Malvin berusaha memejamkan matanya, tapi malam terasa begitu panjang, dan matanya justru semakin lebar. Dengan gerakan kasar, ia menarik kaosnya dan melemparkan ke lantai.
"Sial!" desisnya, menggertakkan gigi sambil meremas bantal, lalu melemparkannya ke dinding. Ia duduk di pinggir ranjang, memijit pelipisnya pelan. "Baiklah." gumamnya lirih. Malvin bangkit perlahan, mengenakan kembali kaosnya, lalu melangkah menuju pintu. Tangannya memutar gagang pintu perlahan, agar tidak menimbulkan suara berderit yang bisa membangunkan siapa pun di rumah besar itu. Lorong panjang di depannya remang, hanya diterangi lampu dinding yang temaram. Langkahnya pelan, nyaris tanpa suara. Hatinya berdebar aneh ketika ia sampai di depan kamar Vinka. Namun, alisnya langsung mengerut. Kenapa pintu kamar itu terbuka? Dengan langkah perlahan, ia mendekati pintu. Sudut bibirnya terangkat membentuk senyum miring yang khas. "Menarik." bisiknya dalam hati. ---🥀--- Pagi hari, matahari merambat naik perlahan dari ufuk Timur, mewarnai langit dengan semburat jingga keemasan. Di dapur, pelayan-pelayan wanita sibuk memotong, mengaduk, dan mengatur bahan makanan. Seorang koki pria paruh baya berdiri mengawasi, sesekali mengomel atau memberi instruksi. Malvin berdiri santai di salah satu sudut, bersandar pada meja, memperhatikan tanpa niat membantu sedikit pun. Dengan lancang, ia mencicipi masakan yang sedang dipersiapkan, satu per satu, tanpa merasa bersalah. "Tuan Malvin, tolong jaga sikap Anda!" tegur seorang pelayan wanita, menepuk tangannya agak keras. Malvin melirik, mengenali pelayan itu. Senyumnya kembali muncul, membuat pipi si pelayan memerah salah tingkah. "Desi, tolong rapikan meja ini!" suara koki terdengar dari ujung ruangan. "Ya, Pak!" Desi buru-buru menjauh, sementara Malvin menjilat sisa saus di jarinya dengan ekspresi puas. ---🥀--- Para peramu saji sibuk menyiapkan hidangan untuk keluarga besar Hans dan Vinka. Lima belas menit kemudian, keluarga itu mulai turun satu per satu dari tangga besar. Para pelayan dengan cekatan menarik kursi untuk mereka. "Di mana Vinka?" tanya Hans, keningnya berkerut. Suara langkah kaki terdengar tergesa. Pandangan semua orang tertuju pada Sarah, yang muncul dengan napas terengah-engah. "Tuan Hans, Nona Vinka..." katanya dengan wajah panik. Hans langsung berlari menuju kamar ponakannya, tanpa sempat mendengar kelanjutannya. Tangan besarnya menyentuh kening Vinka yang terbaring lemah di ranjang. Suhu tubuhnya panas membara. "Cepat panggil dokter!" teriak Hans dengan suara penuh kecemasan. Malvin berdiri di ambang pintu, menatap Vinka dengan tatapan tajam. Wajah wanita itu memerah seperti kepiting rebus. Para pelayan sibuk mondar-mandir, mencoba menyiapkan sesuatu untuk menurunkan demam Nona mereka. "Desi, ambilkan obatnya," perintah Monica dengan suara tegas. "Ya, Nyonya." Desi segera bergegas keluar. Mata Malvin mengikuti gerakan Desi, matanya menyipit penuh perhatian. Diam-diam, ia mengikuti langkah Desi, berhenti sesekali ketika Desi merasa seperti diikuti. Ketika Desi menoleh, Malvin dengan cekatan bersembunyi di balik salah satu pilar besar. Akhirnya Desi masuk ke sebuah ruangan penyimpanan obat. Malvin menyusul, rasa penasarannya memuncak. Begitu masuk, matanya terpana melihat rak-rak