Malvin mencoba menghitung uang yang ia peroleh dari pekerjaannya, yaitu sebagai seorang Mafia. Tentu saja pekerjaan apapun itu, ia bisa jalankan, mau itu baik ataupun buruk, bahkan ia sanggup membunuh seseorang. Walaupun wajahnya sudah dikenali para polisi, namun mereka tidak memiliki hak, jika bukan Malvin yang menyerahkan diri kepada mereka.
Tok! Tok!
"Masuklah."
Malvin melihat orang yang masuk ke ruangannya. Seperti ragu-ragu untuk memberitahu sesuatu.
"Ada apa Kevin?"
"Pak, boleh saya ijin keluar markas?"
"Kenapa kau bertanya pada ku, pergilah."
Kevin melihat tumpukkan uang yang sedang di hitung. Malvin melihat anak buahnya.
"Berapa yang kau inginkan?"
Kevin kaget "tidak banyak, hanya satu juta saja."
Malvin memberikan uang yang sudah ia ikat dengan rapi, dan memberikannya pada Kevin.
"Terima kasih Tuan."
"Pergilah, jangan pernah mengecewakan Jessie."
"Ba, bagaimana anda tau, kalau saya akan bertemu dengan Jessi?"
"Itu terlihat dari matamu."
Kevin tertunduk malu "aku permisi dulu"
Malvin memberikan senyuman, ia melihat anak buahnya yang paling muda berjalan menuju pintu dan keluar dari ruangannya. Di bukanya laci meja miliknya, mengeluarkan sebuah bingkai foto, entah foto siapa itu.
"Maaf, aku berjanji, jika semua tugasku selesai." Malvin meletakkan foto tersebut kembali ke tempat awal berada, sama persis tanpa ada perubahan.
~🥀~
"Selamat pagi Tuan Mafioso." Sapa seorang wanita.
"Pagi Linda, bisakah kau tidak memangil ku seperti itu, aku punya nama."
"Tidak itu tidak aman, lagi pula kau memang pria terhormat."
Malvin tersenyum.
"Tuan ingin ke mana?"
"Ingin berjalan-jalan sebentar."
"Ya, semoga saja anda menemukan seorang wanita yang cocok."
"Maksudnya?"
"Ya, seorang wanita, seorang istri, kau pasti akan menikah, kan?"
Malvin mengeleng "aku tidak tau."
"Bagaimana kak Rose, dia cantik, kalian serasi."
Malvin tidak memperhatikan ocehan Linda, ya, remaja wanita itu sangat aktif dalam berbicara. Bahkan ia melupakan jati dirinya di club tempat ia bekerja, sebagai pelacur, entah sudah berapa pria yang menggauli dirinya, tidak ada rasa penyesalan di wajah gadis itu, dia sangat pandai memainkan peran.
Malvin berjalan menaiki tangga menuju club, karena markasnya tepat di bawah club tersebut, di ruang bawah tanah, club tersebut didirikan oleh ayah Malvin, mungkin nanti akan di ceritakan, entah itu kapan.
Seluruh pengunjung melihat ke arahnya.
"Selamat pagi Tuan Mafioso."
"Pagi Ziah."
"Mencari Rose, dia ada di atas panggung."
"Boleh kau panggilkan?"
"Tentu saja, apa sih yang gak buat Tuan kami."
Ziah berjalan meninggalkan Malvin, wanita itu benar-benar nakal, ia selalu menggoda para tamu yang ia temui dengan mencolek tamu tersebut. Namun, wanita itu masih belum berani, bersikap seperti itu di depan Malvin, karena ia tau, Malvin bukan pria sembarangan yang mudah di rayu. Pernah sekali ia memergoki Malvin dengan wanita penggoda dengan sifat yang sama dengan dirinya, entah apa yang wanita itu lakukan, sampai-sampai Malvin melemparnya hingga tewas di depan semua orang club.
"Rose, Tuan Raja ingin bertemu dengan mu."
Wanita bernama Rose tersebut tersenyum manis, saat mendengarnya. Ia turun dari panggung, membuat para penonton bersorak kecewa.
Dengan tali putih yang membalut tubuhnya, ia berjalan menuju kamarnya.
Sesampainya di pintu, ia mengambil napas, untuk menghilangkan rasa gugupnya dan membuka pintu kamar. Tidak ada siapapun di dalam.
"Malvin?"
Rose merasa kecewa, karena di kamar tidak ada siapa pun.
"Akh!"
"Kau merindukanku?"
Rose hanya tersenyum saat seseorang memeluknya dari belakang.
