Home / Romansa / Pengantin Untuk Tuan Mafioso / Chapter 2 Bahaya Dalam Sunyi

Share

Chapter 2 Bahaya Dalam Sunyi

Author: Riska Prakoso
last update Last Updated: 2021-06-13 14:01:29

Sebuah mobil hitam memasuki halaman rumah besar bergaya klasik dengan dinding putih. Rumah itu berdiri megah, tiga lantai, dengan halaman yang cukup luas.

“Wah, besar sekali,” gumam seorang remaja perempuan saat keluar dari mobil.

“Selamat datang, Tuan dan Nyonya Hans,” sambut pelayan rumah dengan sopan.

“Kalian sudah tahu kami ke sini untuk apa, kan?” suara Monica, istri Hans, terdengar dingin.

“Ya, Nyonya, saya tahu,” jawab pelayan itu pelan.

“Kalau begitu, bawakan barang-barang kami. Ayo, sayang,” Monica menarik tangan suaminya.

Mereka adalah Hans, adik tiri Tuan Panduwinata, bersama istrinya Monica. Mereka membawa kedua anak mereka: Aldo, putra sulung yang cuek, dan Adellia, putri bungsu yang penuh rencana di balik senyumnya.

Para pelayan memandang dengan tatapan tidak suka. Mereka tahu, kehadiran keluarga Hans bukan kabar baik. Dan kalian akan segera mengerti alasannya.

---🥀---

“Sarah? Siapa yang berisik itu?” suara seorang gadis terdengar pelan dari dalam kamar.

“Maaf, Nona, Tuan Hans dan keluarga akan tinggal di sini untuk menemani Anda,” jawab Sarah, pelayan pribadi gadis itu.

“Kenapa harus mereka?” Vinka menghela napas pelan.

“Tuan James dan Nyonya Victoria tidak bisa pulang karena sibuk bekerja,” kata Sarah pelan.

Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu.

Tok! Tok!

“Maaf, Nona, Tuan dan Nyonya Hans datang.”

“Berikan tongkatku,” pinta Vinka.

Sarah cepat-cepat menyerahkan tongkat pada Vinka, sementara Desi membantu menopang tubuhnya agar berdiri. Suara ujung tongkat yang menyentuh lantai menarik perhatian keluarga Hans.

“Lihat, sang putri sudah datang,” bisik Monica pada putrinya.

Adellia tersenyum masam. Dalam benaknya, sudah tersusun rencana jahat untuk wanita buta di depannya. Sementara Aldo? Ia tak peduli. Matanya tetap terpaku pada layar ponsel.

Monica menghampiri Vinka, membantunya turun dari tangga terakhir.

“Kemari, sayang,” katanya manis, meski aura panas dari tangannya terasa jelas bagi Vinka.

Vinka hanya bisa tersenyum tipis. “Mulai hari ini, kami akan menemanimu, jadi jangan merasa sendirian,” lanjut Monica.

“Iya! Aku akan jadi teman Kak Vinka!” seru Adellia sambil memeluknya.

Vinka membalas senyuman mereka. “Terima kasih, Paman… Tante…”

---🥀---

Malam itu, mereka menikmati makan malam bersama. Hanya Tuan Hans yang tidak hadir karena ada urusan mendadak di kantor.

“Apa kau mau daging itu, Kak?” tanya Adellia, pura-pura sopan.

“Adell! Yang sopan!” tegur Monica setengah hati.

“Ayolah, Ibu. Aku cuma mau dagingnya. Sayang kalau nggak dimakan,” rengek Adellia.

Vinka tersenyum tipis. “Ambillah saja. Aku sudah selesai.”

Dengan cepat, Adellia menyambar piring berisi daging.

“Ayo, Nona, saya antar ke kamar,” bisik Sarah.

“Tunggu.” Suara Monica memotong.

“Ya, Nyonya?”

“Apa baik langsung ke kamar setelah makan? Duduklah sebentar, temani kami,” katanya sambil tersenyum tipis.

Vinka menuruti, duduk kembali. Sarah akhirnya pamit untuk menyiapkan kamar.

Begitu pelayan lain juga pergi, Monica memberi isyarat pada putrinya.

“Ambil tongkatnya,” bisik Monica.

Adellia menahan tawa, cepat-cepat mengambil tongkat Vinka dan pergi, meninggalkan gadis itu sendirian di ruangan yang kini mereka matikan lampunya.