berisi botol obat yang tersusun rapi. PRANG! "Sial," gumamnya ketika sikunya tanpa sengaja menjatuhkan salah satu botol. "Siapa itu?!" seru Desi panik. Malvin melompat keluar ruangan dengan cepat, bersikap seolah tak terjadi apa-apa. Ketika ia bertemu Sarah di lorong, wanita itu memandangnya heran. "Malvin, dari mana saja kau?" "Aku ke kamar mandi. Ada apa?" tanyanya santai. "Aku kasihan pada Nona Vinka... siapa yang tega membuatnya sakit begini?" Malvin tersenyum tipis. "Tentu saja orang dalam," katanya sambil berbalik meninggalkan Sarah, yang berdiri bengong. "Orang dalam...?" gumam Sarah, bingung. ---🥀--- Dokter memeriksa Vinka dengan serius, stetoskop di dadanya. Setelah selesai, ia keluar dari kamar, bertemu Hans yang menunggunya. "Bagaimana, Dokter?" "Nona Vinka hanya keracunan makanan. Berikan obat ini, dia akan membaik," jawab dokter, matanya melirik Malvin yang berdiri di dekat tangga. "Dokter, biar saya antar sampai depan." Malvin menawarkan diri. Di luar, Malvin berjalan mendampingi dokter itu. "Kau dapat tugas di sini?" tanya dokter perlahan. "Ya. Ada dua tugas yang harus kujalani." jawab Malvin dengan senyum tipis. "Dan mana yang akan kau pilih?" tanya dokter lagi. Malvin berhenti melangkah. "Aku ingin tahu... apa yang sebenarnya terjadi padanya?" "Seseorang meracuninya. Itu sebabnya kebutaannya belum bisa disembuhkan. Bawa padaku bukti racunnya, aku akan coba buatkan penawarnya." kata dokter sebelum naik ke mobil. Malvin mengepalkan tangan. Ia berjalan cepat kembali ke dalam. "Sarah, di mana Desi?" "Dia pamit ke kamar Nona Vinka." "Sialan!" "Kenapa?!" Sarah mengejar Malvin yang berlari menuju kamar Vinka. Dengan sekali hentak, Malvin mendobrak pintu kamar. Matanya melebar melihat Desi berdiri di samping ranjang, hendak memasukkan sesuatu ke mulut Vinka. "HENTIKAN!!" teriak Malvin marah. Desi terlonjak kaget, sendok di tangannya jatuh ke lantai. Seluruh keluarga Hans, termasuk para pelayan, berlari mendekat karena mendengar keributan. Malvin mencengkeram tangan Desi keras, membuatnya meringis. "Malvin, apa yang kau lakukan?!" tanya Hans. "Katakan! Obat apa yang kau berikan pada Nona Vinka? Katakan!!" bentak Malvin. Desi mulai menangis, bahunya bergetar. "Maafkan saya... ini bukan kemauan saya... tapi saya butuh uangnya..." "Siapa yang menyuruhmu?" tanya Hans dengan suara dalam. Desi mengarahkan pandangannya perlahan... ke arah Sarah. HAH! Bisik-bisik pelayan terdengar memenuhi ruangan. "Kurang ajar! Kau menuduhku?!" Sarah meraung marah, berusaha menjambak rambut Desi. "Tuan Hans, saya tidak bersalah! Saya bersumpah! Tidak! Lepaskan!! Tuan, saya tidak bersalah!" jerit Sarah ketika dua penjaga memegangi lengannya. "Desi, aku tak bisa mempekerjakanmu lagi. Pulanglah ke desa." ucap Hans dengan wajah tegas. Desi memohon, memeluk kaki Hans, menangis memelas. Tapi Hans hanya menggeleng. "Kalau aku terus mempekerjakanmu, entah apa yang akan terjadi selanjutnya." gumamnya, melirik Malvin. ---🥀--- "Apa Anda sudah tahu siapa dalangnya?" tanya Malvin pada Hans di ruang kerja. "Apa maksudmu?" balas Hans, meletakkan pulpennya, memandang Malvin tajam. "Saya tahu Anda berpura-pura, Tuan Hans. Anda melindungi seseorang, bukan?" Hans menopang dagunya dengan kedua tangan, mata tajamnya menembus Malvin. "Bagaimana