“Mungkin saja, saat kau mandi, dan pelayan setiamu tidak menemani, ada mata-mata jahat yang mengintai tubuhmu,” ucap Malvin perlahan, suaranya seakan menembus dinding kesopanan, membuat Aldo, putra Paman Hans, berkeringat dingin. Tanpa berkata apa-apa, Aldo memilih mundur pelan dari ruang tengah itu.
Vinka mematung, matanya melebar tak percaya. Ucapan Malvin barusan seperti cambuk di tengah sunyi. Seluruh keluarga Hans, termasuk Adellia dan Nyonya Monica, ikut terdiam. Wajah mereka memucat, tak percaya ada yang berani berbicara seberani itu di dalam rumah mereka. “Bagaimana kau tahu hal seperti itu akan terjadi?!” bentak Vinka, kesal, suaranya bergetar di ujung kalimat. “Itu bukan sesuatu yang akan terjadi,” jawab Malvin dingin. “Itu sudah terjadi.” Ia menoleh santai pada Hans. “Jika keponakanmu tetap menolak keberadaanku di sini, lebih baik aku pergi.” “Tunggu!” Hans mengangkat tangannya, menatap Vinka dengan tatapan tegas. “Baiklah. Kau bisa mulai bekerja hari ini. Sarah, tunjukkan kamarnya.” “Baik, Tuan,” jawab Sarah patuh, meski ada keraguan di suaranya. Malvin melirik Sarah sambil tersenyum samar, lalu mulai mengikuti langkahnya. Tapi tiba-tiba— “Tunggu!” seru Vinka keras. Semua orang memalingkan kepala. Adellia dan Nyonya Monica menghela napas panjang, lalu dengan enggan meninggalkan tempat itu, tampak jengkel. “Aku ingin bicara denganmu,” ucap Vinka tegas. Mata semua orang tertuju pada Malvin. “Sarah, antarkan dia ke ruang pribadi ayah,” kata Vinka tenang. “Tunggu, Vinka,” sela Monica tajam. “Malvin hanya penjagamu, bukan detektif.” Nada suaranya jelas memperingatkan, seolah tahu ke mana arah percakapan itu. Namun Vinka tidak mendengarkan. Dengan bantuan tongkatnya, ia berjalan menuju ruang pribadi Tuan Panduwinata, suara ketukan tongkatnya menggema pelan di lantai kayu. Malvin tersenyum kecil, seperti menertawakan sesuatu yang hanya ia pahami. ---🥀--- Di dalam ruang pribadi itu, mereka duduk lama tanpa sepatah kata. Heningnya begitu tebal, hampir bisa diiris. “Jadi,” gumam Malvin akhirnya, “apa yang ingin Anda lakukan?” Suaranya terdengar bosan, bahkan sedikit sarkastik. “Ayah dan ibuku,” bisik Vinka pelan, “dibunuh di sini.” “Lalu?” Malvin menaikkan alis. “Aku ingin tahu, apakah ada barang milik si pembunuh yang tertinggal?” Malvin mengedarkan pandangannya, mendengus pelan. “Sepertinya tidak. Polisi pasti sudah menyisir semuanya.” Vinka menunduk kecewa. Ia berbalik hendak pergi, tapi tanpa sengaja langkahnya goyah, wajahnya hampir terbentur dinding. Dengan cepat, Malvin mengulurkan tangan, melindungi wajahnya. Tangan Malvin yang terbentur, bukan wajah Vinka. Malvin menarik napas tajam, menahan sakit. “Maaf… tanganmu baik-baik saja?” tanya Vinka khawatir. “Sedikit tergores, tapi tidak apa-apa,” jawab Malvin, matanya sempat menangkap sorot pucat di wajah Vinka. “Ayo, saya antar Anda.” “Tak perlu,” potong Vinka pelan. “Aku bisa jalan sendiri.” “Baiklah. Selamat malam.” Bukan karena perhatian, Malvin mengikuti dari belakang. Ia hanya ingin tahu lebih banyak tentang Vinka. Niat membunuhnya masih terpatri dalam pikirannya, tapi ia menunggu waktu yang tepat. ---🥀--- Di kamarnya, Malvin melempar jasnya ke kasur, lalu merebahkan diri, menatap langit-langit. Pikirannya melayang ke masa lalu. Ada alasan mengapa ia menjadi seorang mafia—semuanya karena ayahnya. Ia ingat ibunya menangis memohon saat ia dibawa paksa ke kota. Mau bagaimana lagi, ia anak lelaki satu-satunya, pewaris takhta gelap itu. Ironisnya, kini