Boi (bukan nama sebenarnya) adalah remaja yang berjuang mengarungi kehidupan secara mandiri setelah orang tuanya tidak lagi mengakuinya sebagai anak. Perjalanan hidupnya mengantarkannya pindah dari satu kota ke kota lain dan dari satu profesi ke profesi lain. Di saat inilah ia mulai mencari jati diri, ingin apa ia sebenarnya dalam hidup ini dan wanita seperti apa yang kelak ingin ia miliki sebagai pendamping.
View MorePanas terik matahari siang, ditambah asap kendaraan yang berpacu di jalanan Jakarta terasa membakar seluruh tubuhku. Tenggorokanku terasa sakit, apalagi sudah hampir 12 jam tidak ada setetes air pun yang masuk ke dalam tubuhku. Kupandangi keadaan sekitar trotoar ini, kebanyakan aktivitas yang ada adalah para pekerja yang sedang menikmati makan siangnya. Sudah sewajarnya, karena sekarang adalah jam istirahat mereka. Terasa ada yang menusuk ulu hatiku saat ini, mungkin karena di kantongku tidak ada uang sepeser pun.
Segera saja kupercepat langkahku, meski tidak tahu akan ke mana. Setelah beberapa menit melangkah, mataku tertuju pada kerumunan orang yang sedang antri di depan keran air. Sudah dapat ditebak mereka adalah muslim yang akan beribadah shalat. Tapi bukan itu yang kupikirkan, shalat adalah sesuatu yang jarang kulakukan. Air yang bersih, yang tidak langsung membuatku sakit perut saat meminumnya, itu yang aku inginkan. Yang penting GRATIS. Tidak peduli sudah dimasak atau masih mentah, pH nya berapa, atau mengandung bakteri apa. Aku sudah sangat kehausan.
Kutunggu beberapa saat agar antrian habis. Aku masih punya sedikit malu, datang ke sana hanya untuk meminum air tapi tidak beribadah pada Sang Pemilik Rumah. Saat orang yang berwudhu sudah mulai sepi, segera kulangkahkan kakiku menuju keran yang kosong. Kubuka keran itu dan kuminum air yang keluar menggunakan kedua tanganku, seteguk demi seteguk sampai rasa hausku hilang. Setelah itu kubasuh juga muka dan kepalaku, tangan serta kaki. Orang pasti mengira aku sedang berwudhu. Untung mereka tidak bisa melihat ke dalam hati.
Setelah merasa segar, segera kulangkahkan kembali kakiku untuk keluar dari masjid. Namun baru beberapa langkah, mataku tertuju kembali pada suatu kerumunan. Kali ini bukan antrian wudhu, tapi sekumpulan orang di pelataran masjid. Ada yang sedang duduk dan mengobrol dengan temannya, duduk bersila sambil mengaji atau sekedar istirahat bersandar ke dinding masjid. Bahkan ada yang posisinya telentang entah memang tidur atau hanya memejamkan mata. Kakiku yang memang sudah lelah melangkah seakan meminta untuk ke sana. Segera saja kucari posisi kosong yang tersedia.
Baru beberapa menit merebahkan tubuh, kurasakan ada pergerakan di sampingku yang sebelumnya kosong. Aku tidak terlalu ambil peduli karena yang ada di pikiranku hanya istirahat. Namun pada akhirnya ketenanganku terusik juga karena setelah itu kudengar ia berbicara. Kegusaranku sedikit terobati karena suara yang terdengar sangat sopan.
"Punten 'A, boleh ikut meluruskan badan di sini?"
"Silahkan." Jawabku singkat karena memang tidak ada keinginan untuk mengobrol. Sayangnya keheningan itu hanya beberapa saat.
"Aa asli dari sini, atau perantau juga seperti saya?" Orang itu kembali berbicara. Sepertinya dia tidak ingin tidur, hanya ingin meluruskan badan.
"Perantau." Jawabku tidak sepenuhnya berbohong, karena meski lahir di Jakarta, aku tidak pernah tinggal di sekitar masjid ini. Tergantung konotasi "sini" yang dia maksud.
