Home / Romansa / Pengantin Untuk Tuan Mafioso / Chapter 2 Bahaya Dalam Sunyi

Share

Chapter 2 Bahaya Dalam Sunyi

Author: Riska Prakoso
last update Last Updated: 2021-06-13 14:01:29

Sebuah mobil hitam memasuki halaman rumah besar bergaya klasik dengan dinding putih. Rumah itu berdiri megah, tiga lantai, dengan halaman yang cukup luas.

“Wah, besar sekali,” gumam seorang remaja perempuan saat keluar dari mobil.

“Selamat datang, Tuan dan Nyonya Hans,” sambut pelayan rumah dengan sopan.

“Kalian sudah tahu kami ke sini untuk apa, kan?” suara Monica, istri Hans, terdengar dingin.

“Ya, Nyonya, saya tahu,” jawab pelayan itu pelan.

“Kalau begitu, bawakan barang-barang kami. Ayo, sayang,” Monica menarik tangan suaminya.

Mereka adalah Hans, adik tiri Tuan Panduwinata, bersama istrinya Monica. Mereka membawa kedua anak mereka: Aldo, putra sulung yang cuek, dan Adellia, putri bungsu yang penuh rencana di balik senyumnya.

Para pelayan memandang dengan tatapan tidak suka. Mereka tahu, kehadiran keluarga Hans bukan kabar baik. Dan kalian akan segera mengerti alasannya.

---🥀---

“Sarah? Siapa yang berisik itu?” suara seorang gadis terdengar pelan dari dalam kamar.

“Maaf, Nona, Tuan Hans dan keluarga akan tinggal di sini untuk menemani Anda,” jawab Sarah, pelayan pribadi gadis itu.

“Kenapa harus mereka?” Vinka menghela napas pelan.

“Tuan James dan Nyonya Victoria tidak bisa pulang karena sibuk bekerja,” kata Sarah pelan.

Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu.

Tok! Tok!

“Maaf, Nona, Tuan dan Nyonya Hans datang.”

“Berikan tongkatku,” pinta Vinka.

Sarah cepat-cepat menyerahkan tongkat pada Vinka, sementara Desi membantu menopang tubuhnya agar berdiri. Suara ujung tongkat yang menyentuh lantai menarik perhatian keluarga Hans.

“Lihat, sang putri sudah datang,” bisik Monica pada putrinya.

Adellia tersenyum masam. Dalam benaknya, sudah tersusun rencana jahat untuk wanita buta di depannya. Sementara Aldo? Ia tak peduli. Matanya tetap terpaku pada layar ponsel.

Monica menghampiri Vinka, membantunya turun dari tangga terakhir.

“Kemari, sayang,” katanya manis, meski aura panas dari tangannya terasa jelas bagi Vinka.

Vinka hanya bisa tersenyum tipis. “Mulai hari ini, kami akan menemanimu, jadi jangan merasa sendirian,” lanjut Monica.

“Iya! Aku akan jadi teman Kak Vinka!” seru Adellia sambil memeluknya.

Vinka membalas senyuman mereka. “Terima kasih, Paman… Tante…”

---🥀---

Malam itu, mereka menikmati makan malam bersama. Hanya Tuan Hans yang tidak hadir karena ada urusan mendadak di kantor.

“Apa kau mau daging itu, Kak?” tanya Adellia, pura-pura sopan.

“Adell! Yang sopan!” tegur Monica setengah hati.

“Ayolah, Ibu. Aku cuma mau dagingnya. Sayang kalau nggak dimakan,” rengek Adellia.

Vinka tersenyum tipis. “Ambillah saja. Aku sudah selesai.”

Dengan cepat, Adellia menyambar piring berisi daging.

“Ayo, Nona, saya antar ke kamar,” bisik Sarah.

“Tunggu.” Suara Monica memotong.

“Ya, Nyonya?”