Vinka tetap duduk tenang. Meski tak bisa melihat, ia tahu dirinya sedang dipermainkan.

---🥀---

Larut malam, Hans pulang ke rumah kakak tirinya. Supirnya menurunkan dia di depan pintu.

“Selamat malam, Pak,” sapa satpam.

“Malam,” jawab Hans singkat.

Pelayan membukakan pintu untuknya. “Selamat malam, Tuan.”

“Malam. Yang lain sudah tidur?”

“Sudah, Tuan.”

“Baik, kunci semua pintu. Bergantianlah berjaga.”

“Siap, Tuan.”

Hans melangkah menuju kamarnya, tapi berhenti saat melihat sosok duduk di ruang makan yang gelap.

“Siapa di sana?” tanyanya.

Ia menyalakan lampu.

Klek!

“Vinka? Sedang apa kau di sini sendiri?” suaranya terdengar heran.

Vinka menoleh, meski matanya tampak kosong, tak mengarah ke mana pun.

---🥀---

Keesokan paginya, Hans duduk di ruang makan, melipat tangan di dada. Tatapannya menusuk istri dan kedua anaknya.

“Satu kali lagi aku tanya, siapa yang lakukan?” suaranya datar namun tegas.

Monica dan Adellia mulai gelisah.

“Papa, kami cuma bercanda. Biar Vinka tau sifat humoris keluarga kita,” elak Monica.

“Iya, Papa. Kita kan cuma main-main,” tambah Adellia dengan senyum palsu.

Hans menarik napas panjang. “Minta maaf. Sekarang.”

“Tak perlu, Paman. Aku tidak apa-apa,” ucap Vinka tiba-tiba.

Adellia memainkan ujung rambutnya. “Baiklah…” Ia bangkit, mendekati Vinka, lalu memeluknya.

“Kak Vinka, maafin Adell ya…”

Dalam hatinya, Adellia enggan. Tapi mereka tahu, mau tak mau, mereka harus menghormati Vinka, pewaris tunggal keluarga Panduwinata, pemilik istana besar ini.

---🥀---

Usai sarapan, Hans sibuk memeriksa lemari kakak tirinya, ditemani Monica.

“Kau sudah temukan?” tanya Monica pelan.

“Temukan apa?”

“Surat wasiat, tentu saja!” bisik Monica kesal.

“Aku nggak tahu surat itu ada di mana.”

“Lalu, kau sedang apa?”

“Hanya merapikan lemari, siapa tahu nemu buku bacaan,” jawab Hans santai.

Monica mendecak kesal, lalu meninggalkan suaminya. Di luar kamar, ia menghisap rokok dalam-dalam.

Ya, tujuan Monica cuma satu: menjadi Ratu di keluarga kaya ini. Dulu, ia pikir Hans adalah bos pabrik tempatnya bekerja, makanya ia rayu. Setelah menikah, baru ia tahu Hans hanya pegawai bawahan. Sejak itu, ia mencoba mendekati Tuan Panduwinata, tapi gagal, pria itu terlalu setia pada istrinya.

Saat mendengar Tuan Panduwinata dan istrinya tewas dibunuh, Monica tersenyum dalam hati. Kesempatannya terbuka. Sekarang hanya tinggal satu penghalang.

“Vinka…” bisiknya pelan, menghembuskan asap rokok ke udara.

---🥀---

Sementara itu, Aldo berjalan santai melewati lorong, hendak ke kamarnya. Matanya menangkap satu pintu kamar yang sedikit terbuka. Rasa penasaran menyeruak. Ia melongok masuk.

Tak ada siapa-siapa.

Dia masuk pelan, matanya menyapu seluruh ruangan.

PRANG!

Tanpa sengaja, Aldo menjatuhkan boneka porselen di rak.

“Sial,” gumamnya.

“Sarah? Apa itu kamu?” terdengar suara Vinka dari kamar mandi.

Aldo menegang. Ah, ngapain juga aku kabur? Dia kan buta, pikirnya.

“Desi?” suara Vinka lagi.

Mata Aldo melebar. Vinka keluar dari kamar mandi, hanya dibalut handuk, rambutnya setengah basah, kulit putih mulusnya terlihat jelas.

Jantung Aldo berdetak kencang. Tangan nakalnya hampir bergerak, tapi suara langkah mendekat membuatnya membatalkan niat.

