Share

9. Masa Lalu

Kala itu aku masih berumur 6 tahun dan kakakku, Ruben, berumur 10 tahun. Kami sedang bermain di taman dekat rumah dengan anak-anak lainnya. Lelah bermain, Ruben mengajakku pulang. Ibu sedang tak ada di rumah, ia pergi selama beberapa hari ke rumah kerabat yang sedang mengadakan pesta, dengan membawa serta adikku, Dikta. Seharusnya hanya ada ayah di rumah. Tapi siang itu ayah tak sendiri.

Setelah memasuki pagar yang tak terkunci, aku dan Ruben seperti mendengar suara-suara aneh. Kami menajamkan pendengaran, ternyata berasal dari kamar ayah dan ibu yang berada di bagian depan rumah. Ruben pun mengajakku mendekati kamar ayah dan ibu untuk memastikan. Dari balik tanaman hias yang mulai meninggi, kami mengintip melalui jendela kaca yang tirainya sedikit terbuka. Ayah sedang bersama seorang wanita, tapi bukan ibu.

Ayah dan wanita itu bergumul di atas ranjang dengan desahan-desahan yang terdengar menjijikkan di telingaku. Saat itu, aku tak tahu persis apa yang mereka lakukan, tapi aku meyakini bahwa itu adalah hal yang tak senonoh.

“Ayah sedang—” Ruben menggantung kalimatnya, lalu ia berbisik di telingaku mengucapkan satu kata yang membuatku merinding. “Tapi bukan dengan ibu,” lanjutnya.

Aku menutupi mataku sambil menahan tangis. Ruben pun terdiam. Tak berapa lama ia menarik tanganku untuk masuk ke dalam rumah, namun pintu dikunci. Ia menggedor pintu dengan keras sampai kemudian ayah membukakan pintu.

“Ayah dengan siapa di kamar?” tanya Ruben lantang.

“Tidak ada siapa-siapa,” jawab ayah dengan wajah datar.

“Bohong! Tadi kami lihat ada tante-tante bersama ayah di dalam!” tuding Ruben.

Sementara aku hanya bisa membeku, tak bisa bersuara.

“Sudah. Ayo, kalian tidur siang.” Ayah kemudian menuntun kami ke kamar masing-masing. Dan kami tak melawan.

Sorenya ibu pulang dan wanita yang bergumul dengan ayah tadi tentu saja sudah tak ada lagi. Ayah mengancam Ruben setiap kali ia ingin memberi tahu ibu tentang wanita itu. Selanjutnya Ruben tak pernah mengungkit hal itu lagi sampai kami beranjak remaja. Suatu kali, Ruben bertengkar hebat dengan ayah dan membuka kedok ayah itu. Namun ibu tak percaya.

Ruben mendesakku untuk mendukung pernyataannya dan mengatakan yang sejujurnya. Namun saat itu aku hanya menggeleng, karena takut ayah dan ibu bertengkar, lalu berpisah. Sejak saat itu, Ruben membenciku. Terlebih ayah selalu memercayaiku dalam hal apa pun di keluarga dan ia tak pernah menganggap Ruben sebagai anak sulung.

Hubunganku dan Ruben sebagai keluarga bisa dibilang tak baik dan dia kerap menyudutkanku. Sampai kemudian ia menikah dan sering meminjam uang padaku untuk membantunya memenuhi kebutuhan keluarga kecilnya, hubungan kami mulai mencair. Kami kini sudah selayaknya saudara kandung, meski masih berjarak. Sementara ibu selalu mencintai dan memercayai ayah. Hingga ayah meninggal, hingga kini.

Aku menghela napas. Mencoba menghilangkan semua cerita kelam yang terjadi di masa lalu. Peristiwa perselingkuhan ayah itu membuatku trauma akan lelaki hingga saat ini. Jangankan untuk berkomitmen, mencoba dekat dengan lelaki saja aku kadang membuatku takut. Rekaman peristiwa menjijikan itu selalu terputar di kepalaku setiap kali teman priaku mencoba mengajakku bercumbu.

Maka aku tak pernah bercumbu, hanya bisa sebatas berpegangan tangan. Aku kembali mengingat saat tadi malam Arsya mencoba menggenggam tanganku. Seharusnya tak apa-apa, tapi entah kenapa rekaman peristiwa itu terputar begitu saja di benakku dan membuat tubuhku menggigil. Mungkin karena sudah terlalu lama aku tak pernah dekat lagi dengan seorang pria.

Lamunanku terhenti saat ponselku bergetar. Nama Dikta tertera di layar. Aku segera mengangkat telepon dari adik laki-lakiku itu.

“Halo, Dikta. Kakak baru saja mau menelepon ibu, ingin menanyakan kabar kalian,” ujarku.

