Jane had no idea that the new year would be the biggest and most significant change of her life for her, she will finally understand what true love is and she will discover that her happiness has been there all the time but she had never noticed it for being stuck in her past. Travis takes the reins of what he truly wants and goes for it no matter what or anyone ... if he doesn't make his first move, someone else will probably do it and he's not willing to be the spectator again. But not everything is rosy, there will be many tests that they must overcome and do their part to cope with every situation that fate places on them. Because that's what life is all about, overcoming, learning, and adapting with each other, forging a bond so strong that nothing and no one can break, make mistakes and fix them and discover that things that are taken for granted take an unpredictable turn changing it. everything. Do you dare to discover what happens in a whole year for these two?
View MoreBAB 1
"Mau ke mana lagi, Dek?" tanyaku pada Yulia--istriku.
Kesal rasanya, setiap aku libur kantor, dirinya selalu tidak ada di rumah. Jangankan melayani segala kebutuhanku, menemani pun tak sempat. Jika sudah pergi, ia bisa pulang menjelang malam.
"Biasa, Mas, aerobik. Kan buat Mas juga." Wanita berusia 36 tahun itu mengedipkan satu matanya ke arahku.
"Khusus hari ini, tolong jangan pergi. Mas ingin mengajakmu jalan-jalan," pintaku. Biasanya dia akan luluh jika sudah diiming-imingi jalan-jalan, belanja apalagi liburan ke luar kota.
"Ke mana?" tanyanya dengan mata berbinar.
"Sini dulu, dong!" Kupanggil dirinya yang sudah berdiri di depan lemari sepatu.
Langkah kakinya menuju ke arahku, meliuk-liuk seperti ikan yang tengah berenang. Benar, bukan, jika sudah diimingi jalan-jalan, ia akan mendekat.
Wanita yang telah kunikahi 9 tahun lamanya itu duduk di pangkuanku. Jemari lentiknya mengusap halus jenggot kasar yang baru saja kucukur.
"Mau jalan-jalan ke mana?" ulangnya.
"Kamu maunya, ke mana?" balasku, mengecup pipinya yang tetap kenyal meski usianya tak lagi muda.
Wanitaku tak pernah kubiarkan kekurangan apa pun. Skincare, perawatan wajah dan seluruh kulitnya selalu kupenuhi. Belum lagi segala macam alat make-up. Katanya, semua itu untukku. Ya, tentu saja. Aku yang membiayainya.
"Sebetulnya, aku sedang ingin pergi ke pegunungan yang ada air terjunnya. Tapi gak mungkin, 'kan, kita bisa ke sana hari ini. Mas saja liburnya cuma sehari dalam seminggu," jawabnya mengerucutkan bibir.
"Mau banget?" tanyaku, menatap mata indah dengan bulu mata lentik yang selalu dirawatnya.
Gemas. Rasanya aku selalu ingin menggigit pipi mulus itu, setiap kali berdekatan dengannya. Tapi entah mengapa, sudah hampir satu bulan ini ia selalu menolak keinginanku. Katanya, datang bulannya tak teratur dan selalu keluar seperti flek.
"Mau," rengeknya dengan manja.
"Kita ke sana sekarang. Menginap di sana. Gimana?" ajakku.
"Serius? Besok Mas kerja, 'kan?" Mata indah itu menatapku keheranan.
"Gak pa-pa, gak usah kerja. Mas 'kan bosnya," ucapku, menaik turunkan alis.
"Tapi, Mas, hari ini aku udah terlanjur buat janji sama teman-teman. Mau sekalian arisan bulanan juga sama teman aerobik," katanya, terlihat sedih.
Apalagi aku. Sangat sedih. Sudah kuturuti kemauannya, malah dia sendiri yang menolak lagi. Selalu itu alasannya. Aerobik lah, arisan lah, acara ulang tahun teman lah. Dan aku selalu dinomor-duakan.
Aku diam saja. Malas menjawabnya. Karena jika sudah begitu, ia tak akan mau mengalah untukku.