"Semua wanita pasti merindukan dirimu."
Malvin mencium leher Rose dengan gemas, ya wanita ini adalah teman semasa sekolah. Banyak yang mengolok-olok bahwa mereka pasangan serasi yang memiliki masa depan suram, si wanita seorang pelacur dan si pria seorang mafia yang berkerja di kegelapan.
Rose hanya bisa pasrah dipelukan Malvin, ia terus mendesah, menikmati kecupan mesra dari bibir dingin pria itu.
"Malvin aku lemas." Ucapnya manja.
Malvin semakin nakal menjamah payudara Rose.
"Maukah, kamu memberikan lebih?" Ucap Rose, mendengar hal itu membuat nafsu Malvin hilang, ia mengambil jas dan memakai sepatunya.
"Malvin, aku minta maaf, tolong jangan marah, aku mohon."
Rose mencoba mengejar Malvin, mencoba menghadangnya, tetap saja itu sia-sia saja.
Malvin tetap berjalan tidak mempedulikan Rose, seluruh pengunjung melihat mereka, bahkan ada sindiran jahat untuk Rose, yang menganggap dirinya tidak mampu menaklukkan tamunya, atau tidak mampu memberikan layanan lebih pada si pria, padahal ini semua bukan salahnya. Rose hanya bisa menangis, melihat Malvin meninggalkan Bar tempat ia bekerja, seharusnya Rose tidak melakukan itu, dari awal Malvin sudah memberitahunya.
"Jangan memintah lebih dariku." itu yang selalu Malvin ucapkan pada Rose, setiap Rose bertanya, Malvin tidak pernah menjawab, hanya memandangnya penuh amarah, untuk kesekian kalinya, Rose melakukan kesalahan itu.
"Rose?" panggil Ziah mendekati rekan kerjanya itu.
Rose memeluk Ziah dan menangis.
...~🥀~...
Malvin berjalan menyusuri jalan kota yang begitu ramai, kota dengan seluruh bangunan berbahan bata merah, jika pemilik memiliki uang lebih, mereka akan memakai batu hitam yang lebih mahal dari batu bata merah, seluruh bangunan dengan gaya Eropa kuno.
Setiap mata perjalan kaki wanita selalu memperhatikan setiap langkah Malvin, dan berbisik tentang kelebihan yang dimiliki pada Malvin. Mungkin karena sifat dan sikapnya yang tidak begitu tertarik dengan wanita yang terlalu agresif, Malvin tidak bergeming sama sekali, tersenyum pun tidak.
"Berapa harga rokoknya?" tanya Malvin, mencari dompetnya di saku jasnya.
"Untuk Tuan, ini gratis." ucap remaja laki-laki itu.
Malvin melihat lekat remaja laki-laki itu, tersenyum berharap sesuatu pada Malvin.
"Apa yang kau inginkan dariku?" tanyanya.
Remaja laki-laki itu menundukkan kepala.
Malvin memijat keningnya, ia tau apa artinya. Itu adalah kode untuk memohon agar diangkat sebagai anak buah.
"Ikut denganku." Malvin berjalan meninggalkan remaja itu, dengan cepat remaja laki-laki itu membereskan dagangannya, dan mengejar langkah Malvin.
...~🥀~...
Malvin melihat remaja laki-laki itu, entah apa yang harus ia lakukan, niatnya untuk mengusir, itu tidak mungkin, karena caranya mengusirnya tidak seperti mengusir seekor kucing yang hanya berkata "husss." tentu saja ini tentang nyawa.
Mereka duduk di sebuah Cafe yang memang begitu ramai, namun karena si pemilik cafe tau siapa Malvin, ia memberikan ruang khusus untuk Malvin dan tamunya. Seorang pelayan wanita memberikan sebuah termos ukuran setengah liter kepada Malvin.
"Pesanan anda Tuan."
Malvin hanya tersenyum saat pelayan itu meletakkan termos tersebut. Pelayan itu melihat remaja laki-laki itu, membuatnya takut.
"Siapa namamu?" tanya Malvin.
"Semua orang memangil ku Zico."
"Darimana kau tau tentang aku?"
Zico menarik jari-jarinya yang kurus, ia berusaha mengumpulkan keberanian untuk mengumpulkan keberanian. Malvin meletakkan sesuatu di meja, membuat mata Zico terbuka lebar, bagaimana tidak, itu adalah sebuah pistol, Zico melihat Malvin dengan pandangan tidak percaya.