ia justru mulai nyaman dengan hidupnya yang berlumur dosa. Tok! Tok! Malvin mengerutkan kening, menatap pintu. “Siapa malam-malam begini?” gumamnya malas. Dengan enggan, ia bangkit, membuka pintu. Seorang wanita berdiri di ambang pintu, mengenakan night dress tipis. Senyum tipis muncul di bibir Malvin. “Ada apa, Sarah?” Tanpa berkata apa-apa, Sarah mendorong Malvin masuk dan menutup pintu cepat-cepat. “Beritahu aku, apa yang kau lakukan di sini?” tanya Malvin heran. “Seharusnya aku yang bertanya padamu!” desis Sarah, menyerahkan sebuah poster. Malvin merobek poster itu tanpa ragu. Wajahnya terpampang di sana, jelas-jelas poster buronan. “Darimana kau dapat ini?” tanyanya, suaranya tajam. “Kantor polisi. Apa itu benar, Malvin? Sejak kapan?!” “Ya… dan aku tak ingat sejak kapan,” jawab Malvin tenang. “Jangan bilang… jangan bilang kau juga yang membunuh Tuan Panduwinata dan istrinya?” Tatapan Malvin tajam, membuat Sarah mundur panik. Saat tangannya meraba gagang pintu, Malvin cepat-cepat mengunci pintu itu. “Sarah, bukan aku yang membunuh mereka. Aku hanya menjalankan tugas.” “Siapa?! Siapa yang menyuruhmu?!” “Itu bukan urusanmu.” Malvin mendekat, menunduk hingga wajah mereka hanya beberapa senti. “Diam… atau kau juga akan menjadi targetku.” Sarah terisak, air matanya menetes. “Aku mohon, jangan sakiti Nona Vinka. Hanya dia harapanku untuk tetap hidup…” “Oh?” Malvin tertawa kecil. “Ternyata kau peduli padanya, ya? Seperti itu baiknya dia?” “Keluarga Tuan Panduwinata selalu baik pada para pekerjanya. Tapi sejak kau dan anak buahmu muncul… sekarang gaji kami ditentukan Nyonya Monica. Dia memotong gaji kami.” Malvin mendengus pelan, mencium leher Sarah secara tiba-tiba. “Malvin! Apa yang kau lakukan?!” Sarah mendorongnya hingga Malvin terjatuh di kasur, tertawa keras. Ia duduk santai, menatap Sarah. “Masih canggung, ya?” ejeknya. Lalu ia bangkit, berjalan ke pintu. “Pergilah.” Tanpa pikir panjang, Sarah bergegas keluar. “Selamat malam,” ucap Malvin pelan, menutup pintu. Pagi harinya, Sarah termenung, mengingat kejadian semalam. Tak disangkanya Malvin akan berani melakukan itu. “Aw!” Sarah tersentak, kembali ke realitas. “Nona Vinka, maafkan saya!” katanya cepat, membantu Vinka berdiri. “Sarah, kau baik-baik saja?” tanya Vinka pelan. “Saya baik, Nona. Tidak perlu cemas.” Sarah menyerahkan tongkatnya. Saat mereka berjalan keluar, mereka berpapasan dengan Malvin. Malvin tersenyum nakal, mengusap leher Sarah. Sarah cepat-cepat memalingkan muka, merasa darahnya naik. “Selamat pagi, Nona Vinka,” sapa Malvin. “Selamat pagi, Sarah,” lanjutnya, senyum lebar di bibir. “Bagaimana tidurmu semalam?” “Malvin, jangan ganggu Sarah,” tegur Vinka kesal. “Kerjakan saja pekerjaanmu.” “Pekerjaanku, kan, menemani dan melindungi Nona Vinka,” jawab Malvin santai, membuat Vinka mendengus kesal. “Aku tidak perlu dilindungi!” bentaknya, berjalan pergi. “Nona!” panggil Sarah. Malvin menarik tangan Sarah, yang langsung ditepis Sarah dengan kesal. “Aku mohon, jangan lakukan itu,” bisik Malvin, nadanya berubah memelas. “Itu urusanmu. Kau tahu risikonya nanti,” balas Sarah tajam. Malvin tersenyum misterius. Ia menyerahkan selembar kertas pada Sarah. Sarah membacanya cepat, lalu menatap Malvin dengan mata membelalak. “Tidak mungkin…” Malvin hanya menggeleng. “Kita tidak pernah tahu, Sarah, seperti apa rencana Tuhan.” Ia melipat kembali kertas itu, memasukkannya ke saku jas. Pertanda, badai yang lebih besar segera datang. Sarah berdiri