Selesai melayani Vinka, Sarah membawanya ke meja makan. “Selamat pagi, Vinka,” sapa Monica dengan senyum tipis. Tiba-tiba bulu kuduk Sarah meremang. Ada apa dengan nenek lampir ini? Tidak biasanya dia menyapa… bisiknya pelan ke telinga Vinka. Vinka hanya tersenyum geli lalu mencubit pinggang Sarah pelan. “Maaf, Nona,” ucap Sarah sambil menarikkan kursi untuknya. “Terima kasih, Sarah,” balas Vinka lembut. “Selamat pagi, Tante,” sapa Vinka sambil memberikan senyum manisnya. Senyuman itu malah membuat Monica semakin muak. Dasar anak munafik, pikirnya sinis. “Sarah, kau boleh sarapan. Nanti kau kan ikut menemani Nona Vinka, bukan?” tanya Monica datar. “Ya, Sarah, pergilah sarapan. Kalian semua juga,” tambah Vinka sambil menoleh pada para pelayan. “Terima kasih, Nona!” sahut para pelayan serempak, penuh semangat. Mereka berjalan menuju dapur. Sarah ikut melangkah, meski hatinya terasa berat meninggalkan Vinka bersama Monica. ---🥀--- Di dapur, suasana riuh. “Wah, nggak biasanya
Pintu terbanting keras, menggema di seluruh ruangan villa yang tak jauh lebih besar dari rumah keluarga Panduwinata. Mata mereka menyapu sekeliling, menelusuri setiap sudut dengan waspada. "Astaga, Vinka!!" teriak seseorang, berlari mendekat lalu memeluk Vinka dengan penuh kerinduan. Monica tertegun. Dia mengenali wanita itu—Victoria, adik kandung Tuan Panduwinata. Tidak disangka dia ada di villa ini. "Halo Monica, lama tidak bertemu! Ya ampun, ini si kembar, ya? Mereka tumbuh cepat sekali. Bagaimana sekolah kalian?" sapanya hangat, membuat kedua remaja yang berdiri di belakang Monica mulai terlihat bosan. "Kau sendiri di sini?" tanya Monica, mencoba mengalihkan perhatian. Victoria tersenyum samar. "Tidak, aku bersama James, tapi dia ada urusan mendadak di kantor. Huh, dingin sekali di sini. Ayo masuk, cepat!" Mereka pun mengikuti Victoria masuk ke dalam. "Sial," gumam seseorang di luar villa. ---🥀--- "Dingin sekali di sini... seandainya Sarah ada di dekatku..." bisik Daniel
"PEMBUNUH!!" "Malvin!" teriak Daniel, suaranya memecah lamunan Malvin yang kosong menatap tanah. "Kau tidak apa-apa?" Daniel menepuk pelan bahu temannya. Malvin mengusap wajahnya, memijat pelipis yang terasa berdenyut. "Aku tak apa-apa. Lebih baik kau dirikan tenda untuk istirahat, Dan." "Baiklah." Daniel membuka bagasi mobil, menarik kantung besar berisi peralatan camping. "Malvin, bisa kau bantu aku di sini?!" serunya, sedikit kesal. Malvin tak menjawab. Matanya sayu, pikirannya melayang jauh. Daniel menghela napas, lalu mulai merakit tenda sendirian sambil mengomel pelan. Perlahan, potongan kenangan muncul di benak Malvin, membawa dirinya ke momen saat menerima perjanjian dari Tuan Panduwinata. "Tuan, ada tamu untuk Anda," kata seorang wanita, membuka pintu ruang kerja Malvin tanpa menunggu persetujuan. Seorang pria paruh baya masuk, jasnya rapi, sepatu pantofelnya mengeluarkan suara ketukan tegas saat melangkah. Di tangan kanannya, sebuah koper persegi hitam. "Selamat sian