Remaja laki-laki bernama Zico melihat Malvin tidak percaya dengan apa yang ia lihat matanya yang terbuka lebar, saat sebuah pistol dikeluarkan dari saku celana Malvin, pria dewasa itu mengisi pistol dengan tiga peluru dan menyisakan satu tempat. kening remaja laki-laki itu perlahan mengeluarkan bulir- bulir keringat, melihat Malvin meletakkan pistol tersebut di meja. "Jika kau bersungguh sungguh ingin menjadi anak buah ku, lakukan sesuatu, agar saya tertarik dengan mu." Zico menunduk, senyuman jahat Malvin mulai terlukis dibibir seksinya. "Baiklah." Zico mulai mengambil pistol tersebut, ia arahkan ke tangan kirinya, dan tangan kanannya siap untuk menekan pelatuk tersebut, Malvin bisa mendengar detak jantung remaja laki-laki itu, itu seperti musik untuknya, matanya tidak lepas dari wajah ketakutan remaja laki-laki itu. Zico mulai menelan ludahnya dalam-dalam. Tek! Ia kaget, rasanya jiwanya akan lepas dari tubuh, ia tidak percaya dengan apa yang terjadi. Zico melihat Malvin tidak p
"Mungkin saja, saat kau mandi, dan pelayan setia mu tidak menemani, mungkin saja ada mata jahat yang memandang tubuhmu." ucap Malvin, membuat Aldo putra paman Hans berkeringat, ia pun memilih keluar dari ruang tengah tersebut.Dan Vinka terdiam tidak percaya dengan apa yang di ucapkan Malvin barusan. Seluruh keluarga Hans terdiam sama-sama tidak percaya."Bagaimana, kau tau hal itu akan terjadi!?" Tanya Vinka kesal."Itu sudah terjadi, Tuan Hans jika keponakanmu bersikeras tidak menerima ku, lebih baik aku pergi.""Tunggu!"Hans melihat Vinka "baiklah, kau bisa bekerja mulai hari ini, Sarah, tunjukkan kamarnya.""Baik Tuan."Malvin mengikuti Sarah."Tunggu!" Teriak Vinka.Seluruh keluarga Hans menoleh melihat Vinka. Adellia dan Nyonya Monica memutar bola matanya dan memilih pergi meninggalkan tempat itu."A, aku ingin bicara dengan mu."Semua pandangan ke arah Malvin."Sarah, antar-kan dia ke ruang p
"Tidak mungkin." ucap Sarah tidak percaya, setelah selesai membaca isi dari surat itu.Malvin mengeleng "kita tidak tau rencana Tuhan seperti apa." Ia mengambil kertas tersebut dari tangan Sarah, melipatnya kembali dan memasukkannya kedalam saku jasnya. Sarah melihat Malvin."Sejak kapan?" tanya Sarah penasaran."Aku tidak tau pasti, pria itu datang memohon kepada ayahku untuk menjaga Vinka, dan saat itu aku masih belajar menjadi seorang mafia."===============FLASHBACK================Dia adalah Tuan Panduwinata, Bos di sebuah perusahaan swasta dalam bidang pakaian, ia turun dari mobil, mengendong putrinya yang berusia 5 tahun, istrinya pun menyusul suaminya, berjalan menghindari jalanan yang penuh dengan kubangan."Permisi, apa anda tau alamat ini?" tanya Tuan Panduwinata pada salah satu warga yang sibuk melas kayu.Warga tersebut melihat lembaran kertas yang diberikan Tuan Panduwinata."Jalan luru
Malvin berusaha untuk tidur, namun matanya tidak ingin terpejam, ia mencoba membuka kaos dan melemparnya ke lantai."Sial!" ucapnya kesal, melempar bantalnya.Malvin berpikir, "baiklah." ia pun bangkit dari tempat tidurnya, memakai kembali kaosnya. Dengan pelan ia menutup pintu kamarnya, berjalan menyusuri lorong-lorong rumah dengan langkah perlahan.Tujuannya sudah sampai, yaitu kamar Vinka, tapi anehnya, kenapa pintu kamar terbuka, dengan pelan-pelan Malvin mendekati kamar tersebut, senyuman khasnya terlukis kembali."Menarik." ucapnya dalam hati.~🥀~Matahari muncul dengan perlahan terbit dari arah Timur, seluruh pelayan wanita sibuk dengan pekerjaan di dapur, membantu seorang koki pria yang sudah paruh baya. Malvin hanya melihat kegiatan mereka tanpa membantu, bahkan, ia dengan lancang mencicipi masakan itu satu persatu. Saat di piring terakhir, seseorang menepuk tangan Malvin dengan kasar."Tuan Malvi
Monica tidak percaya jika pria di depannya sudah mengetahui rencana busuknya. Pria tersebut tersenyum itu adalah ciri khasnya, tapi tidak tau apa arti senyuman itu, tidak ada yang tau bagaimana senyuman senang, ataupun meremehkan itu terlihat sama."Apa mau mu Malvin?" tanya Monica.Malvin melihat Desi yang berdiri di samping Monica dengan kepala tertunduk takut."Percuma saja saya mengatakan bahwa andalah pelakunya, karena suami anda memihak kepada anda." ucap Malvin."Apa katamu, Hans sudah tau?" tanya Monica tidak percaya."Kalau kau tidak percaya, tanyakan saja padanya, lagipula, tugas kita sama di sini." Malvin meletakkan foto Vinka di atas meja."Siapa yang menyuruhmu?" tanya Monica.Malvin tersenyum "itu privasi, saya tidak bisa memberitahu."Monica semakin marah "katakan apa mau, mu?" tanya Monica."Bebaskan Sarah dan berikan stempel racunnya."Mata Desi terbuka lebar dan benar-benar menjadi takut.