“Apa baik langsung ke kamar setelah makan? Duduklah sebentar, temani kami,” katanya sambil tersenyum tipis.

Vinka menuruti, duduk kembali. Sarah akhirnya pamit untuk menyiapkan kamar.

Begitu pelayan lain juga pergi, Monica memberi isyarat pada putrinya.

“Ambil tongkatnya,” bisik Monica.

Adellia menahan tawa, cepat-cepat mengambil tongkat Vinka dan pergi, meninggalkan gadis itu sendirian di ruangan yang kini mereka matikan lampunya.

Vinka tetap duduk tenang. Meski tak bisa melihat, ia tahu dirinya sedang dipermainkan.

---🥀---

Larut malam, Hans pulang ke rumah kakak tirinya. Supirnya menurunkan dia di depan pintu.

“Selamat malam, Pak,” sapa satpam.

“Malam,” jawab Hans singkat.

Pelayan membukakan pintu untuknya. “Selamat malam, Tuan.”

“Malam. Yang lain sudah tidur?”

“Sudah, Tuan.”

“Baik, kunci semua pintu. Bergantianlah berjaga.”

“Siap, Tuan.”

Hans melangkah menuju kamarnya, tapi berhenti saat melihat sosok duduk di ruang makan yang gelap.

“Siapa di sana?” tanyanya.

Ia menyalakan lampu.

Klek!

“Vinka? Sedang apa kau di sini sendiri?” suaranya terdengar heran.

Vinka menoleh, meski matanya tampak kosong, tak mengarah ke mana pun.

---🥀---

Keesokan paginya, Hans duduk di ruang makan, melipat tangan di dada. Tatapannya menusuk istri dan kedua anaknya.

“Satu kali lagi aku tanya, siapa yang lakukan?” suaranya datar namun tegas.

Monica dan Adellia mulai gelisah.

“Papa, kami cuma bercanda. Biar Vinka tau sifat humoris keluarga kita,” elak Monica.

“Iya, Papa. Kita kan cuma main-main,” tambah Adellia dengan senyum palsu.

Hans menarik napas panjang. “Minta maaf. Sekarang.”

“Tak perlu, Paman. Aku tidak apa-apa,” ucap Vinka tiba-tiba.

Adellia memainkan ujung rambutnya. “Baiklah…” Ia bangkit, mendekati Vinka, lalu memeluknya.

“Kak Vinka, maafin Adell ya…”

Dalam hatinya, Adellia enggan. Tapi mereka tahu, mau tak mau, mereka harus menghormati Vinka, pewaris tunggal keluarga Panduwinata, pemilik istana besar ini.

---🥀---

Usai sarapan, Hans sibuk memeriksa lemari kakak tirinya, ditemani Monica.

“Kau sudah temukan?” tanya Monica pelan.

“Temukan apa?”

“Surat wasiat, tentu saja!” bisik Monica kesal.

“Aku nggak tahu surat itu ada di mana.”

“Lalu, kau sedang apa?”

“Hanya merapikan lemari, siapa tahu nemu buku bacaan,” jawab Hans santai.

Monica mendecak kesal, lalu meninggalkan suaminya. Di luar kamar, ia menghisap rokok dalam-dalam.

Ya, tujuan Monica cuma satu: menjadi Ratu di keluarga kaya ini. Dulu, ia pikir Hans adalah bos pabrik tempatnya bekerja, makanya ia rayu. Setelah menikah, baru ia tahu Hans hanya pegawai bawahan. Sejak itu, ia mencoba mendekati Tuan Panduwinata, tapi gagal, pria itu terlalu setia pada istrinya.

Saat mendengar Tuan Panduwinata dan istrinya tewas dibunuh, Monica tersenyum dalam hati. Kesempatannya terbuka. Sekarang hanya tinggal satu penghalang.

“Vinka…” bisiknya pelan, menghembuskan asap rokok ke udara.