Daniel menguap lebar, mengusap mata dengan malas. Malvin melirik kesal. "Maaf," gumam Daniel. "Kalau kau menguap selebar itu, hati-hati, lalat bisa masuk," sindir Malvin tajam. Tiba-tiba, terdengar suara jeritan dari kejauhan. "Itu... Vinka!" seru Malvin. "Suara perempuan buta itu, kan?" tanya Daniel panik. Tanpa pikir panjang, Malvin langsung berlari menuju sumber suara. "Malvin! Tunggu aku!" teriak Daniel, berusaha mengejar. Sayangnya, jalan berbatu membuat Daniel kesulitan. Nafasnya mulai terengah. "Astaga... anak itu makan apa sih, larinya cepat sekali?" gerutunya sambil duduk di atas batu besar, mencoba menarik napas. "Sudahlah... aku istirahat sebentar dulu..." ---🥀--- Beberapa saat sebelumnya, di tepi sungai Victoria memapah Vinka dengan hati-hati, membantu gadis buta itu melangkah di jalanan berbatu menuju tepian sungai. "Sepertinya sungainya sedang meluap," gumam Victoria sambil melirik ke arah arus yang semakin deras. "Kita jadi tidak jalan-jalan?" tanya Vinka p
Malvin terbatuk hebat, berusaha memuntahkan sisa air sungai yang memenuhi paru-parunya. Matanya yang memerah memandang cemas ke arah Vinka, yang tergeletak tak sadarkan diri di bawah tubuhnya. Dengan napas berat, ia membopong tubuh wanita itu, begitu ringan, seperti mengangkat sehelai kapas. Malvin sering diam-diam berolahraga, jadi membawa Vinka bukan perkara sulit baginya. Perlahan, ia menekan dada Vinka, tepat di tengah, berusaha memompa paru-parunya. Vinka mulai tersentak, terbatuk lemah, lalu membuka matanya yang sayu. “Malvin?” bisiknya lirih, suaranya nyaris tak terdengar. “Ya, Nona,” jawab Malvin lembut, tetap menggunakan suara remaja yang ia palsukan, karena belum saatnya Vinka tahu siapa dia sebenarnya. Ia membantu Vinka duduk perlahan. “Sudah lebih baik?” tanyanya, mata tajamnya mengawasi setiap gerakan Vinka. Vinka mengangguk pelan, lalu meringis. “Ngh… telapak kakiku sakit,” keluhnya pelan. Malvin segera berjongkok, meraih kakinya. “Biar saya cek. Angkat sedikit kaki
Malam mulai turun, hujan semakin deras, suara tetesan air terdengar samar di atap rumah kecil itu. Di depan tungku sederhana yang terbuat dari susunan batu bata, seorang pria muda duduk diam memandang api kecil yang berkedip lemah. Sebenarnya, itu bukan perapian, hanya kompor tradisional, namun cukup menghangatkan ruang mungil ini. “Bagaimana airnya? Sudah mendidih?” suara lembut seorang wanita memecah kesunyian. “Sepertinya sudah,” jawab Malvin pelan, lalu sedikit menyingkir untuk memberi ruang untuk Tuan rumah. Air yang mereka masak sedari tadi untuk memandikan Vinka, yang masih terbaring demam. Malvin bisa mendengar suara Vinka mengigau dari kamar, memanggil seseorang, memohon agar jangan ditinggalkan. “Terima kasih, Nyonya, anda sudah mau menampung kami, padahal kami ini orang asing,” ucap Malvin dengan nada tulus. “Ah, panggil saja aku Bibi. Jangan pakai 'Nyonya', itu hanya untuk orang kaya!” sahut wanita itu sambil tersenyum. “Sudah lama kalian tinggal di sini?” tanya Malvin
Sepertinya mau mendung lagi,” gumam Bibi sambil menatap langit yang mulai kelabu. Malvin ikut menengadah, matanya menyipit, memperhatikan awan-awan berat yang menggantung. “Malvin, seperti apa langit mendung itu?” tanya Vinka pelan. “Gelap, seperti yang kau lihat sekarang,” jawab Malvin, suaranya lembut. Vinka tersenyum tipis. “Kalau begitu, setiap hari cuacaku mendung, ya?” bisiknya pelan, menyadari keadaannya yang tak bisa melihat. Malvin menoleh, matanya melembut. “Benarkah? Lalu, apa yang kau rasakan sekarang?” tanyanya hati-hati. “Aku senang… karena di mendungku ada Malvin,” ucap Vinka polos, wajahnya merona sedikit. Malvin terdiam, pipinya ikut memerah. Bibi, yang berdiri tak jauh dari mereka, hanya menepuk pundak Malvin dengan senyum menggoda, memberi semangat tanpa kata. ---🥀--- Sementara itu, di tempat lain, suasana jauh berbeda. “Kenapa kau tidak bisa menjaganya!?” bentak Hans, nadanya tajam memotong udara. Victoria, kakak tirinya, hanya bisa menangis tersedu, tub