Aldo menyelinap keluar, napasnya memburu. Jantungnya masih berdebar keras, bukan hanya karena apa yang baru saja dilihatnya, tetapi juga karena nyaris ketahuan.

“Gila… itu cewek… aduh…” desisnya sambil memegangi dadanya sendiri.

Ia berhenti sejenak di balik dinding lorong, mencoba menenangkan diri. Matanya masih terbayang kulit pucat Vinka, lekukan bahunya, tetesan air yang menuruni punggungnya. Senyum nakal muncul di sudut bibir Aldo. “Buta, tapi cantik juga, ya…” gumamnya.

Namun, suara langkah mendekat memaksanya buru-buru pergi. Sarah muncul dari arah berlawanan sambil membawa handuk bersih. Ia sempat curiga melihat pintu kamar Vinka yang setengah terbuka, tapi tak menemukan siapa-siapa.

Di dalam kamar, Vinka duduk di tepi ranjang. Tangannya menyusuri tongkat yang tadi diam-diam dikembalikan oleh pelayan. Wajahnya terlihat tenang, tapi sebenarnya hatinya penuh tanda tanya. Ia mencium bau parfum asing tadi, bau yang bukan milik pelayan perempuan mana pun.

“Siapa…” bisik Vinka pelan, seolah menyadari sesuatu.

Sementara itu, di lantai bawah, Monica duduk di ruang tamu sambil menyeruput kopi. Matanya melirik ke arah jam dinding. Tak lama, pelayan masuk membawa map berisi dokumen.

“Ini, Nyonya, catatan pengeluaran rumah seperti yang Anda minta,” ujar pelayan itu.

Monica tersenyum tipis. “Bagus. Kau boleh pergi.”

Begitu pelayan pergi, Monica membuka map itu cepat-cepat. Matanya menelusuri angka-angka, lalu berhenti pada satu catatan lama yang tersembunyi di antara tumpukan kertas. Bibirnya melengkung licik. “Jadi, surat wasiat itu dititipkan ke notaris, ya…”

Ia menegakkan tubuh, tatapannya tajam penuh rencana. “Baiklah, kalau begitu, permainan baru saja dimulai.”

Di sisi lain rumah, Aldo sudah kembali ke kamarnya, tetapi pikirannya tak tenang. Bayangan Vinka terus menghantui kepalanya. Untuk pertama kalinya, ia merasa tertarik pada sesuatu, atau lebih tepatnya, seseorang, di rumah besar itu. Namun, ia belum tahu, ketertarikan itu akan membawanya masuk ke dalam pusaran rahasia dan bahaya yang lebih besar.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Pengantin Untuk Tuan Mafioso   Chapter 3 Pekerjaan dan Janji

    Malvin duduk di meja kerjanya, memandang tumpukan uang yang baru saja dihitungnya. Sebagai seorang mafia, pekerjaan apapun bisa ia jalankan, baik yang baik maupun yang buruk. Bahkan, ia tidak ragu untuk menghapus nyawa seseorang jika diperlukan. Meskipun wajahnya sudah dikenali oleh banyak polisi, mereka tidak memiliki kuasa untuk menangkapnya, kecuali jika Malvin sendiri yang menyerahkan diri. Tok! Tok! "Masuk," perintah Malvin dengan suara datar, masih fokus pada uang di hadapannya. Kevin, anak buahnya yang masuk, tampak ragu. Malvin menatapnya, menunggu untuk mendengarkan apa yang ingin disampaikan. "Ada apa, Kevin?" "Tuan, bolehkah saya izin keluar markas?" tanya Kevin, suaranya terdengar penuh kehati-hatian. "Kenapa kau masih bertanya padaku? Pergilah." jawab Malvin, tidak terlalu mempedulikan hal itu. Namun, Kevin tetap berdiri, matanya tertuju pada tumpukan uang yang sedang dihitung Malvin. Malvin mendongak, menatapnya. "Berapa yang kau butuhkan?" Kevin terkeju

    Last Updated : 2021-06-13
  • Pengantin Untuk Tuan Mafioso   Chapter 4 Bayang-Bayang Sang Penjaga