“Ini ibu, Bel.” Suara lembut ibuku terdengar di seberang sana.

“Ya, Bu. Ada apa?”

“Dikta katanya mau minta kiriman uang untuk biayanya mengurus skripsi,” jelas ibu. “Abel lagi ada uang, Nak?”

Aku berdehem. “Dikta perlu berapa katanya, Bu?”

Setelah ibu mengatakan jumlah uang yang dibutuhkan oleh Dikta, aku pun mengangguk, meski ibu tak melihatnya. “Ya, nanti Abel usahakan kirim secepatnya, ya, Bu. Dikta mana?”

Terdengar ibu memanggil Dikta, lalu tak berapa lama Dikta menyahut. “Ya, Kak?”

“Kamu semangat menyusun skripsi, ya.” Hanya itu yang kuucapkan.

Dikta mengiakan, lalu menyerahkan kembali ponsel pada ibu.

“Kamu baik-baik saja kan, Nak? Pekerjaan kamu bagaimana?” tanya ibu khawatir.

Aku terdiam sejenak, lalu menjawab, “Semuanya baik-baik saja di sini, Bu.” Aku terpaksa berbohong.

Setelah mendengar jawabanku, ibu merasa lega kemudian menutup telepon. Entah kenapa ibu sering bertanya khawatir seperti itu belakangan ini, seperti mengetahui keadaanku yang sebenarnya. Akan tetapi, sampai sekarang aku tak tega mengatakan bahwa aku sudah diberhentikan dari pekerjaanku beberapa bulan lalu. Meski aku merasa bersalah telah berbohong, kurasa ini adalah hal yang terbaik.

Perlahan aku bangkit dari ranjangku dan beranjak menuju jendela kaca, memandangi lalu lintas di bawah sana. Ini akhir pekan. Aku ingin bersantai sambil memikirkan konsep UMKM yangan ingin kujalankan. Namun tadi Arsya meneleponku bahwa ia akan datang siang ini. Lagi-lagi, aku tak bisa menolak. Bagaimanapun, ia telah membantu keuanganku sehingga aku bisa bertahan di ibu kota yang sesak ini.

“Ini untukmu.” Arsya menyodorkan dua kotak gadget yang masing-masing berisi laptop dan ponsel saat kemudian ia datang.

Aku mengamati kedua kotak itu. Dari nama brand dan serinya saja aku sudah bisa mengetahui harganya.

“Kenapa kamu harus membelikan yang semahal ini?” tanyaku.

“Keduanya sama persis dengan yang saya pakai saat ini. Jadi, kamu tidak perlu mempermasalahkan tentang harga. Pakai saja,” tegasnya.

Aku menghela napas, tak ingin berdebat. Akhirnya aku mengiakan. “Terima kasih,” ucapku.

“Kamu ada rencana apa siang ini?” Arsya membuka suara setelah beberapa saat kami saling berdiam diri.

“Tidak ada,” jawabku tanpa menoleh.

“Kalau begitu, ayo kita berbelanja.”

Aku mengerutkan kening. “Belanja apa lagi? Kamu sudah membelikan saya semua ini.” Tanganku menunjuk kotak berisi laptop dan ponsel yang berada di atas meja.

“Belanja yang lain. Pakaian, tas, parfum, atau apa pun yang kamu mau,” jawabnya.

Aku menyilangkan lengan di dada. “Saya tidak menginginkan semua itu.”

Arsya menatapku. “Tapi saya ingin membelikanmu. Dan saya juga ingin mengajakmu nonton.”

Melihatku hanya diam, Arsya berkata lagi, “Kamu tidak boleh menolaknya. Karena hal itu tertulis dalam—”

“Oke,” selaku sebelum ia kembali mengingatkan tentang kontrak. “Saya ganti baju dulu.”

Arsya tersenyum tipis, lalu mempersilakanku. Aku pun beranjak bangkit menuju lemari untuk berganti baju. Baru saja aku akan membuka baju yang sedang kupakai, namun urung. Aku baru ingat bahwa ini adalah apartemen studio yang area tempat tidur hanya dibatasi lemari dengan sofa di mana Arsya sedang duduk. Sedangkan aku sangat tak suka berganti baju di kamar mandi.

“Arsya, kamu jangan kemari! Saya sedang berganti baju!” seruku.

“Ya.”

Perlahan aku berjingkat ke arah tepi lemari untuk melihat apakah Arsya benar-benar tak berniat untuk mengintipku. Kulihat pria itu masih duduk di tempatnya, bersandar dengan tatapan fokus pada layar ponsel. Awas saja kalau ia berani mengintip, akan kutumbangkan lemari ini agar menimpa tubuhnya. Setelah yakin bahwa Arsya memang tak berniat mengintip, aku segera berganti baju dan tak berapa lama kemudian kembali menemuinya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status