"Wah, sama dong. 'Aa dari daerah mana? Jangan-jangan dari Bandung juga. Soalnya seperti orang Sunda. O iya, nama saya Asep, 'Aa namanya siapa?"
Aku sedikit terkesiap saat ditanya nama. Tidak tahu mau menjawab apa, yang pasti bukan nama asliku. Tiba-tiba aku teringat cerita mamaku. Dulu aku sempat ingin diberi nama Boy. Kata mama, itu adalah tokoh idolanya saat remaja. Namun papa tidak setuju, katanya nama itu terlalu umum. Padahal sebenarnya papa cemburu karena tokoh idola mama yang bernama Boy itu lebih tampan darinya. Akhirnya kujawab saja pertanyaan itu sekenanya.
"Boy." Jawabku. Tiba-tiba Kang Asep bangkit dari tidurnya. Dia duduk, melihatku dan kemudian tertawa. Setelah puas menertawakanku akhirnya ia berkata.
"'Aa jangan mimpi di siang bolong. Potongan seperti 'Aa ini tidak pantas bernama Boy. Dia kan orang kaya, perlente dan banyak digandrungi wanita. Saya tahu karena waktu saya kecil Si Boy ini dicetak jadi sampul buku tulis. Setelah itu hampir semua teman wanita saya meminta dibelikan buku Si Boy. Dari gambarnya saja terlihat bedanya, jauh dengan keadaan 'Aa."
Aku tidak menyangka bahwa tokoh idola mama juga dikenal oleh Kang Asep. Ternyata di jamannya, Si Boy sangat terkenal sampai ke pelosok daerah. Mungkin mama ingin menamaiku Boy agar aku sepertinya. Dan memang itulah aku dulu. Kaya dan banyak digandrungi wanita. Namun kutinggalkan itu semua demi seorang wanita sehingga jadilah aku seperti saat ini. Dan karena aku tidak ingin masa laluku terungkit, segera saja kukarang cerita sekenanya.
"Nama saya Boi pakai huruf i bukan Boy pakai huruf y." Kukarang itu karena teringat pada film yang hanya sekilas kutonton. Yang pasti Boi di film itu tidak ditujukan pada orang kaya.
"Ooo ada toh Boi pakai huruf i. Saya baru dengar." Kang Asep berkata.
"Ada." Jawabku "Itu panggilan untuk anak lelaki di sekitar Belitung."
"Coba ceritakan kenapa orang tuamu sampai menamakanmu Boi." Kang Asep masih saja mengejarku, mungkin curiga aku berbohong tapi sepertinya hanya penasaran. Untuk lebih meyakinkannya, akhirnya kukarang cerita lagi.
"Tidak ada ceritanya, dulu ayahku pernah kerja di sana dan mendengar anak-anak di sana saling memanggil Boi. Akhirnya pada saat aku lahir dia memberi nama itu padaku. Mungkin karena sangat terkesan, atau saat itu tidak terpikirkan nama lain."
"Ah, ga seru. Lebih seru kisah Si Boy pakai huruf y." Kang Asep berkata sambil merebahkan tubuhnya.
Sepertinya penjelasanku cukup memuaskan rasa ingin tahu Kang Asep. Karena setelah itu dia tidak bertanya apa-apa lagi. Namun rasa lelahku telah hilang. Anganku sudah terlanjur ke mana-mana. Ku teringat lagi saat aku pergi dari rumah, hanya membawa sehelai baju yang dipakai. Bahkan aku lupa membawa dompetku, meski sebenarnya percuma karena isinya hanya kartu kredit yang biasa kupakai. Saat itu egoku terlalu tinggi untuk memakai barang pemberian papa, meski belakangan aku sadar bahwa ego tidak bisa membuat perut kenyang.
Malam pertama keluar rumah kulalui dengan tidur di emperan toko. Saat terbangun perutku sudah mulai keroncongan. Aku sadar aku harus mendapatkan uang. Belum sempat terpikir apa-apa, ada motor datang dan parkir di dekatku. Sepertinya ingin pergi ke ATM karena sepagi itu tidak ada toko yang buka. Sekonyong-konyong muncul ide di kepalaku. Kuambil kardus yang menjadi alas tidurku lalu kuletakkan di atas jok motor tersebut. Kutunggu si pemilik motor keluar dari ATM. Saat dia selesai dan mendekati motornya, kuambil kembali kardus tersebut lalu dia menyerahkan uang kepadaku. Ternyata mencari uang di Jakarta tidak sesulit yang aku pikirkan.