terpaku beberapa saat, napasnya tercekat, masih memikirkan kata-kata Malvin barusan. Ada sesuatu yang tidak ia pahami—sesuatu yang lebih dalam dari sekadar tugas atau perintah. Sementara itu, Malvin melangkah pelan menyusuri lorong rumah, jemarinya menyentuh dinding kayu tua yang sedikit berdebu. “Apa aku terlalu jauh masuk dalam permainan ini…?” bisiknya pelan, nyaris tak terdengar. Di dalam kamar, Vinka duduk di pinggir ranjang, menggenggam tongkatnya erat-erat. Di balik wajah dinginnya, pikirannya berkecamuk. Rasa curiga, kecewa, dan takut bercampur jadi satu. Tapi di ujung rasa itu, ada secuil keinginan untuk tetap berdiri kuat. “Saya akan melindungi keluarga ini… meski harus melawan siapa pun,” bisik Vinka lirih pada dirinya sendiri. Ia mengusap rambut yang terurai, menutup matanya sejenak. Di balik pintu, tanpa suara, Malvin berdiri menyandarkan tubuh. Bibirnya melengkung kecil. “Kau kuat, Nona Vinka… tapi aku akan melihat sampai sejauh apa kekuatanmu itu.”Malam itu, langit dipenuhi bintang, namun hati Vinka tetap gelap gulita. Di dalam kamarnya, ia duduk di tepi ranjang, mengelus liontin kecil peninggalan ayahnya. Hatinya berdebar tanpa alasan. Ada sesuatu yang terasa janggal, meski ia tak bisa menjelaskannya. Sementara itu, di ruang tamu, Monica duduk bersama Hans. Perempuan itu melirik suaminya dari sudut mata, tersenyum tipis sambil memutar cincinnya. "Hans, kamu yakin semua ini perlu?" tanya Monica pelan. "Aku sebenarnya tidak ingin terlibat sejauh ini. Aku hanya... ingin memastikan warisan Vinka tidak jatuh ke tangan yang salah." Hans mendengus pendek. "Kau tidak perlu munafik, Monica. Kau tahu, selama ini kau hanya mengincar kekayaan Panduwinata. Aku yang berusaha memastikan keselamatan Vinka, bukan hanya harta." Monica tertawa kecil, memiringkan kepalanya. "Oh, Hans, kau terlalu serius. Aku ini istrimu, bukan musuhmu. Lagipula, James yang memulai semua kekacauan ini, bukan aku. Dia yang mendorong semua rencana gila itu."
Senja semakin tenggelam di balik barisan pepohonan. Taman itu mulai sepi, hanya suara daun bergesekan pelan dan angin yang membawa aroma tanah lembap. Hans menatap lurus ke depan, tangan-tangannya menyatu di pangkuannya. Ia menunggu, sabar, meski pikirannya berputar penuh tanda tanya. Di sampingnya, Malvin duduk kaku, menunduk, menahan napas panjang. “Aku menunggumu, Malvin,” ucap Hans tenang, tapi nadanya jelas memberi tekanan. “Aku butuh kau jujur sekarang.” Malvin mengusap wajahnya kasar, rambut hitamnya berantakan. “Saya… saya kenal James,” suaranya serak. “Bukan cuma kenal. Dia yang menyewa saya untuk membunuh Tuan Panduwinata, istrinya dan Vinka.” Hans memejamkan mata sejenak, seperti sudah menduga. “Lalu kenapa kau tidak melakukannya?” Malvin tertawa kecil, getir. “Karena ayah saya. Karena ayah saya dulu pengawal pribadi keluarga Panduwinata… termasuk Nona Vinka.” Hans menoleh cepat. “Ayahmu…? Kau anaknya Michael?” Malvin mengangguk pelan. “Saya tidak pernah menceritakan
“Siapa? Siapa orang yang harus dirahasiakan dariku?” bisik Vinka dalam hati, kebingungan. Begitu mendengar langkah kaki menjauh, ia akhirnya berani keluar dari ruangan itu, berniat menemui Hans. “Paman.” panggilnya pelan. Hans yang tengah sibuk menata dokumen mendongak, lalu tersenyum begitu melihat siapa yang datang. Vinka perlahan mendekat, duduk di kursi tamu di hadapannya. “Vinka? Wah, tumben sekali.” ujar Hans sambil melipat tangannya di meja. Ruangan itu masih meninggalkan jejak menyakitkan di benak Vinka. Di sinilah kedua orang tuanya terbunuh. Ia masih mengingat jelas dentuman pistol, suara teriakan ibunya dan tawa dingin si pembunuh. “Aku ingin sekali membalas dendam pada mereka." ucap Vinka tiba-tiba, suaranya getir. Hans terdiam, matanya menunduk. Ia tahu, kebencian itu tak pernah padam dalam diri keponakannya. Sarah dan Malvin pun tahu, sebanyak apa pun mereka menolong, luka di hati Vinka selalu menganga. “Kau… belum bisa menerimanya?” tanya Hans pelan. Vinka mengg