    Zico memandang Malvin dengan mata terbelalak, jantungnya berdegup begitu kencang hingga nyaris terasa di tenggorokan. Perlahan, pria dewasa itu mengeluarkan pistol dari saku celananya. Dengan tenang, Malvin mengisi senjata itu dengan tiga peluru, membiarkan satu slot kosong. Keringat dingin mulai membasahi kening Zico. Napasnya tersengal, sementara Malvin meletakkan pistol di meja di hadapannya. "Jika kau benar-benar ingin menjadi anak buahku, lakukan sesuatu yang bisa membuatku tertarik padamu," ucap Malvin, senyum licik mulai merekah di bibirnya. Zico menunduk, kedua tangan gemetar. Namun ia mengangguk pelan. "Baiklah." Dengan hati-hati, Zico mengambil pistol itu. Ia mengarahkannya ke tangan kirinya, jari kanannya bersiap menarik pelatuk. Malvin dapat mendengar detak jantung remaja itu, musik yang indah di telinganya. Tatapan Malvin melekat pada wajah ketakutan di hadapannya. Zico menelan ludah keras-keras. Tek! Tubuhnya tersentak, napas tercekat di tenggorokan. Zico mendongak

    Last Updated : 2021-06-13
  • Pengantin Untuk Tuan Mafioso   Chapter 5 Dalam Cengkraman

    “Mungkin saja, saat kau mandi, dan pelayan setiamu tidak menemani, ada mata-mata jahat yang mengintai tubuhmu,” ucap Malvin perlahan, suaranya seakan menembus dinding kesopanan, membuat Aldo, putra Paman Hans, berkeringat dingin. Tanpa berkata apa-apa, Aldo memilih mundur pelan dari ruang tengah itu. Vinka mematung, matanya melebar tak percaya. Ucapan Malvin barusan seperti cambuk di tengah sunyi. Seluruh keluarga Hans, termasuk Adellia dan Nyonya Monica, ikut terdiam. Wajah mereka memucat, tak percaya ada yang berani berbicara seberani itu di dalam rumah mereka. “Bagaimana kau tahu hal seperti itu akan terjadi?!” bentak Vinka, kesal, suaranya bergetar di ujung kalimat. “Itu bukan sesuatu yang akan terjadi,” jawab Malvin dingin. “Itu sudah terjadi.” Ia menoleh santai pada Hans. “Jika keponakanmu tetap menolak keberadaanku di sini, lebih baik aku pergi.” “Tunggu!” Hans mengangkat tangannya, menatap Vinka dengan tatapan tegas. “Baiklah. Kau bisa mulai bekerja hari ini. Sarah, tunjukk

    Last Updated : 2021-06-13
  • Pengantin Untuk Tuan Mafioso   Chapter 6 Tanggung Jawab dan Rahasia

    "Tidak mungkin," ucap Sarah tak percaya, setelah selesai membaca isi surat itu. Malvin menggeleng pelan. "Kita tidak tahu rencana Tuhan seperti apa." Ia mengambil kertas itu dari tangan Sarah, melipatnya rapi, dan memasukkannya ke dalam saku jasnya. Sarah menatapnya lekat-lekat. "Sejak kapan?" tanya Sarah penasaran. "Aku tidak tahu pasti. Pria itu datang memohon kepada ayahku untuk menjaga Vinka. Saat itu aku masih belajar menjadi seorang mafia." ---🥀--- Beberapa tahun silam, Tuan Panduwinata turun dari mobil, menggendong putrinya yang baru berusia lima tahun. Istrinya menyusul, berusaha menghindari kubangan di jalanan becek. "Permisi, apakah Anda tahu alamat ini?" tanya Tuan Panduwinata kepada seorang warga yang sedang sibuk mengelas kayu. Pria itu melirik kertas yang disodorkan. "Jalan lurus saja. Kalau kau lihat ada satu rumah berdiri sendiri, ya itu dia. Siapa yang mau kau bunuh?" tanyanya, setengah bercanda. Mendengar itu, Tuan Panduwinata cepat-cepat menutup kedua

    Last Updated : 2021-06-14
  • Pengantin Untuk Tuan Mafioso   Chapter 7 Bisik Pengkhianatan

