Catatan Si Boi

Catatan Si Boi

Oleh:  macayp  Tamat
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel12goodnovel
9.9
28 Peringkat
118Bab
13.7KDibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Tinggalkan ulasan Anda di APP

Boi (bukan nama sebenarnya) adalah remaja yang berjuang mengarungi kehidupan secara mandiri setelah orang tuanya tidak lagi mengakuinya sebagai anak. Perjalanan hidupnya mengantarkannya pindah dari satu kota ke kota lain dan dari satu profesi ke profesi lain. Di saat inilah ia mulai mencari jati diri, ingin apa ia sebenarnya dalam hidup ini dan wanita seperti apa yang kelak ingin ia miliki sebagai pendamping.

Lihat lebih banyak
Catatan Si Boi Novel Online Unduh PDF Gratis Untuk Pembaca

Bab terbaru

Buku bagus disaat bersamaan

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen
user avatar
Hana Nury
Keren, bagus!
2021-10-04 13:40:29
0
user avatar
Asnafa
Semangat Thor!
2021-09-28 18:40:05
0
user avatar
Nadila nana
Bgus kak, semangat ya. Aku sudah mampir :)
2021-09-27 07:34:47
0
user avatar
Radharmy RD
keren kak... lanjutin ceritanya
2021-09-25 12:07:15
0
user avatar
Sarifah31
Semangat kakak
2021-09-25 10:45:41
0
user avatar
Naya Lim
lanjut thor!
2021-09-25 08:49:41
0
user avatar
Pratiwi
Ceritanya menarik. Semangat up ya
2021-09-23 19:25:52
0
user avatar
Kariani Sukadi
Lanjut thor jangan lama lama
2021-09-23 14:34:17
0
user avatar
Biru Langit
Bagus banget ditunggu kelanjutannya
2021-09-23 14:20:41
0
user avatar
Shegan
aku mampir..Kita satu grup
2021-09-22 21:17:55
0
user avatar
errie_kurnia
ini boi yah bukan boy ...... lanjut kak seruu ......
2021-09-22 14:00:22
0
user avatar
Bima Kai
Catatan si boy, bikin penasaran cerita yang ringan namun mengena.
2021-09-22 11:18:54
0
user avatar
Princess kenyan
next ............
2021-09-22 11:17:31
0
user avatar
ShilaKurnia
Ceritanya bagus dan bikin penasaran,semangat ya buat lanjutin ceritanya thor
2021-09-22 10:35:52
0
user avatar
Molista
Semangat ka, lanjuuuuuuut
2021-09-21 22:30:53
0
  • 1
  • 2
118 Bab
BAB 1, Gelandangan Jakarta
Panas terik matahari siang, ditambah asap kendaraan yang berpacu di jalanan Jakarta terasa membakar seluruh tubuhku. Tenggorokanku terasa sakit, apalagi sudah hampir 12 jam tidak ada setetes air pun yang masuk ke dalam tubuhku. Kupandangi keadaan sekitar trotoar ini, kebanyakan aktivitas yang ada adalah para pekerja yang sedang menikmati makan siangnya. Sudah sewajarnya, karena sekarang adalah jam istirahat mereka. Terasa ada yang menusuk ulu hatiku saat ini, mungkin karena di kantongku tidak ada uang sepeser pun.Segera saja kupercepat langkahku, meski tidak tahu akan ke mana. Setelah beberapa menit melangkah, mataku tertuju pada kerumunan orang yang sedang antri di depan keran air. Sudah dapat ditebak mereka adalah muslim yang akan beribadah shalat. Tapi bukan itu yang kupikirkan, shalat adalah sesuatu yang jarang kulakukan. Air yang bersih, yang tidak langsung membuatku sakit perut sa
Baca selengkapnya
BAB 2. Boy Anak Jakarta
"Lang, sudah makan belum?" Tanya Dika setelah kami selesai merencanakan kegiatan akhir pekan ini. Saat itu, seperti biasa, kami berempat duduk-duduk di taman sekolah samping lapangan basket. Di hari sabtu siang setelah jam pelajaran selesai, tidak ada lagi hal menarik yang dibicarakan kecuali mau pergi ke mana nanti malam. Sebenarnya tidak ada yang perlu direncanakan, kegiatannya sama saja. Nongkrong di cafe, diskotik atau konser musik yang menarik. Same Shit Different Place."Belum" Jawabku singkat. Meski perutku tidak lapar, tapi aku mengerti maksud pertanyaan Dika. Itu adalah kode bahwa dia sudah lapar dan mengajak kami untuk makan bersama. Dan seperti semua kegiatan kami, akulah penyandang dananya. Lebih tepatnya papa, aku hanya perlu menggesek kartu pemberiannya. Tidak masalah bagiku, toh papa juga tidak pernah menanyakan tagihan kartu kreditku."Yuks, kit