Sarah bergegas ke kamar Vinka begitu mendengar panggilan. “Nona memanggil saya?” tanyanya, suara lembut namun penasaran. Vinka menoleh perlahan. “Sarah, kau tahu di mana Malvin tinggal?” tanyanya pelan, tapi sorot matanya menuntut jawaban. Sarah terdiam, otaknya berputar cepat mencari alasan. Ia tahu Malvin mempercayakan rahasia ini padanya, tapi ia juga tak ingin mengecewakan Vinka. “Sarah?” desak Vinka, suaranya melembut, seolah bisa merasakan kebimbangan pelayannya. Sarah menunduk, menarik napas panjang. “Nona… maafkan saya. Saya tidak bisa memberitahu. Malvin sendiri yang memintanya.” Suaranya terdengar pelan, seperti memohon pengertian dari majikannya itu. Vinka menatapnya lama. Sarah bisa melihat mata majikannya mulai berkaca-kaca, berusaha keras menahan sesuatu yang mengganjal di dadanya. “Baiklah…” ucap Vinka akhirnya, berusaha tetap tegar. Ia bangkit perlahan, berjalan menuju ranjang. “Kau boleh keluar. Aku ingin sendiri.” Sarah menggigit bibirnya, hati kecilnya menjeri
“Paman.” panggil seorang wanita pelan. Hans menoleh, senyumnya samar. “Iya, Vinka?” Vinka mendekat, duduk di samping Hans. Tatapannya penuh rindu dan keraguan. “Apa Paman… rindu pada Ayah?” Pertanyaan itu membuat dada Hans sesak. Ia menghela napas panjang, mencoba tersenyum walau getir. “Maafkan aku, Vinka. Seharusnya dulu aku tidak pergi bertugas, seharusnya aku tetap di rumah, mendampingi dia… ke mana pun langkahnya.” Vinka menunduk, meremas jemarinya sendiri. “Kalau benar semua ini rencana Paman James… apa yang harus kulakukan?” suaranya lirih, nyaris berbisik. Hans terdiam, matanya menerawang. “Apa Paman tahu siapa yang bekerja sama dengan Paman James?” tanya Vinka lagi, nada suaranya sedikit memaksa. Hans menarik napas panjang. Sebenarnya ia tahu, tapi orang itu pernah menolong Vinka, dan lidahnya terasa berat untuk mengatakannya. “Vinka, ini sudah malam. Kita bicarakan besok saja, ya? Ayo.” Hans berdiri, mengusap kepala ponakannya pelan, lalu berjalan meninggalkan gadis it
Monica meletakkan satu piring besar di atas meja, senyumnya melebar penuh kemenangan. Para pelayan hanya saling melirik, membisikkan sesuatu diam-diam. Mereka penasaran, ada apa dengan nyonya mereka kali ini, Monica yang biasanya dingin kini tampak begitu senang. Tapi tentu saja, mereka bukan siapa-siapa untuk ikut menggoda atau mempertanyakan kegembiraan majikannya. “Wow, Mam, Mama masak semua ini sendiri?” tanya Adellia sambil mengedarkan pandangan ke meja makan. Monica mengangguk pelan, senyum masih terlukis di wajahnya. Adellia dan Aldo saling melirik, perasaan aneh menggelitik hati mereka. Mereka tak pernah melihat ibunya sesenang ini, bahkan ketika ayah mereka pulang dari luar kota. “Tentu saja ini untuk kemenangan Mami,” jawab Monica riang. “Kemenangan? Maksud Mama, kemenangan apa?” tanya kedua anaknya hampir bersamaan, bingung. Suara bel pintu terdengar dari ruang depan. Monica segera berdiri, langkahnya ringan, membayangkan menyambut sang suami yang baru pulang. Tapi begi