    Malvin berusaha memejamkan matanya, tapi malam terasa begitu panjang, dan matanya justru semakin lebar. Dengan gerakan kasar, ia menarik kaosnya dan melemparkan ke lantai. "Sial!" desisnya, menggertakkan gigi sambil meremas bantal, lalu melemparkannya ke dinding. Ia duduk di pinggir ranjang, memijit pelipisnya pelan. "Baiklah." gumamnya lirih. Malvin bangkit perlahan, mengenakan kembali kaosnya, lalu melangkah menuju pintu. Tangannya memutar gagang pintu perlahan, agar tidak menimbulkan suara berderit yang bisa membangunkan siapa pun di rumah besar itu. Lorong panjang di depannya remang, hanya diterangi lampu dinding yang temaram. Langkahnya pelan, nyaris tanpa suara. Hatinya berdebar aneh ketika ia sampai di depan kamar Vinka. Namun, alisnya langsung mengerut. Kenapa pintu kamar itu terbuka? Dengan langkah perlahan, ia mendekati pintu. Sudut bibirnya terangkat membentuk senyum miring yang khas. "Menarik." bisiknya dalam hati. ---🥀--- Pagi hari, matahari merambat naik perlahan d

    Last Updated : 2021-06-14
  • Pengantin Untuk Tuan Mafioso   Chapter 8 Sisi Gelap

    Monica tidak dapat mempercayai kenyataan bahwa pria di depannya, Malvin, sudah mengetahui rencana busuk yang telah disusunnya. Senyuman yang terukir di wajah Malvin itu begitu khas, namun Monica tidak bisa memahami makna di balik senyumannya. Apakah itu senyuman penuh kemenangan, ataukah senyuman yang meremehkan? Tak ada yang bisa membedakan keduanya. “Apa maumu, Malvin?” tanya Monica dengan nada penuh amarah. Malvin memandang Desi yang berdiri di samping Monica, matanya tertunduk dalam ketakutan. “Percuma saja jika saya mengatakan bahwa andalah pelakunya, karena suami Anda pasti akan memihak kepada Andaujar Malvin, dengan nada yang tenang, meskipun perkataannya tajam dan penuh makna. “Apa katamu? Hans sudah tahu?” tanya Monica dengan nada tak percaya, matanya membelalak kaget. “Kalau kau tidak percaya, tanyakan saja padanya. Lagipula, tugas kita di sini sama,” Malvin menjelaskan sambil meletakkan sebuah foto Vinka di atas meja. “Siapa yang menyuruhmu?” tanya Monica dengan suara

    Last Updated : 2021-06-14
  • Pengantin Untuk Tuan Mafioso   Chapter 9 Keputusan

    "Apa kau masih ragu?" tanya Bram, menatap Malvin dengan tajam. Mata Malvin membalas tatapan Bram, penuh keraguan. "Saya sudah membawa stempel racun yang Anda minta," jawab Malvin, suaranya bergetar. Bram mengamati Malvin dengan cermat. "Kau tidak apa-apa, Malvin? Sepertinya kau bimbang memilih jalan mana yang akan kau ambil." Malvin mengangguk pelan, mengusap keningnya yang berkeringat. "Setidaknya, kau harus menggunakan kekuatanmu sendiri," ujar Bram, memecah keheningan. Malvin mengikuti langkah Bram, memasuki ruang laboratorium pribadi pria paruh baya tersebut. Tidak ada yang mencolok di laboratorium itu, hanya berbagai alat dan bahan yang akan diuji coba oleh Bram. Hidup Bram sepenuhnya terikat pada Rumah Sakit ini. Sejak kepergian istri tercinta, Bram lebih sering berada di sini daripada bersama keluarganya, yang terus mendesaknya untuk mencari pendamping hidup baru. Namun, bagi Bram, cinta yang telah ia kenal, akan tetap abadi. "Ini racun Belladona," ujar Bram, menunjukkan

    Last Updated : 2021-06-15
  • Pengantin Untuk Tuan Mafioso   Chapter 10 Garis Batas