---🥀---

Sementara itu, Aldo berjalan santai melewati lorong, hendak ke kamarnya. Matanya menangkap satu pintu kamar yang sedikit terbuka. Rasa penasaran menyeruak. Ia melongok masuk.

Tak ada siapa-siapa.

Dia masuk pelan, matanya menyapu seluruh ruangan.

PRANG!

Tanpa sengaja, Aldo menjatuhkan boneka porselen di rak.

“Sial,” gumamnya.

“Sarah? Apa itu kamu?” terdengar suara Vinka dari kamar mandi.

Aldo menegang. Ah, ngapain juga aku kabur? Dia kan buta, pikirnya.

“Desi?” suara Vinka lagi.

Mata Aldo melebar. Vinka keluar dari kamar mandi, hanya dibalut handuk, rambutnya setengah basah, kulit putih mulusnya terlihat jelas.

Jantung Aldo berdetak kencang. Tangan nakalnya hampir bergerak, tapi suara langkah mendekat membuatnya membatalkan niat.

Aldo menyelinap keluar, napasnya memburu. Jantungnya masih berdebar keras, bukan hanya karena apa yang baru saja dilihatnya, tetapi juga karena nyaris ketahuan.

“Gila… itu cewek… aduh…” desisnya sambil memegangi dadanya sendiri.

Ia berhenti sejenak di balik dinding lorong, mencoba menenangkan diri. Matanya masih terbayang kulit pucat Vinka, lekukan bahunya, tetesan air yang menuruni punggungnya. Senyum nakal muncul di sudut bibir Aldo. “Buta, tapi cantik juga, ya…” gumamnya.

Namun, suara langkah mendekat memaksanya buru-buru pergi. Sarah muncul dari arah berlawanan sambil membawa handuk bersih. Ia sempat curiga melihat pintu kamar Vinka yang setengah terbuka, tapi tak menemukan siapa-siapa.

Di dalam kamar, Vinka duduk di tepi ranjang. Tangannya menyusuri tongkat yang tadi diam-diam dikembalikan oleh pelayan. Wajahnya terlihat tenang, tapi sebenarnya hatinya penuh tanda tanya. Ia mencium bau parfum asing tadi, bau yang bukan milik pelayan perempuan mana pun.

“Siapa…” bisik Vinka pelan, seolah menyadari sesuatu.

Sementara itu, di lantai bawah, Monica duduk di ruang tamu sambil menyeruput kopi. Matanya melirik ke arah jam dinding. Tak lama, pelayan masuk membawa map berisi dokumen.

“Ini, Nyonya, catatan pengeluaran rumah seperti yang Anda minta,” ujar pelayan itu.

Monica tersenyum tipis. “Bagus. Kau boleh pergi.”

Begitu pelayan pergi, Monica membuka map itu cepat-cepat. Matanya menelusuri angka-angka, lalu berhenti pada satu catatan lama yang tersembunyi di antara tumpukan kertas. Bibirnya melengkung licik. “Jadi, surat wasiat itu dititipkan ke notaris, ya…”

Ia menegakkan tubuh, tatapannya tajam penuh rencana. “Baiklah, kalau begitu, permainan baru saja dimulai.”

Di sisi lain rumah, Aldo sudah kembali ke kamarnya, tetapi pikirannya tak tenang. Bayangan Vinka terus menghantui kepalanya. Untuk pertama kalinya, ia merasa tertarik pada sesuatu, atau lebih tepatnya, seseorang, di rumah besar itu. Namun, ia belum tahu, ketertarikan itu akan membawanya masuk ke dalam pusaran rahasia dan bahaya yang lebih besar.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pengantin Untuk Tuan Mafioso   Chapter 29 Malam Penuh Pengkhianatan