"Boleh, ya, Mas. Kita pergi minggu depan saja, gimana?" tanyanya. Kedua belah telapak tangannya membingkai wajahku. Merayu.
"Terserah!" ujarku.
"Ayolah, Mas. Kalau aku bugar, Mas juga yang senang, bukan?" Ia terus saja menggodaku. Dia pikir, kelelakianku tidak akan bangkit dan meminta hak jika diperlakukan seperti ini.
"Boleh, Sayang. Tapi, temani Mas tiga puluh menit saja. Jika tidak, Mas tidak akan mengijinkan dan akan mencabut semua fasilitasmu." Sengaja kuancam dirinya. Kepalaku sudah terasa pusing menahan selama hampir satu bulan ini.
"Nanti aku terlambat, Mas. Pulangnya saja, ya?" Ia masih mengelak dan seperti ingin segera pergi.
"Enggak! Temani Mas, atau Mas cabut semua fasilitasmu?" ulangku, dengan tatapan memicing.
Dia bilang, kecantikan dan kebugarannya hanya untukku. Lalu mengapa selalu menolak keinginanku.
"Huummm!" Ia membuang napas kasar. Tercium aroma wangi, membuatku semakin di puncak keinginanku.
"Oke. Mau, tidak?" tanyaku lagi, menelusupkan tangan ke dalam hoodienya. Selama ini aku tak pernah mengancamnya seperti itu. Ide itu kudapat dari anak buahku, di kantor.
Ya, kami biasa saling bercerita tentang rumah tangga masing-masing. Saling mendukung saat dalam kesulitan, saling memberi pendapat setiap kali dihadapkan dengan suatu pilihan, juga membantu mencarikan solusi dalam setiap masalah.
Sebagai sesama laki-laki, kami bahkan tak jarang menceritakan urusan ranjang pula. Seperti minggu lalu, kuceritakan tentang Yulia yang hampir sebulan ini tak memberiku jatah. Arman--anak buahku sempat mencurigai istriku macam-macam, namun dengan santai aku menepisnya.
Tidak mungkin, bukan, Yulia bermain api di belakangku, sementara diriku nyaris tak ada cacat. Dalam artian, aku hampir punya segalanya. Hanya keturunan saja yang belum Allah titipkan pada kami, hingga di tahun ke sembilan pernikahan kami.
Aku memang punya banyak tabungan. Namun tak sekali pun kami pergi ke dokter untuk periksa. Ibuku yang berasal dari kampung, selalu membantu mengirim ramuan khusus agar kami segera memiliki anak. Kata wanita hebatku, tak perlulah pergi ke dokter segala. Jika sudah waktunya tiba, pasti akan hamil juga. Ya, menurutku itu benar.
Pernah beberapa kali Yulia merengek, memintaku pergi ke dokter kandungan, ingin mengecek kesuburan kami. Seperti saran Ibu, aku menolaknya dengan alasan tidak penting.
Sekali lagi kusentuh punggungnya dengan lembut, mencoba memancingnya. Akhirnya Yulia mengangguk juga, tersenyum menggoda ke arahku.
Benar, bukan. Mana mau dia kehilangan semua fasilitas yang kuberi. Uang belanja di atas rata-rata, sementara dirinya tak pernah memasak. Kami selalu makan makanan restoran langganan kami, kecuali sarapan. Mobil, kartu kredit unlimited, motor matic untuk dirinya jika ingin pergi jarak dekat. Tidak lupa kuberi ia jatah belanja pakaian atau aksesoris lainnya, semaunya. Semua kupenuhi, asalkan ia bahagia.
Aku pun tak pernah mengekangnya. Hampir setiap hari ia pergi bersama teman-temannya, untuk menyenangkan pikirannya. Bagiku itu tak masalah. Asalkan jangan sampai ke luar jalur.
Meski membebaskan, aku tak pernah abai terhadapnya. Tanggungjawabku sebagai suami tidak main-main. Ia hanya boleh keluar rumah dengan menggunakan hijabnya. Jika tidak, maka aku akan murka. Ponselnya pun selalu diam-diam kucek setiap malam. Tidak pernah ada hal yang mencurigakan.