Sayangnya pekerjaanku tersebut tidak berlangsung lama. Setelah motor keempat, aku didatangi olah lelaki separuh baya. Dia tidak mengatakan apa-apa, hanya menunjukkan peluit, membelakangiku dan menunjukkan tulisan di punggungnya. "PETUGAS PARKIR". Setelah itu di menghadapku dan menyerongkan tangannya seperti wasit sepak bola yang mengusir pemain setelah mendapatkan kartu merah. Aku dipecat dari pekerjaan pertamaku setelah hanya satu jam bekerja. Gajiku saat itu hanya 2 ribu rupiah yang segera habis untuk membeli sarapan nasi uduk seadanya.
"Boi sudah makan belum?" Kang Asep bertanya dan menghentikan lamunanku. Namun pertanyaan itu hanya mengalihkanku ke ingatan lainnya. Saat itu sering kudengar pertanyaan tersebut dari teman-temanku. Biasanya mereka bertanya karena ingin ditraktir. Karena saat itu aku memang memiliki segalanya. Saat itu aku adalah Si Boy.
Milna, Australia.Kegiatan pesantren kilat yang aku ikuti ternyata memang menyenangkan. Selain mendapat banyak teman baru, aku juga mendapat pengalaman yang belum pernah aku bayangkan sebelumnya. Pelajarannya sih pernah aku dapat di sekolah, tapi kegiatan luar kelasnya yang membuat aku ingin kembali mendaftar lagi tahun depan.Salah satu kegiatan yang aku suka adalah Jumat berbagi. Kami menyiapkan makanan lalu membagikannya ke orang yang membutuhkan. Aku sangat senang melihat reaksi mereka. Tatapan terima kasih itu sangat tulus dan menjadi energi baru yang belum pernah kurasakan sebelumnya.Tapi yang paling aku suka adalah kegiatan lintas alam. Ternyata mereka memiliki hutan di tengah kota. Di sinilah kegiatan kami dilaksanakan. Bahkan kami berkemah meski hanya satu malam. Baru kali ini aku tidur di bawah bintang-bintang.Entah benar atau hanya perasaanku saja, Hana seperti memberikan perhatian lebih padaku. Mungkin karena aku anak piatu, bisa juga karena
Milna, Jakarta.Kegiatan di sekolah sudah mulai bertambah. Sebentar lagi ujian akhir semester akan dilaksanakan, jadi ada saja kelas tambahan setiap harinya. Kelas itu ditujukan untuk siswa yang tertinggal dalam pelajaran. Meski demikian, kelas tambahan itu harus diikuti oleh seluruh siswa tanpa kecuali.Sayangnya, akhir-akhir ini aku sulit berkonsentrasi. Sejak kembali dari Bandung, aku terus memikirkan bagaimana caranya aku bisa pergi ke Australia. Aku bisa saja meminta papa mengajak aku berlibur ke sana, tapi nanti aku jadi tak bisa mencari jejak Hana dengan leluasa. Aku harus pergi ke sana seorang diri. Baru nanti jika semua sudah siap, papa akan aku minta untuk menyusul.Sampai saat ini aku belum juga menemukan alasan untuk bisa diizinkan pergi ke Australia seorang diri. Akhirnya aku mencoba mencari informasi mengenai tempat kerja Hana di internet. Siapa tahu aku menemukan sesuatu. Ternyata benar, baru saja aku membuka situs mereka, aku langsung menemukan j
Milna, Bandung.Hari sudah mulai gelap. Dari jendela aku sempat melihat seorang bapak tua menyusuri pekarangan untuk menyalakan lampu-lampu. Orang itu tidak ada di sini tadi pagi, saat aku dan papa tiba. Sepertinya papa menyewa orang untuk menjaga rumah ini tapi tidak memperbolehkan dia tinggal di sini. Jadi dia hanya datang seperlunya.Karena buku cerita papa sudah selesai kubaca, aku mencoba mencari hal menarik lain. Tapi setelah mencari beberapa lama, aku tidak menemukan apa-apa. Mungkin semua yang ingin diceritakan mama sudah tertuang di buku itu. Akhirnya aku putuskan untuk keluar dari kamar waktu.Di luar kamar, aku melihat papa sedangmenelepon. Rupanya dia sedang memesan makan malam. Setengah jam kemudian makanan yang papa pesan datang. Kami lalu makan sambil mengobrol. Aku tidak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk mencari informasi dari papa."Papa tahu, aku mendapat informasi tentang mama dari internet. Waktu itu aku mencari data pernikahan