denganmu? Kau bukan seorang pembunuh, Malvin?" Malvin mengepalkan tangan, rahangnya mengeras, menahan amarah. "Saya heran padamu. Tugas mana yang kau jalankan? Melindungi Nona Vinka... atau membunuhnya?" tanya Hans tiba-tiba. Malvin menelan ludah. "Saya akan melindunginya. Karena sudah banyak yang ingin membunuhnya." Hans menyunggingkan senyum tipis saat Malvin membalikkan badan dan pergi. "Pria yang luar biasa..." gumam Hans pelan. ---🥀--- "Nyonya, saya mohon... jangan usir saya... saya tidak tahu harus ke mana..." tangis Desi memohon. Monica melempar tas dan pakaian Desi ke tanah. "Pergi! Menjalankan tugas mudah saja tak becus!" Tepuk tangan terdengar pelan. Monica memutar badan, wajahnya pucat begitu melihat siapa yang bertepuk tangan itu. "Hebat, Nyonya. Kau sungguh hebat," ucap orang itu, dengan nada yang membuat bulu kuduk berdiri.Monica tidak dapat mempercayai kenyataan bahwa pria di depannya, Malvin, sudah mengetahui rencana busuk yang telah disusunnya. Senyuman yang terukir di wajah Malvin itu begitu khas, namun Monica tidak bisa memahami makna di balik senyumannya. Apakah itu senyuman penuh kemenangan, ataukah senyuman yang meremehkan? Tak ada yang bisa membedakan keduanya. “Apa maumu, Malvin?” tanya Monica dengan nada penuh amarah. Malvin memandang Desi yang berdiri di samping Monica, matanya tertunduk dalam ketakutan. “Percuma saja jika saya mengatakan bahwa andalah pelakunya, karena suami Anda pasti akan memihak kepada Andaujar Malvin, dengan nada yang tenang, meskipun perkataannya tajam dan penuh makna. “Apa katamu? Hans sudah tahu?” tanya Monica dengan nada tak percaya, matanya membelalak kaget. “Kalau kau tidak percaya, tanyakan saja padanya. Lagipula, tugas kita di sini sama,” Malvin menjelaskan sambil meletakkan sebuah foto Vinka di atas meja. “Siapa yang menyuruhmu?” tanya Monica dengan suara
"Apa kau masih ragu?" tanya Bram, menatap Malvin dengan tajam. Mata Malvin membalas tatapan Bram, penuh keraguan. "Saya sudah membawa stempel racun yang Anda minta," jawab Malvin, suaranya bergetar. Bram mengamati Malvin dengan cermat. "Kau tidak apa-apa, Malvin? Sepertinya kau bimbang memilih jalan mana yang akan kau ambil." Malvin mengangguk pelan, mengusap keningnya yang berkeringat. "Setidaknya, kau harus menggunakan kekuatanmu sendiri," ujar Bram, memecah keheningan. Malvin mengikuti langkah Bram, memasuki ruang laboratorium pribadi pria paruh baya tersebut. Tidak ada yang mencolok di laboratorium itu, hanya berbagai alat dan bahan yang akan diuji coba oleh Bram. Hidup Bram sepenuhnya terikat pada Rumah Sakit ini. Sejak kepergian istri tercinta, Bram lebih sering berada di sini daripada bersama keluarganya, yang terus mendesaknya untuk mencari pendamping hidup baru. Namun, bagi Bram, cinta yang telah ia kenal, akan tetap abadi. "Ini racun Belladona," ujar Bram, menunjukkan