Baca selengkapnya
BAB 3. Pemulung Jakarta
Di dalam taksi yang meluncur ke rumah Santi, aku baru sadar tidak membawa uang sepeser pun. Tidak apalah, nanti bisa pinjam uang Santi. Pikiranku masih tidak karuan. Emosi saat bertengkar dengan papa masih bergejolak di dada. Aku tak bisa berpikir apalagi merencanakan apa yang ingin kulakukan.Setelah tiba di tempat tujuan aku meminta sopir taksi menunggu sebentar. Aku menekan bel, hal yang sudah ratusan kali kulakukan. Tapi kali ini dengan perasaan yang berbeda. Kudengar suara pintu dibuka dan muncul wajah Santi dengan senyum kecilnya. Kuminta dia membayar taksi. Santi agak terkejut, tapi dia tidak bertanya apa-apa. Setelah itu kami langsung mengobrol di tempat biasa.Kuceritakan semua yang terjadi sore ini. Santi mendengarnya tanpa menyela perkataanku. Setelah aku selesai, keheningan pun tercipta. Kulihat dia mempermainkan rambutnya, hal yang belum pernah ter
Baca selengkapnya
BAB 4. Pengamen Kota Bandung
Fajar belum lagi menyingsing. Suasana jalan masih sangat sepi, hanya sesekali ada kendaraan yang lewat. Namun kami sudah memulai aktifitas rutin mencari barang rongsokan. Memang begitulah jam kerja pemulung. Secara kasat mata kami lebih rajin dari pekerja kantoran pada umumnya. Namun sayang kerajinan tidak menentukan besar penghasilan.Pak tua berjalan sedikit di depanku. Kuperhatikan sudah beberapa kali dia terbatuk. Beberapa hari ini kesehatannya memang sedang turun. Aku sudah melarangnya memulung, tapi dia tak mengindahkan. Sudah biasa, katanya.Suara adzan shubuh sayup-sayup terdengar. Tak terasa kami sudah bekerja hampir 2 jam. Rasa khawatirku semakin menjadi, pak tua berjalan makin perlahan dan batuknya pun semakin sering. Akhirnya yang kutakutkan pun terjadi. Pak tua berjalan sempoyongan, karung di genggamannya terlepas, lalu dia pun terjatuh tidak sadar
Baca selengkapnya
BAB 5. Pengunjung Geger Kalong
Matahari sudah mulai tinggi. Hampir semua pegawai pool telah datang. Bukan untuk bekerja, tapi untuk memastikan barang apa saja yang hilang. Beberapa sopir juga telah tiba. Mereka terkejut ketika mengetahui apa yang terjadi semalam.Tentu saja yang pertama tiba adalah pak satpam. Dia sangat kaget saat kuceritakan kejadian semalam. Mukanya langsung pucat pasi, untung saja dia tidak memiliki penyakit jantung. Setelah tenang dia langsung masuk kantor dan menelpon pemilik travel. Orang kedua yang dia telpon adalah Kang Asep. Sudah semalaman aku menyusun alasan apa yang akan kuberikan padanya. Namun saat dia datang aku hanya bisa berkata, "Maaf kang, saya telah membuat akang kecewa."Dan saat ini aku melihat Kang Asep sedang berbicara dengan pemilik travel. Sebelumnya salah seorang pegawai kantor memberikan secarik kertas pada bos. Sepertinya semua barang telah sele
Baca selengkapnya
BAB 6. Penjaga Toko Buku
Hari sudah semakin siang. Jalan-jalan juga semakin ramai. Suara bisingnya sayup-sayup terdengar dari lantai 3. Untungnya gedung ini ber-AC sehingga suara dari luar tidak terlalu mengganggu.Kami berdua masih terdiam. Pak Kepala dengan sabar memberikan waktu padaku untuk berpikir. Setelah yakin dengan jawabanku akhirnya aku berkata."Sebenarnya saya tidak terlalu peduli akan diterima atau tidak. Apapun hasilnya saya tetap akan dipenjara, di sini atau di LAPAS. Bahkan saya berpikir lebih baik di LAPAS. Di sana saya bisa bebas melakukan apa saja sedangkan di sini saya harus mengikuti semua aturan yang ada."Pak Kepala hanya tersenyum mendengar jawabanku. Sepertinya dia tidak tersinggung. Dia kembali bertanya."Jika demikian, kenapa kamu tetap mengajukan pinjaman?"