Kini kami berdua saling berbagi keringat di sofa ruang tamu. Tak perlulah pergi ke kamar untuk menuntaskan hasrat. Aku sudah tak tahan.
Rupanya, tak sampai tiga puluh menit aku sudah kalah.
**
"Aku berangkat, Mas," pamitnya, menciumi kedua pipiku.
"Hati-hati, Sayang. Nanti malam, buat Mas ka-o, lagi, ya!" pesanku, mengedipkan sebelah mata.
"Beres!" Ia mengangkat tangan dan menempelkannya di pelipis.
Yulia melesatkan mobil sedan keluaran terbaru yang kubelikan satu tahun lalu, menggantikan mobil lamanya. Sudah bosan, katanya. Tak masalah, asalkan ada untuk membelinya. Aku sendiri masih menggunakan mobil lama yang sudah lebih dari 10 tahun menjadi kendaraan pribadiku.
Aku duduk seorang diri, menyesap kopi hitam yang Yulia buatkan sebelum berangkat. Kulirik arloji yang jarum pendeknya menunjuk ke angka delapan. Namun pikiranku tak pernah lepas dari sesuatu yang kurasa tidak biasa.
Saat bermain tadi, aku merasa perut Yulia lebih padat dan membulat. Apa itu lemak, seperti yang ia katakan padaku, tadi.
"Sayang, perutmu bulat sekali? Sepertinya agak condong ke depan."
"Iya, Mas. Ini gara-gara aku sering ngemil saat menunggu Mas pulang dari kantor. Melar, deh!"
"Oh, ya? Tapi tubuhmu tetap langsing," kataku, tadi, setelah kami selesai bermain.
"Ini namanya lemak, Mas. Kayaknya baru kelihatan di perut saja," jawabnya dan hanya kuangguki. Aku percaya saja.
Menurutku bisa saja benar. Anak buahku di kantor lebih banyak wanita, bahkan ada yang sudah menjadi seorang ibu. Dan jika diperhatikan, rata-rata di antara mereka memiliki perut yang sedikit maju.
Tapi setelah kuingat-ingat lagi, mengapa perut Yulia berbeda.
Aku yang tengah diam berpikir, terkejut dengan suara ringtone lagu korea yang jarang sekali kudengar. Sudah pasti bukan suara ponselku.
Kucari keberadaan benda yang terus berdering itu. Rupanya terselip di sela sofa. Kubaca nama peneleponnya yang bernama Evani, dengan foto profil artis k-pop.
"Ponselnya tertinggal. Buru-buru banget, sih!" gumamku seraya menekan tombol berwarna hijau.
Panggilan tersambung. Aku tak berbicara sepatah kata pun. Mataku membulat sempurna, ketika mendengar suara di ujung sana.
"Sudah berangkat?" tanya seorang pria di ujung telepon.