"Daniel, boleh aku bicara denganmu sebentar?" tanya Sarah sedikit malu-malu. Malvin mengerti aura ini. Ia hanya bisa tersenyum. ---🥀--- "Aku tidak setuju jika kau bersama dengan Daniel." ucap Malvin pada Sarah. Sarah hanya diam, melihat Malvin tidak percaya. "Berikan aku alasannya?" tanya Sarah. "Lupakan saja dia." lanjut Malvin, meninggalkan kamar Vinka, meninggalkan Sarah. Sarah terdiam. Ia lanjut memandikan Vinka yang masih tertidur. Sebenarnya, ia sudah tahu alasannya, namun ia tidak mau mencari masalah pada Malvin. Matanya mulai berkaca-kaca, dan akhirnya tidak terbendung lagi, tepat mengenai lengan Vinka. Dengan cepat, ia mengelap air matanya tersebut. ---🥀-- Sarah mendekati Malvin yang sedang menikmati rokoknya. "Aku dan Daniel sebenarnya sudah saling mengenal lama." ucap Sarah. Mendengar itu, Malvin mematikan rokoknya dan menghela napas panjang. "Tidak ada jodoh untuk seorang mafia." ucap Malvin, melihat Sarah lekat-lekat, membuat Sarah sedikit takut. "Kenapa kau t
“Bagaimana kalau besok kita berwisata?” tanya seorang wanita dengan nada ringan, senyum tipis terukir di wajahnya. Adellia dan Monica spontan menoleh, mata mereka membesar, tidak percaya dengan apa yang mereka lihat. Wanita itu... tersenyum. Sejenak ruangan dipenuhi keheningan yang pekat. Ada rasa panik berdesir di dalam dada mereka, tapi tak satu pun berani menunjukkannya. “Vinka? Kau sudah sadar?” suara Monica terdengar pelan, hampir seperti bisikan, seakan takut kalau suara keras akan membuat kenyataan itu menghilang. “Iya, Tante,” jawab Vinka sambil tersenyum manis, matanya menoleh sebentar ke arah Sarah. “Ini semua berkat Sarah yang selalu menjagaku... dan Malvin yang sudah mencarikan obat penawarnya.” Monica menarik napas pelan, menyembunyikan senyum masam di wajahnya. Mendengar nama-nama itu membuat pikirannya langsung bekerja. Mereka jelas bukan orang-orang di pihaknya, tapi sekarang ia punya ide. Ide busuk yang berbisik di telinganya: bagaimana menyingkirkan pewaris kelua
Selesai melayani Vinka, Sarah membawanya ke meja makan. “Selamat pagi, Vinka,” sapa Monica dengan senyum tipis. Tiba-tiba bulu kuduk Sarah meremang. Ada apa dengan nenek lampir ini? Tidak biasanya dia menyapa… bisiknya pelan ke telinga Vinka. Vinka hanya tersenyum geli lalu mencubit pinggang Sarah pelan. “Maaf, Nona,” ucap Sarah sambil menarikkan kursi untuknya. “Terima kasih, Sarah,” balas Vinka lembut. “Selamat pagi, Tante,” sapa Vinka sambil memberikan senyum manisnya. Senyuman itu malah membuat Monica semakin muak. Dasar anak munafik, pikirnya sinis. “Sarah, kau boleh sarapan. Nanti kau kan ikut menemani Nona Vinka, bukan?” tanya Monica datar. “Ya, Sarah, pergilah sarapan. Kalian semua juga,” tambah Vinka sambil menoleh pada para pelayan. “Terima kasih, Nona!” sahut para pelayan serempak, penuh semangat. Mereka berjalan menuju dapur. Sarah ikut melangkah, meski hatinya terasa berat meninggalkan Vinka bersama Monica. ---🥀--- Di dapur, suasana riuh. “Wah, nggak biasanya
Pintu terbanting keras, menggema di seluruh ruangan villa yang tak jauh lebih besar dari rumah keluarga Panduwinata. Mata mereka menyapu sekeliling, menelusuri setiap sudut dengan waspada. "Astaga, Vinka!!" teriak seseorang, berlari mendekat lalu memeluk Vinka dengan penuh kerinduan. Monica tertegun. Dia mengenali wanita itu—Victoria, adik kandung Tuan Panduwinata. Tidak disangka dia ada di villa ini. "Halo Monica, lama tidak bertemu! Ya ampun, ini si kembar, ya? Mereka tumbuh cepat sekali. Bagaimana sekolah kalian?" sapanya hangat, membuat kedua remaja yang berdiri di belakang Monica mulai terlihat bosan. "Kau sendiri di sini?" tanya Monica, mencoba mengalihkan perhatian. Victoria tersenyum samar. "Tidak, aku bersama James, tapi dia ada urusan mendadak di kantor. Huh, dingin sekali di sini. Ayo masuk, cepat!" Mereka pun mengikuti Victoria masuk ke dalam. "Sial," gumam seseorang di luar villa. ---🥀--- "Dingin sekali di sini... seandainya Sarah ada di dekatku..." bisik Daniel