Baca selengkapnya
BAB 7. Meninggalkan Geger Kalong
Suasana sore di kantor pengelola pesantren sudah sepi. Sebagian besar karyawan sudah meninggalkan tempatnya, ada yang pulang ke rumah dan ada juga yang pergi ke masjid. Seperti biasa, hari itu memang ada pengajian sore di masjid dan banyak karyawan yang ikut menghadirinya.Di tengah kesunyian kantor, aku seperti disambar petir mendengar tuduhan bapak itu. Siapakah dia, dan siapa pula anak gadisnya. Aku tak pernah berhubungan intim dengan wanita manapun. Mana mungkin aku bisa menghamili seseorang. Dengan memberanikan diri akhirnya aku bertanya."Maaf pak, siapa nama anak bapak?"Jawaban dari pertanyaanku adalah tamparan di pipi. Dia semakin marah dan berteriak membentakku."Kurang ajar, masih pura-pura lupa. Atau jangan-jangan banyak gadis yang kau nodai sehingga kau tak
Baca selengkapnya
BAB 8. Santri Gunung Merapi
"Pak Kyai mengenalku? Dia percaya padaku?""Ya, tentu saja. Bahkan dia memiliki julukan untukmu. Santri Tanda Tangan, katanya. Sebenarnya semua santri di sini diawasi. Biasanya oleh santri yang posisinya dekat. Tapi kamu agak lain. Pak Kyai ingat karena saat ceramah shubuh kau selalu duduk di sudut dan tertidur. Itu di awal-awal. Setelah itu posisi dudukmu bergeser semakin ke depan."Aku tersenyum mendengar penjelasan itu. Ternyata aku diperhatikan. Kelak semua ini akan jadi kenangan indah yang tak terlupakan."Saya juga mengawasimu meski secara tidak sengaja." Pak Kepala melanjutkan. "Setiap lewat depan toko, saya selalu melihatmu sedang membaca. Saya jadi bertanya-tanya, sudah berapa buku yang kamu baca?""Hampir semua." Jawabku
Baca selengkapnya
BAB 9. Boi adalah Ahmad Mustofa
Udara sore di lereng gunung merapi sudah mulai terasa dingin. Matahari sudah tak terlihat, tertutup oleh awan dan debu yang keluar dari kawah gunung. Akhir-akhir ini merapi memang semakin aktif, anjuran untuk mengungsi juga sudah diserukan pemerintah setempat. Tiba-tiba saja terdengar dentuman kencang diiringi oleh semburan abu dan awan vulkanik. Kulihat Mas Rangga keluar dari pondoknya membawa tas ransel. Kami memang sudah mempersiapkan barang bawaan jika memang sewaktu-waktu harus segera mengungsi. "Aku akan menjemput Pak Kyai, kamu jemput Ahmad di masjid ya." Mas Rangga memerintahkan. Aku langsung menuju masjid. Kulihat Ahmad Mustofa sedang berkutat dengan buku. Kuajak dia untuk mengungsi namun dia menolak karena masih ingin memilah buku-buku yang mau dibawa. Aku keluar dari masjid dan bertemu Mas Rangga di ge
Baca selengkapnya
BAB 10. Mahasiswa di Jakarta
Aku terperanjat mendengar kalimat itu. Lama setelah itu baru aku mengerti maksudnya."Tapi mas, bagaimana dengan keluarganya? Saya tidak bisa menjadi Ahmad Mustofa karena jika keluarganya tahu mereka akan sedih bahkan marah." Ucapku."Kamu tak perlu khawatir," kata Mas Rangga. "Dia sudah sebatang kara saat dibawa Pak Kyai ke sini. Aku tidak meragukan kemampuanmu, kau hanya tidak beruntung karena tidak memiliki ijazah. Ini kesempatan baik untukmu dan untuk pesantren ini. Tidak ada yang akan dirugikan dari kebohongan ini, yang ada hanya kebaikan. Semoga Allah meridhoi jalan ini."Aku ragu sejenak, tapi akhirnya mengangguk setuju. Setelah Pak Kyai wafat dan bangunan pesantren rusak, otomatis aku tidak punya tempat tinggal lagi. Menjadi Ahmad Mustofa adalah pilihan terbaik buatku.
Baca selengkapnya
DMCA.com Protection Status