    Malam itu, langit dipenuhi bintang, namun hati Vinka tetap gelap gulita. Di dalam kamarnya, ia duduk di tepi ranjang, mengelus liontin kecil peninggalan ayahnya. Hatinya berdebar tanpa alasan. Ada sesuatu yang terasa janggal, meski ia tak bisa menjelaskannya. Sementara itu, di ruang tamu, Monica duduk bersama Hans. Perempuan itu melirik suaminya dari sudut mata, tersenyum tipis sambil memutar cincinnya. "Hans, kamu yakin semua ini perlu?" tanya Monica pelan. "Aku sebenarnya tidak ingin terlibat sejauh ini. Aku hanya... ingin memastikan warisan Vinka tidak jatuh ke tangan yang salah." Hans mendengus pendek. "Kau tidak perlu munafik, Monica. Kau tahu, selama ini kau hanya mengincar kekayaan Panduwinata. Aku yang berusaha memastikan keselamatan Vinka, bukan hanya harta." Monica tertawa kecil, memiringkan kepalanya. "Oh, Hans, kau terlalu serius. Aku ini istrimu, bukan musuhmu. Lagipula, James yang memulai semua kekacauan ini, bukan aku. Dia yang mendorong semua rencana gila itu."

  • Pengantin Untuk Tuan Mafioso   Chapter 28 Sebuah Pengakuan

    Senja semakin tenggelam di balik barisan pepohonan. Taman itu mulai sepi, hanya suara daun bergesekan pelan dan angin yang membawa aroma tanah lembap. Hans menatap lurus ke depan, tangan-tangannya menyatu di pangkuannya. Ia menunggu, sabar, meski pikirannya berputar penuh tanda tanya. Di sampingnya, Malvin duduk kaku, menunduk, menahan napas panjang. “Aku menunggumu, Malvin,” ucap Hans tenang, tapi nadanya jelas memberi tekanan. “Aku butuh kau jujur sekarang.” Malvin mengusap wajahnya kasar, rambut hitamnya berantakan. “Saya… saya kenal James,” suaranya serak. “Bukan cuma kenal. Dia yang menyewa saya untuk membunuh Tuan Panduwinata, istrinya dan Vinka.” Hans memejamkan mata sejenak, seperti sudah menduga. “Lalu kenapa kau tidak melakukannya?” Malvin tertawa kecil, getir. “Karena ayah saya. Karena ayah saya dulu pengawal pribadi keluarga Panduwinata… termasuk Nona Vinka.” Hans menoleh cepat. “Ayahmu…? Kau anaknya Michael?” Malvin mengangguk pelan. “Saya tidak pernah menceritakan

  • Pengantin Untuk Tuan Mafioso   Chapter 27 Luka Yang Tidak Terlihat

    “Siapa? Siapa orang yang harus dirahasiakan dariku?” bisik Vinka dalam hati, kebingungan. Begitu mendengar langkah kaki menjauh, ia akhirnya berani keluar dari ruangan itu, berniat menemui Hans. “Paman.” panggilnya pelan. Hans yang tengah sibuk menata dokumen mendongak, lalu tersenyum begitu melihat siapa yang datang. Vinka perlahan mendekat, duduk di kursi tamu di hadapannya. “Vinka? Wah, tumben sekali.” ujar Hans sambil melipat tangannya di meja. Ruangan itu masih meninggalkan jejak menyakitkan di benak Vinka. Di sinilah kedua orang tuanya terbunuh. Ia masih mengingat jelas dentuman pistol, suara teriakan ibunya dan tawa dingin si pembunuh. “Aku ingin sekali membalas dendam pada mereka." ucap Vinka tiba-tiba, suaranya getir. Hans terdiam, matanya menunduk. Ia tahu, kebencian itu tak pernah padam dalam diri keponakannya. Sarah dan Malvin pun tahu, sebanyak apa pun mereka menolong, luka di hati Vinka selalu menganga. “Kau… belum bisa menerimanya?” tanya Hans pelan. Vinka mengg