"PEMBUNUH!!" "Malvin!" teriak Daniel, suaranya memecah lamunan Malvin yang kosong menatap tanah. "Kau tidak apa-apa?" Daniel menepuk pelan bahu temannya. Malvin mengusap wajahnya, memijat pelipis yang terasa berdenyut. "Aku tak apa-apa. Lebih baik kau dirikan tenda untuk istirahat, Dan." "Baiklah." Daniel membuka bagasi mobil, menarik kantung besar berisi peralatan camping. "Malvin, bisa kau bantu aku di sini?!" serunya, sedikit kesal. Malvin tak menjawab. Matanya sayu, pikirannya melayang jauh. Daniel menghela napas, lalu mulai merakit tenda sendirian sambil mengomel pelan. Perlahan, potongan kenangan muncul di benak Malvin, membawa dirinya ke momen saat menerima perjanjian dari Tuan Panduwinata. "Tuan, ada tamu untuk Anda," kata seorang wanita, membuka pintu ruang kerja Malvin tanpa menunggu persetujuan. Seorang pria paruh baya masuk, jasnya rapi, sepatu pantofelnya mengeluarkan suara ketukan tegas saat melangkah. Di tangan kanannya, sebuah koper persegi hitam. "Selamat sian
Daniel menguap lebar, mengusap mata dengan malas. Malvin melirik kesal. "Maaf," gumam Daniel. "Kalau kau menguap selebar itu, hati-hati, lalat bisa masuk," sindir Malvin tajam. Tiba-tiba, terdengar suara jeritan dari kejauhan. "Itu... Vinka!" seru Malvin. "Suara perempuan buta itu, kan?" tanya Daniel panik. Tanpa pikir panjang, Malvin langsung berlari menuju sumber suara. "Malvin! Tunggu aku!" teriak Daniel, berusaha mengejar. Sayangnya, jalan berbatu membuat Daniel kesulitan. Nafasnya mulai terengah. "Astaga... anak itu makan apa sih, larinya cepat sekali?" gerutunya sambil duduk di atas batu besar, mencoba menarik napas. "Sudahlah... aku istirahat sebentar dulu..." ---🥀--- Beberapa saat sebelumnya, di tepi sungai Victoria memapah Vinka dengan hati-hati, membantu gadis buta itu melangkah di jalanan berbatu menuju tepian sungai. "Sepertinya sungainya sedang meluap," gumam Victoria sambil melirik ke arah arus yang semakin deras. "Kita jadi tidak jalan-jalan?" tanya Vinka p
Malam itu, langit dipenuhi bintang, namun hati Vinka tetap gelap gulita. Di dalam kamarnya, ia duduk di tepi ranjang, mengelus liontin kecil peninggalan ayahnya. Hatinya berdebar tanpa alasan. Ada sesuatu yang terasa janggal, meski ia tak bisa menjelaskannya. Sementara itu, di ruang tamu, Monica duduk bersama Hans. Perempuan itu melirik suaminya dari sudut mata, tersenyum tipis sambil memutar cincinnya. "Hans, kamu yakin semua ini perlu?" tanya Monica pelan. "Aku sebenarnya tidak ingin terlibat sejauh ini. Aku hanya... ingin memastikan warisan Vinka tidak jatuh ke tangan yang salah." Hans mendengus pendek. "Kau tidak perlu munafik, Monica. Kau tahu, selama ini kau hanya mengincar kekayaan Panduwinata. Aku yang berusaha memastikan keselamatan Vinka, bukan hanya harta." Monica tertawa kecil, memiringkan kepalanya. "Oh, Hans, kau terlalu serius. Aku ini istrimu, bukan musuhmu. Lagipula, James yang memulai semua kekacauan ini, bukan aku. Dia yang mendorong semua rencana gila itu."