Kevin dan Zico memandang Daniel dengan serius. “Jadi kau belum menemukan Tuan Mafioso?” tanya Kevin pelan, namun sorot matanya tajam. Daniel menghela napas panjang. “Belum… Aku hanya bisa berharap Malvin baik-baik saja.” Tiba-tiba, suara dering ponsel memecah keheningan. Daniel mengernyit, dia yakin bukan ponselnya. Matanya segera tertuju ke tas Malvin. Dengan cepat dia menyelidik dan menemukan ponsel itu. Nama di layar terpampang jelas: Hans. Daniel ragu sejenak, lalu mengangkat telepon tanpa mengucap sepatah kata pun. Namun, anehnya, si penelepon di ujung sana juga tidak bersuara. Mendadak terdengar bunyi benturan keras dari seberang. Daniel spontan memutuskan panggilan. “Sialan…” gumamnya, wajahnya berubah tegang. “Ada apa, Kak?” Zico mendekat, nada cemas terdengar jelas. ---🥀--- Di sisi lain, Malvin membantu Vinka turun perlahan dari taksi. Gadis buta itu menggenggam lengan Malvin erat-erat, raut wajahnya menegang setiap kali mendengar suara keras dari jalanan. Dunia luar
Malam itu, langit dipenuhi bintang, namun hati Vinka tetap gelap gulita. Di dalam kamarnya, ia duduk di tepi ranjang, mengelus liontin kecil peninggalan ayahnya. Hatinya berdebar tanpa alasan. Ada sesuatu yang terasa janggal, meski ia tak bisa menjelaskannya. Sementara itu, di ruang tamu, Monica duduk bersama Hans. Perempuan itu melirik suaminya dari sudut mata, tersenyum tipis sambil memutar cincinnya. "Hans, kamu yakin semua ini perlu?" tanya Monica pelan. "Aku sebenarnya tidak ingin terlibat sejauh ini. Aku hanya... ingin memastikan warisan Vinka tidak jatuh ke tangan yang salah." Hans mendengus pendek. "Kau tidak perlu munafik, Monica. Kau tahu, selama ini kau hanya mengincar kekayaan Panduwinata. Aku yang berusaha memastikan keselamatan Vinka, bukan hanya harta." Monica tertawa kecil, memiringkan kepalanya. "Oh, Hans, kau terlalu serius. Aku ini istrimu, bukan musuhmu. Lagipula, James yang memulai semua kekacauan ini, bukan aku. Dia yang mendorong semua rencana gila itu."
Senja semakin tenggelam di balik barisan pepohonan. Taman itu mulai sepi, hanya suara daun bergesekan pelan dan angin yang membawa aroma tanah lembap. Hans menatap lurus ke depan, tangan-tangannya menyatu di pangkuannya. Ia menunggu, sabar, meski pikirannya berputar penuh tanda tanya. Di sampingnya, Malvin duduk kaku, menunduk, menahan napas panjang. “Aku menunggumu, Malvin,” ucap Hans tenang, tapi nadanya jelas memberi tekanan. “Aku butuh kau jujur sekarang.” Malvin mengusap wajahnya kasar, rambut hitamnya berantakan. “Saya… saya kenal James,” suaranya serak. “Bukan cuma kenal. Dia yang menyewa saya untuk membunuh Tuan Panduwinata, istrinya dan Vinka.” Hans memejamkan mata sejenak, seperti sudah menduga. “Lalu kenapa kau tidak melakukannya?” Malvin tertawa kecil, getir. “Karena ayah saya. Karena ayah saya dulu pengawal pribadi keluarga Panduwinata… termasuk Nona Vinka.” Hans menoleh cepat. “Ayahmu…? Kau anaknya Michael?” Malvin mengangguk pelan. “Saya tidak pernah menceritakan