    "Daniel, boleh aku bicara denganmu sebentar?" tanya Sarah sedikit malu-malu. Malvin mengerti aura ini. Ia hanya bisa tersenyum. ---🥀--- "Aku tidak setuju jika kau bersama dengan Daniel." ucap Malvin pada Sarah. Sarah hanya diam, melihat Malvin tidak percaya. "Berikan aku alasannya?" tanya Sarah. "Lupakan saja dia." lanjut Malvin, meninggalkan kamar Vinka, meninggalkan Sarah. Sarah terdiam. Ia lanjut memandikan Vinka yang masih tertidur. Sebenarnya, ia sudah tahu alasannya, namun ia tidak mau mencari masalah pada Malvin. Matanya mulai berkaca-kaca, dan akhirnya tidak terbendung lagi, tepat mengenai lengan Vinka. Dengan cepat, ia mengelap air matanya tersebut. ---🥀-- Sarah mendekati Malvin yang sedang menikmati rokoknya. "Aku dan Daniel sebenarnya sudah saling mengenal lama." ucap Sarah. Mendengar itu, Malvin mematikan rokoknya dan menghela napas panjang. "Tidak ada jodoh untuk seorang mafia." ucap Malvin, melihat Sarah lekat-lekat, membuat Sarah sedikit takut. "Kenapa kau t

    Last Updated : 2021-06-22

Latest chapter

  • Pengantin Untuk Tuan Mafioso   Chapter 29 Malam Penuh Pengkhianatan

    Malam itu, langit dipenuhi bintang, namun hati Vinka tetap gelap gulita. Di dalam kamarnya, ia duduk di tepi ranjang, mengelus liontin kecil peninggalan ayahnya. Hatinya berdebar tanpa alasan. Ada sesuatu yang terasa janggal, meski ia tak bisa menjelaskannya. Sementara itu, di ruang tamu, Monica duduk bersama Hans. Perempuan itu melirik suaminya dari sudut mata, tersenyum tipis sambil memutar cincinnya. "Hans, kamu yakin semua ini perlu?" tanya Monica pelan. "Aku sebenarnya tidak ingin terlibat sejauh ini. Aku hanya... ingin memastikan warisan Vinka tidak jatuh ke tangan yang salah." Hans mendengus pendek. "Kau tidak perlu munafik, Monica. Kau tahu, selama ini kau hanya mengincar kekayaan Panduwinata. Aku yang berusaha memastikan keselamatan Vinka, bukan hanya harta." Monica tertawa kecil, memiringkan kepalanya. "Oh, Hans, kau terlalu serius. Aku ini istrimu, bukan musuhmu. Lagipula, James yang memulai semua kekacauan ini, bukan aku. Dia yang mendorong semua rencana gila itu."

  • Pengantin Untuk Tuan Mafioso   Chapter 28 Sebuah Pengakuan

    Senja semakin tenggelam di balik barisan pepohonan. Taman itu mulai sepi, hanya suara daun bergesekan pelan dan angin yang membawa aroma tanah lembap. Hans menatap lurus ke depan, tangan-tangannya menyatu di pangkuannya. Ia menunggu, sabar, meski pikirannya berputar penuh tanda tanya. Di sampingnya, Malvin duduk kaku, menunduk, menahan napas panjang. “Aku menunggumu, Malvin,” ucap Hans tenang, tapi nadanya jelas memberi tekanan. “Aku butuh kau jujur sekarang.” Malvin mengusap wajahnya kasar, rambut hitamnya berantakan. “Saya… saya kenal James,” suaranya serak. “Bukan cuma kenal. Dia yang menyewa saya untuk membunuh Tuan Panduwinata, istrinya dan Vinka.” Hans memejamkan mata sejenak, seperti sudah menduga. “Lalu kenapa kau tidak melakukannya?” Malvin tertawa kecil, getir. “Karena ayah saya. Karena ayah saya dulu pengawal pribadi keluarga Panduwinata… termasuk Nona Vinka.” Hans menoleh cepat. “Ayahmu…? Kau anaknya Michael?” Malvin mengangguk pelan. “Saya tidak pernah menceritakan

  • Pengantin Untuk Tuan Mafioso   Chapter 27 Luka Yang Tidak Terlihat

    “Siapa? Siapa orang yang harus dirahasiakan dariku?” bisik Vinka dalam hati, kebingungan. Begitu mendengar langkah kaki menjauh, ia akhirnya berani keluar dari ruangan itu, berniat menemui Hans. “Paman.” panggilnya pelan. Hans yang tengah sibuk menata dokumen mendongak, lalu tersenyum begitu melihat siapa yang datang. Vinka perlahan mendekat, duduk di kursi tamu di hadapannya. “Vinka? Wah, tumben sekali.” ujar Hans sambil melipat tangannya di meja. Ruangan itu masih meninggalkan jejak menyakitkan di benak Vinka. Di sinilah kedua orang tuanya terbunuh. Ia masih mengingat jelas dentuman pistol, suara teriakan ibunya dan tawa dingin si pembunuh. “Aku ingin sekali membalas dendam pada mereka." ucap Vinka tiba-tiba, suaranya getir. Hans terdiam, matanya menunduk. Ia tahu, kebencian itu tak pernah padam dalam diri keponakannya. Sarah dan Malvin pun tahu, sebanyak apa pun mereka menolong, luka di hati Vinka selalu menganga. “Kau… belum bisa menerimanya?” tanya Hans pelan. Vinka mengg