Senja semakin tenggelam di balik barisan pepohonan. Taman itu mulai sepi, hanya suara daun bergesekan pelan dan angin yang membawa aroma tanah lembap. Hans menatap lurus ke depan, tangan-tangannya menyatu di pangkuannya. Ia menunggu, sabar, meski pikirannya berputar penuh tanda tanya. Di sampingnya, Malvin duduk kaku, menunduk, menahan napas panjang. “Aku menunggumu, Malvin,” ucap Hans tenang, tapi nadanya jelas memberi tekanan. “Aku butuh kau jujur sekarang.” Malvin mengusap wajahnya kasar, rambut hitamnya berantakan. “Saya… saya kenal James,” suaranya serak. “Bukan cuma kenal. Dia yang menyewa saya untuk membunuh Tuan Panduwinata, istrinya dan Vinka.” Hans memejamkan mata sejenak, seperti sudah menduga. “Lalu kenapa kau tidak melakukannya?” Malvin tertawa kecil, getir. “Karena ayah saya. Karena ayah saya dulu pengawal pribadi keluarga Panduwinata… termasuk Nona Vinka.” Hans menoleh cepat. “Ayahmu…? Kau anaknya Michael?” Malvin mengangguk pelan. “Saya tidak pernah menceritakan
“Siapa? Siapa orang yang harus dirahasiakan dariku?” bisik Vinka dalam hati, kebingungan. Begitu mendengar langkah kaki menjauh, ia akhirnya berani keluar dari ruangan itu, berniat menemui Hans. “Paman.” panggilnya pelan. Hans yang tengah sibuk menata dokumen mendongak, lalu tersenyum begitu melihat siapa yang datang. Vinka perlahan mendekat, duduk di kursi tamu di hadapannya. “Vinka? Wah, tumben sekali.” ujar Hans sambil melipat tangannya di meja. Ruangan itu masih meninggalkan jejak menyakitkan di benak Vinka. Di sinilah kedua orang tuanya terbunuh. Ia masih mengingat jelas dentuman pistol, suara teriakan ibunya dan tawa dingin si pembunuh. “Aku ingin sekali membalas dendam pada mereka." ucap Vinka tiba-tiba, suaranya getir. Hans terdiam, matanya menunduk. Ia tahu, kebencian itu tak pernah padam dalam diri keponakannya. Sarah dan Malvin pun tahu, sebanyak apa pun mereka menolong, luka di hati Vinka selalu menganga. “Kau… belum bisa menerimanya?” tanya Hans pelan. Vinka mengg
Sarah bergegas ke kamar Vinka begitu mendengar panggilan. “Nona memanggil saya?” tanyanya, suara lembut namun penasaran. Vinka menoleh perlahan. “Sarah, kau tahu di mana Malvin tinggal?” tanyanya pelan, tapi sorot matanya menuntut jawaban. Sarah terdiam, otaknya berputar cepat mencari alasan. Ia tahu Malvin mempercayakan rahasia ini padanya, tapi ia juga tak ingin mengecewakan Vinka. “Sarah?” desak Vinka, suaranya melembut, seolah bisa merasakan kebimbangan pelayannya. Sarah menunduk, menarik napas panjang. “Nona… maafkan saya. Saya tidak bisa memberitahu. Malvin sendiri yang memintanya.” Suaranya terdengar pelan, seperti memohon pengertian dari majikannya itu. Vinka menatapnya lama. Sarah bisa melihat mata majikannya mulai berkaca-kaca, berusaha keras menahan sesuatu yang mengganjal di dadanya. “Baiklah…” ucap Vinka akhirnya, berusaha tetap tegar. Ia bangkit perlahan, berjalan menuju ranjang. “Kau boleh keluar. Aku ingin sendiri.” Sarah menggigit bibirnya, hati kecilnya menjeri
“Paman.” panggil seorang wanita pelan. Hans menoleh, senyumnya samar. “Iya, Vinka?” Vinka mendekat, duduk di samping Hans. Tatapannya penuh rindu dan keraguan. “Apa Paman… rindu pada Ayah?” Pertanyaan itu membuat dada Hans sesak. Ia menghela napas panjang, mencoba tersenyum walau getir. “Maafkan aku, Vinka. Seharusnya dulu aku tidak pergi bertugas, seharusnya aku tetap di rumah, mendampingi dia… ke mana pun langkahnya.” Vinka menunduk, meremas jemarinya sendiri. “Kalau benar semua ini rencana Paman James… apa yang harus kulakukan?” suaranya lirih, nyaris berbisik. Hans terdiam, matanya menerawang. “Apa Paman tahu siapa yang bekerja sama dengan Paman James?” tanya Vinka lagi, nada suaranya sedikit memaksa. Hans menarik napas panjang. Sebenarnya ia tahu, tapi orang itu pernah menolong Vinka, dan lidahnya terasa berat untuk mengatakannya. “Vinka, ini sudah malam. Kita bicarakan besok saja, ya? Ayo.” Hans berdiri, mengusap kepala ponakannya pelan, lalu berjalan meninggalkan gadis it