“Siapa? Siapa orang yang harus dirahasiakan dariku?” bisik Vinka dalam hati, kebingungan. Begitu mendengar langkah kaki menjauh, ia akhirnya berani keluar dari ruangan itu, berniat menemui Hans. “Paman.” panggilnya pelan. Hans yang tengah sibuk menata dokumen mendongak, lalu tersenyum begitu melihat siapa yang datang. Vinka perlahan mendekat, duduk di kursi tamu di hadapannya. “Vinka? Wah, tumben sekali.” ujar Hans sambil melipat tangannya di meja. Ruangan itu masih meninggalkan jejak menyakitkan di benak Vinka. Di sinilah kedua orang tuanya terbunuh. Ia masih mengingat jelas dentuman pistol, suara teriakan ibunya dan tawa dingin si pembunuh. “Aku ingin sekali membalas dendam pada mereka." ucap Vinka tiba-tiba, suaranya getir. Hans terdiam, matanya menunduk. Ia tahu, kebencian itu tak pernah padam dalam diri keponakannya. Sarah dan Malvin pun tahu, sebanyak apa pun mereka menolong, luka di hati Vinka selalu menganga. “Kau… belum bisa menerimanya?” tanya Hans pelan. Vinka mengg
Sarah bergegas ke kamar Vinka begitu mendengar panggilan. “Nona memanggil saya?” tanyanya, suara lembut namun penasaran. Vinka menoleh perlahan. “Sarah, kau tahu di mana Malvin tinggal?” tanyanya pelan, tapi sorot matanya menuntut jawaban. Sarah terdiam, otaknya berputar cepat mencari alasan. Ia tahu Malvin mempercayakan rahasia ini padanya, tapi ia juga tak ingin mengecewakan Vinka. “Sarah?” desak Vinka, suaranya melembut, seolah bisa merasakan kebimbangan pelayannya. Sarah menunduk, menarik napas panjang. “Nona… maafkan saya. Saya tidak bisa memberitahu. Malvin sendiri yang memintanya.” Suaranya terdengar pelan, seperti memohon pengertian dari majikannya itu. Vinka menatapnya lama. Sarah bisa melihat mata majikannya mulai berkaca-kaca, berusaha keras menahan sesuatu yang mengganjal di dadanya. “Baiklah…” ucap Vinka akhirnya, berusaha tetap tegar. Ia bangkit perlahan, berjalan menuju ranjang. “Kau boleh keluar. Aku ingin sendiri.” Sarah menggigit bibirnya, hati kecilnya menjeri
“Paman.” panggil seorang wanita pelan. Hans menoleh, senyumnya samar. “Iya, Vinka?” Vinka mendekat, duduk di samping Hans. Tatapannya penuh rindu dan keraguan. “Apa Paman… rindu pada Ayah?” Pertanyaan itu membuat dada Hans sesak. Ia menghela napas panjang, mencoba tersenyum walau getir. “Maafkan aku, Vinka. Seharusnya dulu aku tidak pergi bertugas, seharusnya aku tetap di rumah, mendampingi dia… ke mana pun langkahnya.” Vinka menunduk, meremas jemarinya sendiri. “Kalau benar semua ini rencana Paman James… apa yang harus kulakukan?” suaranya lirih, nyaris berbisik. Hans terdiam, matanya menerawang. “Apa Paman tahu siapa yang bekerja sama dengan Paman James?” tanya Vinka lagi, nada suaranya sedikit memaksa. Hans menarik napas panjang. Sebenarnya ia tahu, tapi orang itu pernah menolong Vinka, dan lidahnya terasa berat untuk mengatakannya. “Vinka, ini sudah malam. Kita bicarakan besok saja, ya? Ayo.” Hans berdiri, mengusap kepala ponakannya pelan, lalu berjalan meninggalkan gadis it
Monica meletakkan satu piring besar di atas meja, senyumnya melebar penuh kemenangan. Para pelayan hanya saling melirik, membisikkan sesuatu diam-diam. Mereka penasaran, ada apa dengan nyonya mereka kali ini, Monica yang biasanya dingin kini tampak begitu senang. Tapi tentu saja, mereka bukan siapa-siapa untuk ikut menggoda atau mempertanyakan kegembiraan majikannya. “Wow, Mam, Mama masak semua ini sendiri?” tanya Adellia sambil mengedarkan pandangan ke meja makan. Monica mengangguk pelan, senyum masih terlukis di wajahnya. Adellia dan Aldo saling melirik, perasaan aneh menggelitik hati mereka. Mereka tak pernah melihat ibunya sesenang ini, bahkan ketika ayah mereka pulang dari luar kota. “Tentu saja ini untuk kemenangan Mami,” jawab Monica riang. “Kemenangan? Maksud Mama, kemenangan apa?” tanya kedua anaknya hampir bersamaan, bingung. Suara bel pintu terdengar dari ruang depan. Monica segera berdiri, langkahnya ringan, membayangkan menyambut sang suami yang baru pulang. Tapi begi