"Apa kau masih ragu-ragu?" tanya Bram.Mata Malvin melihat Bram lekat-lekat."Saya sudah membawa stempel racun yang anda minta." ucap Malvin ragu-ragu."Kau tidak apa-apa Malvin? sepertinya kau bimbang ingin memilih jalan yang mana."Malvin mengangguk, ia mengusap keningnya."Setidaknya kau harus memakai kekuatan mu sendiri."Malvin mengikuti langkah Bram, memasuki ruang laboratorium pribadi pria berusia 50an tersebut. Tidak ada yang menarik di laboratorium ini, yang ada hanya barang-barang yang akan diuji coba oleh Bram.Hidup Bram sepenuhnya sudah terikat di Rumah Sakit ini, semenjak sepeninggal istri tercinta, Bram lebih sering di Rumah Sakit dibandingkan dengan keluarganya yang selalu menyudutkan dirinya untuk mencari pendamping hidup baru, ini tidak mudah, jika sudah mengenal cinta, maka ia akan bertahan sampai kapanpun."Ini racun bunga Belladona, di dalam Belladona terkandung racun tropane alkoids dan atropine yang dapat
"Daniel boleh aku bicara dengan mu, sebentar?" tanya Sarah sedikit malu-malu.Malvin mengerti aura ini, ia hanya bisa tersenyum.~🥀~"Aku tidak setuju jika kau bersama dengan Daniel," ucap Malvin pada Sarah, Sarah hanya diam melihat Malvin tidak percaya."Berikan aku alasannya?" tanya Sarah."Lupakan saja dia." lanjut Malvin, meninggalkan kamar Vinka, meninggalkan Sarah.Sarah terdiam, ia lanjut memandikan Vinka yang masih tertidur, sebenarnya ia sudah tau alasannya, namun ia tidak mau mencari masalah pada Malvin. Matanya mulai berkaca-kaca dan akhirnya tidak terbendung lagi, tepat mengenai lengan Vinka, dengan cepat, ia mengelap air matanya tersebut.~🥀~Sarah mendekati Malvin yang sedang menikmati rokoknya."Aku dan Daniel sebenarnya sudah saling mengenal lama." ucap Sarah, mendengar itu Malvin mematikan rokoknya dan menghela napas panjang."Tidak ada jod
"Bagaimana kalau besok kita berwisata?" tanya seorang wanita.Adellia dan Monica menoleh, dan tidak percaya dengan apa yang mereka lihat, wanita itu tersenyum.Melihat itu mereka semua tersentak kaget, tidak percaya dengan apa yang mereka lihat. Ada rasa kepanikan di dalam hati mereka, namun tidak menunjukkannya."Vinka? kau sudah sadar?" tanya Monica."Iya Tante, ini semua berkat Sarah yang selalu menjagaku, dan Malvin yang sudah mencarikan obat penawarnya."Monica tersenyum masam, mengetahui nama-nama yang tidak bisa di pihaknya, sepertinya ia mendapatkan ide busuk untuk menyingkirkan pewaris keluarga Panduwinata itu."Tentu, mau wisata ke mana kita?" tanya Monica.Vinka tersenyum "bagaimana kalau Tante yang memikirkan tempatnya." ucap Vinka, ia berjalan menaiki tangga dibantu Sarah.~🥀~Malvin yang baru saja mencuci mobilnya, berjalan menenteng ember yang berisi peralatan mencuci mobil, bi