Monica meletakkan satu piring besar di atas meja, senyumnya melebar penuh kemenangan. Para pelayan hanya saling melirik, membisikkan sesuatu diam-diam. Mereka penasaran, ada apa dengan nyonya mereka kali ini, Monica yang biasanya dingin kini tampak begitu senang. Tapi tentu saja, mereka bukan siapa-siapa untuk ikut menggoda atau mempertanyakan kegembiraan majikannya. “Wow, Mam, Mama masak semua ini sendiri?” tanya Adellia sambil mengedarkan pandangan ke meja makan. Monica mengangguk pelan, senyum masih terlukis di wajahnya. Adellia dan Aldo saling melirik, perasaan aneh menggelitik hati mereka. Mereka tak pernah melihat ibunya sesenang ini, bahkan ketika ayah mereka pulang dari luar kota. “Tentu saja ini untuk kemenangan Mami,” jawab Monica riang. “Kemenangan? Maksud Mama, kemenangan apa?” tanya kedua anaknya hampir bersamaan, bingung. Suara bel pintu terdengar dari ruang depan. Monica segera berdiri, langkahnya ringan, membayangkan menyambut sang suami yang baru pulang. Tapi begi
Jessie berusaha melepas ikatan di kaki dan tangannya dengan serpihan kaca kecil yang ia selipkan diam-diam di saku gaun. Sejak awal ia sudah berhati-hati agar tak melukai diri sendiri, tapi kenyataannya tak semudah itu, jari tengahnya tergores saat mencoba menarik keluar serpihan itu. Ia bahkan merasakan perih di pinggang, tempat ia menyembunyikannya tadi. “Sial.” gumam Jessie pelan sambil meringis. Meski begitu, ia tetap gigih memotong tali tambang yang mengikat pergelangan tangannya, meski setiap gerakan kecil membuat lehernya pegal. “Aduh… kenapa sih mereka tega begini? Semakin menarik saja, mafia-mafia ini.” Jessie bergumam sendirian, mencoba menjaga pikirannya tetap sibuk agar tidak panik menghadapi situasi gawat ini. Tiba-tiba terdengar suara gaduh dari arah pintu. Jessie reflek berhenti, buru-buru berpura-pura seperti tahanan yang patuh. “Ah, sialan…” sumpahnya dalam hati. Pintu terbuka kasar. Seorang pria bertubuh besar mendorong seorang wanita masuk. Jessie menatap wanita
Jessie melangkah anggun di antara para tamu pesta. Dengan tubuh ramping dan gaun yang memeluk lekuknya, ia tampak seperti Nyonya besar sejati. Tak heran jika hampir semua mata pria tertuju padanya malam itu. Tak jauh, Hans mendekati Malvin dengan senyum menyeringai. “Drama wanita itu… luar biasa, ya,” bisiknya. Malvin membalas dengan senyum tipis. “Dia mirip Monica, bukan?” ucapnya, sengaja membalikkan keadaan. Hans sejenak tersipu, lalu memilih menjauh dengan langkah kecil, pura-pura tidak terusik. Dengan gerakan kecil, Malvin memencet tombol kecil di jasnya. Jessie dan Hans melakukan hal yang sama, alat komunikasi mungil mereka tersambung. Tak lama, Malvin menghampiri seorang wanita elegan di tepi ruangan. Ia menyunggingkan senyuman ramah. “Sudah sering datang ke acara seperti ini?” suaranya hangat, penuh ketenangan. Wanita itu, yang memegang gelas anggur, tersenyum menggoda. “Sudah sepuluh tahun. Ini dunia kecil saya.” Malvin mengangguk pelan. “Saya baru pertama kali. Ada sa
“Berapa banyak topeng yang kau pakai, hah!?” bentak Sarah, suaranya bergetar menahan marah. “Sarah!!” seru Malvin, suaranya memecah ketegangan di ruangan itu. Semua orang langsung terdiam. Kevin segera memberi isyarat pada Jessie dan Zico untuk meninggalkan ruangan, dan keduanya patuh tanpa banyak tanya. “Tuan Hans tidak tahu apa-apa…” suara Malvin melembut. “Awalnya Vinka bersamaku. Tapi seseorang menculiknya. Aku minta maaf padamu.” Sarah menatap tajam. “Dan sekarang dia di mana?” “Aku sedang berusaha mencarinya. Jadi, bisakah kau diam sejenak? Kita perlu menyusun rencana. Mohon, mengertilah…” Dengan helaan napas berat, Sarah melangkah ke kursi dan duduk perlahan. “Baiklah. Itu urusanmu. Aku hanya ingin Vinka selamat, itu saja.” “Sarah…” Daniel hendak bicara, tapi Malvin mengangkat tangan menghentikannya. Tanpa berkata apa-apa, Malvin menuju ruangannya. Dia melihat Zico berdiri di dekat pintu. “Zico.” panggilnya pelan. Anak muda itu langsung paham maksudnya dan segera memang