  • Pengantin Untuk Tuan Mafioso   Chapter 26 Bayangan Yang Tersembunyi

    Sarah bergegas ke kamar Vinka begitu mendengar panggilan. “Nona memanggil saya?” tanyanya, suara lembut namun penasaran. Vinka menoleh perlahan. “Sarah, kau tahu di mana Malvin tinggal?” tanyanya pelan, tapi sorot matanya menuntut jawaban. Sarah terdiam, otaknya berputar cepat mencari alasan. Ia tahu Malvin mempercayakan rahasia ini padanya, tapi ia juga tak ingin mengecewakan Vinka. “Sarah?” desak Vinka, suaranya melembut, seolah bisa merasakan kebimbangan pelayannya. Sarah menunduk, menarik napas panjang. “Nona… maafkan saya. Saya tidak bisa memberitahu. Malvin sendiri yang memintanya.” Suaranya terdengar pelan, seperti memohon pengertian dari majikannya itu. Vinka menatapnya lama. Sarah bisa melihat mata majikannya mulai berkaca-kaca, berusaha keras menahan sesuatu yang mengganjal di dadanya. “Baiklah…” ucap Vinka akhirnya, berusaha tetap tegar. Ia bangkit perlahan, berjalan menuju ranjang. “Kau boleh keluar. Aku ingin sendiri.” Sarah menggigit bibirnya, hati kecilnya menjeri

  • Pengantin Untuk Tuan Mafioso   Chapter 25 Tali Yang Renggang

    “Paman.” panggil seorang wanita pelan. Hans menoleh, senyumnya samar. “Iya, Vinka?” Vinka mendekat, duduk di samping Hans. Tatapannya penuh rindu dan keraguan. “Apa Paman… rindu pada Ayah?” Pertanyaan itu membuat dada Hans sesak. Ia menghela napas panjang, mencoba tersenyum walau getir. “Maafkan aku, Vinka. Seharusnya dulu aku tidak pergi bertugas, seharusnya aku tetap di rumah, mendampingi dia… ke mana pun langkahnya.” Vinka menunduk, meremas jemarinya sendiri. “Kalau benar semua ini rencana Paman James… apa yang harus kulakukan?” suaranya lirih, nyaris berbisik. Hans terdiam, matanya menerawang. “Apa Paman tahu siapa yang bekerja sama dengan Paman James?” tanya Vinka lagi, nada suaranya sedikit memaksa. Hans menarik napas panjang. Sebenarnya ia tahu, tapi orang itu pernah menolong Vinka, dan lidahnya terasa berat untuk mengatakannya. “Vinka, ini sudah malam. Kita bicarakan besok saja, ya? Ayo.” Hans berdiri, mengusap kepala ponakannya pelan, lalu berjalan meninggalkan gadis it

  • Pengantin Untuk Tuan Mafioso   Chapter 24 Kenangan Yang Menjerat

    Monica meletakkan satu piring besar di atas meja, senyumnya melebar penuh kemenangan. Para pelayan hanya saling melirik, membisikkan sesuatu diam-diam. Mereka penasaran, ada apa dengan nyonya mereka kali ini, Monica yang biasanya dingin kini tampak begitu senang. Tapi tentu saja, mereka bukan siapa-siapa untuk ikut menggoda atau mempertanyakan kegembiraan majikannya. “Wow, Mam, Mama masak semua ini sendiri?” tanya Adellia sambil mengedarkan pandangan ke meja makan. Monica mengangguk pelan, senyum masih terlukis di wajahnya. Adellia dan Aldo saling melirik, perasaan aneh menggelitik hati mereka. Mereka tak pernah melihat ibunya sesenang ini, bahkan ketika ayah mereka pulang dari luar kota. “Tentu saja ini untuk kemenangan Mami,” jawab Monica riang. “Kemenangan? Maksud Mama, kemenangan apa?” tanya kedua anaknya hampir bersamaan, bingung. Suara bel pintu terdengar dari ruang depan. Monica segera berdiri, langkahnya ringan, membayangkan menyambut sang suami yang baru pulang. Tapi begi

