mustika? Kondisi di desa jelas nggak bisa dibandingkan dengan di kesatuan. Bukankah ikut suami lebih baik? Apalagi kamu bawa Dimas.” Suara kepala desa terdengar terkejut di seberang telepon.

Yah… memang lebih baik.

Selain kenyataan bahwa hati suamiku telah menjadi milik orang lain dan melarang anak kami memanggilnya ayah, semuanya sebenarnya berjalan cukup baik.

Aku melirik poster di dinding bertuliskan “Tentara dan Masyarakat Adalah Satu Keluarga”.

Aku tersenyum pahit.

“Aku nggak terbiasa. Aku ingin kembali ke desa saja,” ucapku mantap.

Merasa sayang pada biaya telepon, kepala desa pun tak lagi membujuk.

“Ya sudah. Lagi pula, selama bertahun-tahun ini kamu membesarkan Dimas sendirian. Ada atau nggaknya Nak Baskara, sebenarnya nggak ada bedanya.”

“Kalau begitu, minggu depan kamu pulang. Aku antar ke kantor desa untuk melapor,” lanjutnya.

Setelah mengucapkan terima kasih kepada kepala desa, aku kembali ke rumah sementara itu. Langkahku belum sepenuhnya terbiasa.

Sebuah rumah kecil satu lantai berbentuk kotak. Di halaman terdapat dua petak kebun sayur yang baru saja digarap. Beberapa bibit sayuran yang tumbuh jarang dan tak beraturan.

Pada hari pertama tiba di sini, aku meminjam bibit sayur dari istri tetangga sebelah rumah. Setelah seharian penuh bekerja keras, barulah kebun siap untuk ditanami. Bersamaan bibit-bibit sayuran yang kutanam, tersimpan pula harapan akan masa depan yang kusemai.

Namun malam itu, saat Baskara pulang, hal pertama yang dia lakukan adalah menyuruhku mencabut semua bibit itu.

“Mustika! Apa aku nggak kasih kamu uang?” ucapnya dingin.

“Buat apa repot-repot mengurus kebun? Bau miskin dan sial yang kamu bawa masih kurang kuat, hah?” tambahnya.

Dengan sedikit gugup, aku meremas ujung celemek, berusaha memberi penjelasan.

“Aku lihat yang lain juga menanam, jadi aku ikut. Kupikir nggak masalah… lumayan bisa menghemat uang beli sayur.”

Baskara mengerutkan keningnya. Tatapannya penuh rasa muak.

“Nggak perlu! Di sini bukan desa. Kamu nggak perlu melakukan hal-hal nggak berguna.”

“Benar kata Helena. Orang desa tetaplah orang desa. Kamu bahkan nggak sebanding dengan ujung jarinya.”

Aku menunduk.

Dalam sekejap, seluruh kehangatan di hatiku lenyap, menyisakan kepahitan yang memenuhi dada.

Helena Majid, tentara wanita dari tim seni militer, sekaligus cinta sejati Baskara di kesatuan.

Sementara aku?

Hanya istri kampung yang menemaninya dari nol.

Tentu saja tak pantas dibandingkan dengannya.

Malam itu, saat anakku terlelap, aku diam-diam melangkah ke halaman. Satu per satu bibit kucabut.

Bersama akar-akar yang tercabut itu… aku juga mencabut harapanku pada Baskara.

….

Pikiranku kembali berkecamuk. Aku menyembunyikan kesedihan di wajahku, lalu melangkah masuk ke dalam kamar.

Dimas ternyata sudah bangun. Saat ini, bocah kecil itu duduk manis di meja, menyantap sarapan.

Begitu melihatku, matanya langsung berbinar.

“Mama! Mama sudah pulang!”

“Sebentar lagi Dimas selesai sarapan. Habis itu bantu Mama, ya!”

Dimas adalah anak kandungku dengan Baskara. Usianya tujuh tahun.

Orang bilang, anak dari keluarga miskin tumbuh lebih cepat dewasa. Selama bertahun-tahun merawat kakek-neneknya, Dimas selalu penurut dan mengerti.

Aku tersenyum, sembari merapikan kerah bajunya yang sedikit berantakan.

“Nggak usah. Mama nggak perlu bantuanmu, Dimas,” ucapku lembut.

“Selesai sarapan, kamu main saja sama teman-temanmu.”

Mendengar itu, sorot mata Dimas langsung meredup. Matanya pun memerah.

“Ma… mereka bilang aku nggak tahu malu. Numpang di rumah orang tapi nggak mau pergi. Mereka nggak mau main sama aku.”

“Mama… ini rumah kita, ‘kan?” ucapnya lirih.

Bocah kecil itu masih belum tahu cara menyembunyikan perasaannya. Dia menatapku dengan polos, menunggu jawabanku.

Hidungku perih. Air mata jatuh lebih dulu sebelum aku menjawab.

Aku membuka mulut. Hatiku seakan dicelupkan berulang kali ke dalam air pahit.

Melihatku menangis, Dimas panik. Dia langsung memelukku erat.

“Dimas nggak apa-apa, kok, Ma. Mama jangan nangis, ya?”

“Dimas nggak tanya lagi… Dimas baik-baik saja.”

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

More Chapters

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

No Comments
10 Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status