Jessie berusaha melepas ikatan di kaki dan tangannya dengan serpihan kaca kecil yang ia selipkan diam-diam di saku gaun. Sejak awal ia sudah berhati-hati agar tak melukai diri sendiri, tapi kenyataannya tak semudah itu, jari tengahnya tergores saat mencoba menarik keluar serpihan itu. Ia bahkan merasakan perih di pinggang, tempat ia menyembunyikannya tadi. “Sial.” gumam Jessie pelan sambil meringis. Meski begitu, ia tetap gigih memotong tali tambang yang mengikat pergelangan tangannya, meski setiap gerakan kecil membuat lehernya pegal. “Aduh… kenapa sih mereka tega begini? Semakin menarik saja, mafia-mafia ini.” Jessie bergumam sendirian, mencoba menjaga pikirannya tetap sibuk agar tidak panik menghadapi situasi gawat ini. Tiba-tiba terdengar suara gaduh dari arah pintu. Jessie reflek berhenti, buru-buru berpura-pura seperti tahanan yang patuh. “Ah, sialan…” sumpahnya dalam hati. Pintu terbuka kasar. Seorang pria bertubuh besar mendorong seorang wanita masuk. Jessie menatap wanita
Jessie melangkah anggun di antara para tamu pesta. Dengan tubuh ramping dan gaun yang memeluk lekuknya, ia tampak seperti Nyonya besar sejati. Tak heran jika hampir semua mata pria tertuju padanya malam itu. Tak jauh, Hans mendekati Malvin dengan senyum menyeringai. “Drama wanita itu… luar biasa, ya,” bisiknya. Malvin membalas dengan senyum tipis. “Dia mirip Monica, bukan?” ucapnya, sengaja membalikkan keadaan. Hans sejenak tersipu, lalu memilih menjauh dengan langkah kecil, pura-pura tidak terusik. Dengan gerakan kecil, Malvin memencet tombol kecil di jasnya. Jessie dan Hans melakukan hal yang sama, alat komunikasi mungil mereka tersambung. Tak lama, Malvin menghampiri seorang wanita elegan di tepi ruangan. Ia menyunggingkan senyuman ramah. “Sudah sering datang ke acara seperti ini?” suaranya hangat, penuh ketenangan. Wanita itu, yang memegang gelas anggur, tersenyum menggoda. “Sudah sepuluh tahun. Ini dunia kecil saya.” Malvin mengangguk pelan. “Saya baru pertama kali. Ada sa
“Berapa banyak topeng yang kau pakai, hah!?” bentak Sarah, suaranya bergetar menahan marah. “Sarah!!” seru Malvin, suaranya memecah ketegangan di ruangan itu. Semua orang langsung terdiam. Kevin segera memberi isyarat pada Jessie dan Zico untuk meninggalkan ruangan, dan keduanya patuh tanpa banyak tanya. “Tuan Hans tidak tahu apa-apa…” suara Malvin melembut. “Awalnya Vinka bersamaku. Tapi seseorang menculiknya. Aku minta maaf padamu.” Sarah menatap tajam. “Dan sekarang dia di mana?” “Aku sedang berusaha mencarinya. Jadi, bisakah kau diam sejenak? Kita perlu menyusun rencana. Mohon, mengertilah…” Dengan helaan napas berat, Sarah melangkah ke kursi dan duduk perlahan. “Baiklah. Itu urusanmu. Aku hanya ingin Vinka selamat, itu saja.” “Sarah…” Daniel hendak bicara, tapi Malvin mengangkat tangan menghentikannya. Tanpa berkata apa-apa, Malvin menuju ruangannya. Dia melihat Zico berdiri di dekat pintu. “Zico.” panggilnya pelan. Anak muda itu langsung paham maksudnya dan segera memang