  • Pengantin Untuk Tuan Mafioso   Chapter 23 Pelarian

    Jessie berusaha melepas ikatan di kaki dan tangannya dengan serpihan kaca kecil yang ia selipkan diam-diam di saku gaun. Sejak awal ia sudah berhati-hati agar tak melukai diri sendiri, tapi kenyataannya tak semudah itu, jari tengahnya tergores saat mencoba menarik keluar serpihan itu. Ia bahkan merasakan perih di pinggang, tempat ia menyembunyikannya tadi. “Sial.” gumam Jessie pelan sambil meringis. Meski begitu, ia tetap gigih memotong tali tambang yang mengikat pergelangan tangannya, meski setiap gerakan kecil membuat lehernya pegal. “Aduh… kenapa sih mereka tega begini? Semakin menarik saja, mafia-mafia ini.” Jessie bergumam sendirian, mencoba menjaga pikirannya tetap sibuk agar tidak panik menghadapi situasi gawat ini. Tiba-tiba terdengar suara gaduh dari arah pintu. Jessie reflek berhenti, buru-buru berpura-pura seperti tahanan yang patuh. “Ah, sialan…” sumpahnya dalam hati. Pintu terbuka kasar. Seorang pria bertubuh besar mendorong seorang wanita masuk. Jessie menatap wanita

  • Pengantin Untuk Tuan Mafioso   Chapter 22 Jeratan Malam

    Jessie melangkah anggun di antara para tamu pesta. Dengan tubuh ramping dan gaun yang memeluk lekuknya, ia tampak seperti Nyonya besar sejati. Tak heran jika hampir semua mata pria tertuju padanya malam itu. Tak jauh, Hans mendekati Malvin dengan senyum menyeringai. “Drama wanita itu… luar biasa, ya,” bisiknya. Malvin membalas dengan senyum tipis. “Dia mirip Monica, bukan?” ucapnya, sengaja membalikkan keadaan. Hans sejenak tersipu, lalu memilih menjauh dengan langkah kecil, pura-pura tidak terusik. Dengan gerakan kecil, Malvin memencet tombol kecil di jasnya. Jessie dan Hans melakukan hal yang sama, alat komunikasi mungil mereka tersambung. Tak lama, Malvin menghampiri seorang wanita elegan di tepi ruangan. Ia menyunggingkan senyuman ramah. “Sudah sering datang ke acara seperti ini?” suaranya hangat, penuh ketenangan. Wanita itu, yang memegang gelas anggur, tersenyum menggoda. “Sudah sepuluh tahun. Ini dunia kecil saya.” Malvin mengangguk pelan. “Saya baru pertama kali. Ada sa

  • Pengantin Untuk Tuan Mafioso   Chapter 21 Jejak di Pelabuhan

    “Berapa banyak topeng yang kau pakai, hah!?” bentak Sarah, suaranya bergetar menahan marah. “Sarah!!” seru Malvin, suaranya memecah ketegangan di ruangan itu. Semua orang langsung terdiam. Kevin segera memberi isyarat pada Jessie dan Zico untuk meninggalkan ruangan, dan keduanya patuh tanpa banyak tanya. “Tuan Hans tidak tahu apa-apa…” suara Malvin melembut. “Awalnya Vinka bersamaku. Tapi seseorang menculiknya. Aku minta maaf padamu.” Sarah menatap tajam. “Dan sekarang dia di mana?” “Aku sedang berusaha mencarinya. Jadi, bisakah kau diam sejenak? Kita perlu menyusun rencana. Mohon, mengertilah…” Dengan helaan napas berat, Sarah melangkah ke kursi dan duduk perlahan. “Baiklah. Itu urusanmu. Aku hanya ingin Vinka selamat, itu saja.” “Sarah…” Daniel hendak bicara, tapi Malvin mengangkat tangan menghentikannya. Tanpa berkata apa-apa, Malvin menuju ruangannya. Dia melihat Zico berdiri di dekat pintu. “Zico.” panggilnya pelan. Anak muda itu langsung paham maksudnya dan segera memang

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status