  • Pengantin Untuk Tuan Mafioso   Chapter 26 Bayangan Yang Tersembunyi

    Sarah bergegas ke kamar Vinka begitu mendengar panggilan. “Nona memanggil saya?” tanyanya, suara lembut namun penasaran. Vinka menoleh perlahan. “Sarah, kau tahu di mana Malvin tinggal?” tanyanya pelan, tapi sorot matanya menuntut jawaban. Sarah terdiam, otaknya berputar cepat mencari alasan. Ia tahu Malvin mempercayakan rahasia ini padanya, tapi ia juga tak ingin mengecewakan Vinka. “Sarah?” desak Vinka, suaranya melembut, seolah bisa merasakan kebimbangan pelayannya. Sarah menunduk, menarik napas panjang. “Nona… maafkan saya. Saya tidak bisa memberitahu. Malvin sendiri yang memintanya.” Suaranya terdengar pelan, seperti memohon pengertian dari majikannya itu. Vinka menatapnya lama. Sarah bisa melihat mata majikannya mulai berkaca-kaca, berusaha keras menahan sesuatu yang mengganjal di dadanya. “Baiklah…” ucap Vinka akhirnya, berusaha tetap tegar. Ia bangkit perlahan, berjalan menuju ranjang. “Kau boleh keluar. Aku ingin sendiri.” Sarah menggigit bibirnya, hati kecilnya menjeri

  • Pengantin Untuk Tuan Mafioso   Chapter 25 Tali Yang Renggang

    “Paman.” panggil seorang wanita pelan. Hans menoleh, senyumnya samar. “Iya, Vinka?” Vinka mendekat, duduk di samping Hans. Tatapannya penuh rindu dan keraguan. “Apa Paman… rindu pada Ayah?” Pertanyaan itu membuat dada Hans sesak. Ia menghela napas panjang, mencoba tersenyum walau getir. “Maafkan aku, Vinka. Seharusnya dulu aku tidak pergi bertugas, seharusnya aku tetap di rumah, mendampingi dia… ke mana pun langkahnya.” Vinka menunduk, meremas jemarinya sendiri. “Kalau benar semua ini rencana Paman James… apa yang harus kulakukan?” suaranya lirih, nyaris berbisik. Hans terdiam, matanya menerawang. “Apa Paman tahu siapa yang bekerja sama dengan Paman James?” tanya Vinka lagi, nada suaranya sedikit memaksa. Hans menarik napas panjang. Sebenarnya ia tahu, tapi orang itu pernah menolong Vinka, dan lidahnya terasa berat untuk mengatakannya. “Vinka, ini sudah malam. Kita bicarakan besok saja, ya? Ayo.” Hans berdiri, mengusap kepala ponakannya pelan, lalu berjalan meninggalkan gadis it

  • Pengantin Untuk Tuan Mafioso   Chapter 24 Kenangan Yang Menjerat

    Monica meletakkan satu piring besar di atas meja, senyumnya melebar penuh kemenangan. Para pelayan hanya saling melirik, membisikkan sesuatu diam-diam. Mereka penasaran, ada apa dengan nyonya mereka kali ini, Monica yang biasanya dingin kini tampak begitu senang. Tapi tentu saja, mereka bukan siapa-siapa untuk ikut menggoda atau mempertanyakan kegembiraan majikannya. “Wow, Mam, Mama masak semua ini sendiri?” tanya Adellia sambil mengedarkan pandangan ke meja makan. Monica mengangguk pelan, senyum masih terlukis di wajahnya. Adellia dan Aldo saling melirik, perasaan aneh menggelitik hati mereka. Mereka tak pernah melihat ibunya sesenang ini, bahkan ketika ayah mereka pulang dari luar kota. “Tentu saja ini untuk kemenangan Mami,” jawab Monica riang. “Kemenangan? Maksud Mama, kemenangan apa?” tanya kedua anaknya hampir bersamaan, bingung. Suara bel pintu terdengar dari ruang depan. Monica segera berdiri, langkahnya ringan, membayangkan menyambut sang suami yang baru pulang. Tapi begi

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status