5 ... 4 ... 3 ... 2 ... 1. "Now you can kiss the bride!" Despite all the noises from the New Year's party, all the noise is surprisingly muffled and distant, as if you hear it underwater. "Happy New Year, Mrs. Baker" he says smiling at me happily, her voice comes down from her and just for me. "Happy New Year," I say in a low voice back, returning the smile. And so we both kiss for the first time as husband and wife. When Travis and I finally break up and face people once again everyone is still yelling and clapping at us, even the ones who disapproved of our relationship at first. Yes, we have come a long way since this year, no… last year. Last year, Travis's kiss was a huge surprise to everyone, including me, so it is only appropriate to celebrate this New Year, our first anniversary, with another surprise ... a wedding. A week ago... After tearing the wrapping paper off my last Christmas present and
In winter, the town becomes a place where the branches of the trees were thrown all over the streets due to the snow. Our town looks like a small fortress covered and hidden by snow but… How else could we obtain our lush vegetation if not for the large amounts of water we receive during the spring rains and winter snow? And now that all the Christmas presents have been opened, it's not surprising to see most of the villagers sledding or building snowmen or snowballs, and generally just enjoying what little is left of this day. of Christmas. However, Travis and I deviated from the larger crowds, opting to stay in the quiet Training Ground 3. Training ground 3 is also completely transformed in winter, it has been changed from a thick and herbaceous field to a barren one surrounded by the aforementioned leafless trees, its skeleton trunks and branches are now gray instead of its color. normal earthy brown. The training ground looks like a Christmas card with its virgin
I look back at Travis thinking that all men are dense even the ones who are supposed to be geniuses. On the other hand, he seems sincere and I can't expect him to read my mind, nor do I expect him to, but seriously, he can figure out how to take down an entire organization of S-class criminals, but he can't figure this out? He's like the guy who can get sports stats or figure out how to make complicated technology work, but can't he figure it out for himself when he's a complete Neanderthal? Idiots, most of them! "The reason I got angry was that I asked you to take me seriously, but you made a joke and not only that, but the joke you made me think that all you are looking for is sex" "Oh, I see," he says in understanding. "Well, what do you know? Neanderthals can understand the obvious" " But Jane, if all she wanted was sex, then she would be running around town sleeping with anything that walks, but I don't want to. What I do want is to have the pers
In the darkness of the room lit only by the pale moonlight, I notice a sad face looking at me from across the room. He always had such a sad face. Then again, that's exactly what made me approach him when I was younger, which made him my favorite above all the rest. When he was happy, I wanted to cheer him up, and when he was sad like I am now ... "I know exactly how you feel," I murmur, lifting Bunny off the dusty shelf and hugging him tightly to my chest. Dark, wet spots are beginning to appear on top of his shaggy head, but he's used to it by now. He just soaks them through, absorbing the tears until they finally dry and I feel better again. He was always a comfort to me, which only makes me feel even more guilty for abandoning him, for putting him aside because I thought he was too old for him, at least I didn't throw it away. In truth, you can never get over what makes you feel safe. Even the toughest of us, the ones who refuse to admit we do suc
Another set of high-pitched screams emanate from the apartment hallway. I roll my eyes and shake my head before heading to the front door and poking my head through it. "Travis," I say in exasperation. "That?" he asks innocently. "Haven't you had enough?" "But they like it!" The terrified look in the children's eyes when they look over their shoulders and run away from us (or should I say Travis) They say otherwise, but what can I do? Its Halloween. Kids don't want to be scared and it's not like Travis stops them from taking the candy before he scares them. The huge orange plastic bowl with printed bats flying around its rim is surprisingly nearly empty, meaning either our candy is better than the neighbors' or he's been very, very generous in delivering the treats. Seeing as things rarely happen for a single reason, I guess it's a bit of both. "Okay, but once the bowl is empty, that's it, okay?" Travis gives me a happy
Seeing how we have repositioned ourselves and back to where we left off, Travis Number Two stands very close to me so that I can continue right where he also left off, holding my hair to continue kissing and sucking on the back, the sides of my neck and the curves of my shoulders.I'm getting used to this extravagance of kisses when I feel two pairs of hands on me, one pair rubbing up and down my sides while the other pair gently glide up and down my bare arms, and while both touches are relatively innocent. , the double sensation is turning me on much faster than if it had been just a pair of hands.And then the hands start to wander and the touches are less and less innocent. A pair of hands rub up and down the outside of my thighs, causing my already short skirt to sit a little higher with each stroke. Meanwhile, another pair of hands is slowly beginning to unzip the back of my dress. It's Travis Number Two, and as he slowly reveals every inch of my bareback, he pla
Welcome to GoodNovel world of fiction. If you like this novel, or you are an idealist hoping to explore a perfect world, and also want to become an original novel author online to increase income, you can join our family to read or create various types of books, such as romance novel, epic reading, werewolf novel, fantasy novel, history novel and so on. If you are a reader, high quality novels can be selected here. If you are an author, you can obtain more inspiration from others to create more brilliant works, what's more, your works on our platform will catch more attention and win more admiration from readers.
Comments