Milna, Bandung.Kamar lama mama berukuran sangat besar. Bahkan mungkin ukurannya dua kali lipat dari kamarku. Tapi kamar ini tidak memiliki pemandangan yang luas, berbeda dengan kamar yang aku tempati. Karena memang kamar ini ada di rumah lama yang tidak bertingkat, sedangkan kamarku ada di lantai 7 apartemen yang tinggi.Tapi pemandangan di luar boleh juga. Ada pohon-pohon rindang dan tanaman kecil dengan bunga berwarna-warni. Jarang sekali aku melihat pemandangan alam seperti ini. Karena itu aku memilih duduk di dekat jendela sambil membaca buku cerita papa.Saat baru membaca sepertiga bagian dari buku itu, aku mendengar pintu diketuk. Tak lama kemudian papa berkata dari balik pintu."Milna, hari sudah siang. Makan dulu nak, papa sudah memesan makanan kesukaan kamu."Aku menampilkan mode jam pada gelang saktiku. Ternyata memang sudah lewat tengah hari. Cerita papa memang sangat menarik, sampai-sampai aku jadi lupa waktu. Segera aku letakkan buku
Milna, Jakarta.Namaku Milna. Umurku sepuluh tahun. Kurang sedikit sih, karena dua hari lagi baru aku ulang tahun. Aku tinggal di sebuah apartemen di Jakarta bersama papa. Hanya bersama papa, karena mama sudah tiada.Papa adalah seorang pengusaha. Dia punya perusahaan yang besar. Gedung kantornya saja tinggi sekali. Aku sesekali diajak ke sana. Tapi hanya sesekali saja, biasanya aku belajar dan bermain di sekolah. Papa mengantarku ke sekolah saat berangkat kerja dan menjemput aku ketika dia pulang. Di akhir pekan, kami biasanya ke rumah opa di Bandung.Berbeda dengan teman-temanku yang lain, aku tak pernah mengenal mama. Katanya sih mama meninggal saat melahirkan aku. Sayangnya papa tidak pernah mau cerita tentang mama. Setiap aku bertanya, papa selalu menjawab 'Pada saatnya nanti kamu akan punya kesempatan untuk mengenalnya'. Aku sampai bosan mendengar jawaban itu.Karena papa tidak pernah mengatakan kapan kesempatan itu aku dapat, aku tak mau menunggu.
Mila, Bandung.Rasa mual yang beberapa bulan terakhir terus menyiksaku kini sudah mereda. Sesuai perkiraan perawat, di trimester kedua ini rasa itu akan hilang dengan sendirinya. Memang sudah hampir lima bulan aku menjadi seorang calon ibu. Selama itu sudah aku memiliki janin dalam kandungan.Anugerah itu aku dapat setelah aku mencabut gugatan cerai. Pengacaraku sampai tak percaya dengan keputusan itu. Padahal hanya dengan diam saja, aku akan mendapat separuh harta Galang. Dan jumlahnya sangat banyak, karena dia adalah pemilik salah satu perusahaan ternama di Jakarta.Keputusan itu aku pilih bukan mengandalkan naluri. Saat hakim akan mengambil keputusan, aku menerima pesan dari Detektif Parkin. Dia adalah orang yang aku minta untuk mencari informasi tentang Dewi. Informasi itu datang tepat pada waktunya.'Dewi adalah seorang foto model profesional. Saya belum bisa memastikan, tapi sejauh penyelidikan saya dia bukan wanita panggilan.'Dari informasi
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments