"Tidak mungkin," ucap Sarah tak percaya, setelah selesai membaca isi surat itu.
Malvin menggeleng pelan. "Kita tidak tahu rencana Tuhan seperti apa." Ia mengambil kertas itu dari tangan Sarah, melipatnya rapi, dan memasukkannya ke dalam saku jasnya. Sarah menatapnya lekat-lekat. "Sejak kapan?" tanya Sarah penasaran. "Aku tidak tahu pasti. Pria itu datang memohon kepada ayahku untuk menjaga Vinka. Saat itu aku masih belajar menjadi seorang mafia." ---🥀--- Beberapa tahun silam, Tuan Panduwinata turun dari mobil, menggendong putrinya yang baru berusia lima tahun. Istrinya menyusul, berusaha menghindari kubangan di jalanan becek. "Permisi, apakah Anda tahu alamat ini?" tanya Tuan Panduwinata kepada seorang warga yang sedang sibuk mengelas kayu. Pria itu melirik kertas yang disodorkan. "Jalan lurus saja. Kalau kau lihat ada satu rumah berdiri sendiri, ya itu dia. Siapa yang mau kau bunuh?" tanyanya, setengah bercanda. Mendengar itu, Tuan Panduwinata cepat-cepat menutup kedua telinga putrinya. "Terima kasih," ucapnya, membungkuk sopan sebelum melanjutkan perjalanan, istrinya mengikuti di belakang. Di rumah yang dituju, koper penuh uang diletakkan di atas meja. Seorang pria berotot besar meski usianya sudah kepala lima duduk di seberang Michael, ayah Malvin, seorang mafia berpengaruh. Michael memperhatikan gadis kecil yang kini asyik bermain bersama putranya. "Mungkin putraku yang akan melanjutkan pekerjaan ini, jadi tenang saja," kata Michael. "Berapa usia putramu?" tanya Tuan Panduwinata. "Sepuluh tahun. Mungkin saat anakmu tumbuh menjadi wanita cantik, putraku sudah seperti bapak-bapak," ucap Michael sambil terkekeh, membayangkan pertemuan mereka di masa depan. Tiba-tiba, tangisan pecah. "Huwaaa!" Mereka semua terkejut. "Malvin, apa yang kau lakukan?" tegur ibunda Malvin. "Dia bodoh, masa nggak tahu letak puzzlenya!" Malvin menunjuk Vinka yang menangis. "Malvin, jangan kasar pada wanita," tegur Michael. "Tuan Panduwinata, maafkan putra saya," tambah istri Michael. Namun Tuan Panduwinata dan istrinya hanya tersenyum. Sang istri mengelus kepala Vinka. "Tidak apa-apa, sejak lahir, putri kami memang tidak bisa melihat." "Malvin, ayo minta maaf pada Vinka," perintah Michael. ---🥀--- "Maafkan saya," ucap Malvin tiba-tiba, membuat seluruh keluarga Hans melirik bingung. "Malvin, kau tidak apa-apa?" tanya Tuan Hans. Malvin tersenyum tipis. "Tidak, hanya merasa saya tidak pantas menjadi penjaga Nona Vinka. Saya takut dia akan naik darah setiap saat." "Kalau begitu, jadi penjaga aku saja," potong Adellia cepat-cepat. "Adell," tegur Tuan Hans, menatap putrinya. Adellia memonyongkan bibir. "Ide bagus. Kalau Nona Vinka tidak mau menerima saya, lebih baik saya menjaga Nona Adellia saja," ucap Malvin, melirik sekilas ke arah Vinka. Vinka tidak bergeming, tetap fokus menyantap sarapan paginya. "Jadi, Ayah, bagaimana?" tanya Adellia. "Kau tetap menjaga Vinka," tegas Tuan Hans, membuat Adellia cemberut kecewa. "Baiklah, Tuan." Malvin memberi hormat. ---🥀--- Selesai sarapan, Tuan Hans bersiap berangkat ke kantor. Monica merapikan dasinya sebelum sang suami mencium keningnya. "Hati-hati di jalan," ucap Monica lembut. Hans pun masuk ke mobil. Malvin menyaksikan pemandangan itu sambil menggigit apel, separuh menggoda. "Apa yang kau lihat?" tanya Monica tajam. Malvin tersenyum tipis. "Aku iri dengan kemesraan Nyonya." Monica merapikan rambut di balik telinganya. "Apa Anda bahagia?" tanya Malvin tiba-tiba, membuat Monica menatapnya dengan mata menyala marah. Malvin hanya tersenyum lagi, lalu berjalan pergi meninggalkan Monica yang mengepal tangan menahan kesal. ---🥀--- "Kak Vinka, boleh aku minta tolong?" tanya Aldo, anak kedua Tuan Hans. Vinka menutup buku bacaannya—tentu saja buku braille khusus. "Apa yang harus aku bantu?" "Aku penasaran dengan buku yang kakak baca. Mau ajarin aku cara membacanya?" Vinka tersenyum lembut. "Baiklah, duduklah. Biar aku ajarkan." Aldo duduk di sampingnya. Dari kejauhan, Malvin mengunyah apel sambil mengamati. Namun, bukannya belajar, Aldo justru sibuk memotret belahan dada Vinka yang sedikit terlihat. "Bocah sialan," gumam Malvin kesal. Ia pun mendekat. "Hai, Aldo!" teriaknya. Aldo terkejut, buru-buru menyembunyikan ponselnya. "Selamat pagi, Nona Vinka," sapa Malvin ramah. "Mau apa kau?" tanya Vinka, tak senang. Malvin tersenyum tipis, lalu menatap Aldo yang pucat. "Aku ada perlu dengan Aldo." Tanpa banyak bicara, ia menarik kerah baju Aldo, menyeretnya ke sudut sepi. "Berikan," desis Malvin. "Be… berikan apa?" Aldo pura-pura polos. Malvin mendekat, menatap tajam. "Berikan foto dada tante-mu itu." Dengan tangan gemetar, Aldo mengeluarkan ponselnya. Tak sabar, Malvin langsung merampasnya. "Aku pinjam dulu." Malvin mengacak-acak rambut Aldo dengan kasar, lalu pergi. ---🥀--- Malvin memeriksa ponsel itu. Ternyata bukan hanya Vinka yang menjadi sasaran, bahkan seluruh pelayan wanita di rumah. Ia memijat kening, pening. "Malvin." Ia menoleh. Vinka berdiri diam seperti patung, wajahnya menghadap entah ke mana. "Ya?" balas Malvin, bangkit dari kursi. Vinka melangkah pelan mendekatinya. "Terima kasih," ucapnya lirih. Malvin menatap wanita itu, lalu tertawa kecil, meledek. "Aku serius," kata Vinka. "Tunggu… jadi kau tahu Aldo melakukan hal itu? Kenapa kau tidak membela diri?" tanya Malvin heran. Vinka hanya diam. Air mata menetes, membasahi pipi pucatnya. "Apa kau melihat semua?" bisik Vinka. Malvin menelan ludah. "Maafkan aku," katanya pelan. --- Suara jangkrik memecah keheningan malam. Musim semi mulai tiba, dan Vinka bisa mencium aromanya. Ia duduk di balkon, memeluk lutut, memejamkan mata, menikmati bau angin musim semi. Dalam gelap penglihatannya, ia melihat sosok pria tinggi bersetelan tuxedo, tersenyum. Meski tak bisa melihat jelas wajahnya, senyuman itu selalu terpatri di ingatan. "Nona?" panggil seseorang. Vinka terkejut, membuka mata. "Minumlah obatmu dulu." Vinka menerima obat itu dan menelannya tanpa protes. "Terima kasih, Desi." "Saya permisi." "Ya." Desi berjalan keluar kamar. Vinka beranjak perlahan, menutup pintu balkon agar angin malam tak masuk. Ia menarik selimut, berbaring, dan selesai berdoa, mencoba memejamkan mata di atas kasur empuknya. ---🥀--- Vinka berjalan sambil menundukkan kepala, menelusuri trotoar dengan langkah gontai. Malvin mengikuti di belakangnya, menjaga jarak tetapi tetap waspada. Setiap kali ada suara langkah asing, dia refleks menoleh ke sekeliling. Mereka sudah terbiasa seperti ini, berjalan berdua, seolah tak terlihat oleh dunia. "Aku cuma mau beli teh tarik itu, Vin," bisik Vinka, suaranya hampir lenyap ditelan keramaian. Malvin mengangguk pelan meski tahu sebenarnya Vinka hanya ingin mengalihkan pikirannya dari mimpi-mimpi aneh yang belakangan terus menghantuinya. Mereka duduk di bangku taman yang agak tersembunyi, membawa dua gelas minuman panas. Udara malam cukup menusuk, dan uap dari gelas mengepul tipis. Vinka memeluk lututnya, menghangatkan tangan di sekitar gelas. "Tadi… aku mimpi lagi," katanya pelan, nyaris seperti berbicara pada dirinya sendiri. Malvin menoleh, alisnya berkerut. "Mimpi yang sama?" Vinka mengangguk pelan. "Pria itu… dia memanggil namaku. Tapi suaranya nggak jelas. Aku cuma ingat dia punya mata yang… aneh. Bukan menyeramkan, tapi seperti… mengiris masuk ke dalam pikiranku." Malvin menarik napas panjang. Sudah beberapa kali dia mendengar cerita ini. Sebagai penjaga, dia tahu tugasnya adalah memastikan Vinka aman, tetapi dia mulai merasa gagal. Bukan karena dia tidak becus melindungi dari ancaman luar, tetapi karena ada sesuatu yang jauh lebih dalam, yang tidak bisa dia jangkau. "Mungkin Nona cuma lelah." katanya akhirnya, mencoba terdengar masuk akal. "Otakmu main-main sama Nona." Vinka menggeleng. "Aku tahu bedanya mimpi biasa dan… ini. Rasanya nyata, Vin. Aku bahkan bisa cium bau tanah basahnya. Bisa rasain sentuhan anginnya. Siapa dia? Kenapa aku selalu merasa seperti kehilangan sesuatu setiap kali bangun?" Malvin menggenggam gelasnya erat-erat. Sisi dirinya sebagai penjaga berbisik untuk menjaga jarak, tetap profesional, tidak larut emosi. Tapi sisi manusianya, sisi yang sudah terlalu lama bersama Vinka, merasa hancur melihat gadis itu seperti ini. "Kalau aku bisa narik dia keluar dari mimpi itu, aku bakal lakukan, Kin," gumamnya nyaris tak terdengar. Vinka tersenyum kecil, pahit. "Aku tahu. Kamu selalu ada. Tapi kadang aku merasa… itu nggak cukup." Ucapan itu menampar Malvin lebih keras dari pukulan mana pun. Dia mendongak, menatap langit yang kelam. Kalau saja dia bisa bicara terus terang, memberitahu siapa dirinya sebenarnya. Kalau saja dia bisa memperingatkan Vinka bahwa mimpi-mimpinya mungkin bukan sekadar bunga tidur, tapi pertanda dari takdir yang lebih besar. "Besok aku harus pergi ke perpustakaan kota," kata Vinka tiba-tiba. "Ada satu buku yang mau aku cari. Tentang simbol-simbol kuno. Aku rasa… aku pernah lihat salah satunya di mimpiku." "Kamu mau aku ikut?" tanya Malvin, langsung siaga. "Nggak usah. Aku butuh waktu sendiri." Vinka menatapnya, matanya lembut. "Tapi nanti malam… bisakah kamu tetap di dekatku? Jaga aku waktu tidur?" Malvin mengangguk tanpa ragu. "Tentu. Aku selalu ada." Mereka duduk dalam diam cukup lama. Angin malam makin dingin, dan taman makin sepi. Malvin memandang Vinka yang termenung, bertanya-tanya berapa lama lagi dia bisa bertahan sebagai penjaga diam-diam, tanpa mengungkap siapa dia sesungguhnya. Berapa lama lagi sebelum rahasia itu membebani mereka berdua? Saat mereka akhirnya berdiri untuk pulang, Malvin sempat melirik bayangan mereka di trotoar. Dia tahu betul: bayangannya tak pernah muncul di cermin. Tapi di sisi Vinka, dia selalu nyata. Dan malam ini, untuk kesekian kalinya, dia berjanji dalam hati: tak peduli siapa pria dari mimpi-mimpi itu, Malvin akan menjadi tembok pertama dan terakhir yang melindungi Vinka.Malam itu, langit dipenuhi bintang, namun hati Vinka tetap gelap gulita. Di dalam kamarnya, ia duduk di tepi ranjang, mengelus liontin kecil peninggalan ayahnya. Hatinya berdebar tanpa alasan. Ada sesuatu yang terasa janggal, meski ia tak bisa menjelaskannya. Sementara itu, di ruang tamu, Monica duduk bersama Hans. Perempuan itu melirik suaminya dari sudut mata, tersenyum tipis sambil memutar cincinnya. "Hans, kamu yakin semua ini perlu?" tanya Monica pelan. "Aku sebenarnya tidak ingin terlibat sejauh ini. Aku hanya... ingin memastikan warisan Vinka tidak jatuh ke tangan yang salah." Hans mendengus pendek. "Kau tidak perlu munafik, Monica. Kau tahu, selama ini kau hanya mengincar kekayaan Panduwinata. Aku yang berusaha memastikan keselamatan Vinka, bukan hanya harta." Monica tertawa kecil, memiringkan kepalanya. "Oh, Hans, kau terlalu serius. Aku ini istrimu, bukan musuhmu. Lagipula, James yang memulai semua kekacauan ini, bukan aku. Dia yang mendorong semua rencana gila itu."
Senja semakin tenggelam di balik barisan pepohonan. Taman itu mulai sepi, hanya suara daun bergesekan pelan dan angin yang membawa aroma tanah lembap. Hans menatap lurus ke depan, tangan-tangannya menyatu di pangkuannya. Ia menunggu, sabar, meski pikirannya berputar penuh tanda tanya. Di sampingnya, Malvin duduk kaku, menunduk, menahan napas panjang. “Aku menunggumu, Malvin,” ucap Hans tenang, tapi nadanya jelas memberi tekanan. “Aku butuh kau jujur sekarang.” Malvin mengusap wajahnya kasar, rambut hitamnya berantakan. “Saya… saya kenal James,” suaranya serak. “Bukan cuma kenal. Dia yang menyewa saya untuk membunuh Tuan Panduwinata, istrinya dan Vinka.” Hans memejamkan mata sejenak, seperti sudah menduga. “Lalu kenapa kau tidak melakukannya?” Malvin tertawa kecil, getir. “Karena ayah saya. Karena ayah saya dulu pengawal pribadi keluarga Panduwinata… termasuk Nona Vinka.” Hans menoleh cepat. “Ayahmu…? Kau anaknya Michael?” Malvin mengangguk pelan. “Saya tidak pernah menceritakan
“Siapa? Siapa orang yang harus dirahasiakan dariku?” bisik Vinka dalam hati, kebingungan. Begitu mendengar langkah kaki menjauh, ia akhirnya berani keluar dari ruangan itu, berniat menemui Hans. “Paman.” panggilnya pelan. Hans yang tengah sibuk menata dokumen mendongak, lalu tersenyum begitu melihat siapa yang datang. Vinka perlahan mendekat, duduk di kursi tamu di hadapannya. “Vinka? Wah, tumben sekali.” ujar Hans sambil melipat tangannya di meja. Ruangan itu masih meninggalkan jejak menyakitkan di benak Vinka. Di sinilah kedua orang tuanya terbunuh. Ia masih mengingat jelas dentuman pistol, suara teriakan ibunya dan tawa dingin si pembunuh. “Aku ingin sekali membalas dendam pada mereka." ucap Vinka tiba-tiba, suaranya getir. Hans terdiam, matanya menunduk. Ia tahu, kebencian itu tak pernah padam dalam diri keponakannya. Sarah dan Malvin pun tahu, sebanyak apa pun mereka menolong, luka di hati Vinka selalu menganga. “Kau… belum bisa menerimanya?” tanya Hans pelan. Vinka mengg
Sarah bergegas ke kamar Vinka begitu mendengar panggilan. “Nona memanggil saya?” tanyanya, suara lembut namun penasaran. Vinka menoleh perlahan. “Sarah, kau tahu di mana Malvin tinggal?” tanyanya pelan, tapi sorot matanya menuntut jawaban. Sarah terdiam, otaknya berputar cepat mencari alasan. Ia tahu Malvin mempercayakan rahasia ini padanya, tapi ia juga tak ingin mengecewakan Vinka. “Sarah?” desak Vinka, suaranya melembut, seolah bisa merasakan kebimbangan pelayannya. Sarah menunduk, menarik napas panjang. “Nona… maafkan saya. Saya tidak bisa memberitahu. Malvin sendiri yang memintanya.” Suaranya terdengar pelan, seperti memohon pengertian dari majikannya itu. Vinka menatapnya lama. Sarah bisa melihat mata majikannya mulai berkaca-kaca, berusaha keras menahan sesuatu yang mengganjal di dadanya. “Baiklah…” ucap Vinka akhirnya, berusaha tetap tegar. Ia bangkit perlahan, berjalan menuju ranjang. “Kau boleh keluar. Aku ingin sendiri.” Sarah menggigit bibirnya, hati kecilnya menjeri
“Paman.” panggil seorang wanita pelan. Hans menoleh, senyumnya samar. “Iya, Vinka?” Vinka mendekat, duduk di samping Hans. Tatapannya penuh rindu dan keraguan. “Apa Paman… rindu pada Ayah?” Pertanyaan itu membuat dada Hans sesak. Ia menghela napas panjang, mencoba tersenyum walau getir. “Maafkan aku, Vinka. Seharusnya dulu aku tidak pergi bertugas, seharusnya aku tetap di rumah, mendampingi dia… ke mana pun langkahnya.” Vinka menunduk, meremas jemarinya sendiri. “Kalau benar semua ini rencana Paman James… apa yang harus kulakukan?” suaranya lirih, nyaris berbisik. Hans terdiam, matanya menerawang. “Apa Paman tahu siapa yang bekerja sama dengan Paman James?” tanya Vinka lagi, nada suaranya sedikit memaksa. Hans menarik napas panjang. Sebenarnya ia tahu, tapi orang itu pernah menolong Vinka, dan lidahnya terasa berat untuk mengatakannya. “Vinka, ini sudah malam. Kita bicarakan besok saja, ya? Ayo.” Hans berdiri, mengusap kepala ponakannya pelan, lalu berjalan meninggalkan gadis it
Monica meletakkan satu piring besar di atas meja, senyumnya melebar penuh kemenangan. Para pelayan hanya saling melirik, membisikkan sesuatu diam-diam. Mereka penasaran, ada apa dengan nyonya mereka kali ini, Monica yang biasanya dingin kini tampak begitu senang. Tapi tentu saja, mereka bukan siapa-siapa untuk ikut menggoda atau mempertanyakan kegembiraan majikannya. “Wow, Mam, Mama masak semua ini sendiri?” tanya Adellia sambil mengedarkan pandangan ke meja makan. Monica mengangguk pelan, senyum masih terlukis di wajahnya. Adellia dan Aldo saling melirik, perasaan aneh menggelitik hati mereka. Mereka tak pernah melihat ibunya sesenang ini, bahkan ketika ayah mereka pulang dari luar kota. “Tentu saja ini untuk kemenangan Mami,” jawab Monica riang. “Kemenangan? Maksud Mama, kemenangan apa?” tanya kedua anaknya hampir bersamaan, bingung. Suara bel pintu terdengar dari ruang depan. Monica segera berdiri, langkahnya ringan, membayangkan menyambut sang suami yang baru pulang. Tapi begi