Home / Romansa / Pengantin Untuk Tuan Mafioso / Chapter 4 Bayang-Bayang Sang Penjaga

Share

Chapter 4 Bayang-Bayang Sang Penjaga

Author: Riska Prakoso
last update Last Updated: 2021-06-13 14:23:08

Zico memandang Malvin dengan mata terbelalak, jantungnya berdegup begitu kencang hingga nyaris terasa di tenggorokan. Perlahan, pria dewasa itu mengeluarkan pistol dari saku celananya. Dengan tenang, Malvin mengisi senjata itu dengan tiga peluru, membiarkan satu slot kosong.

Keringat dingin mulai membasahi kening Zico. Napasnya tersengal, sementara Malvin meletakkan pistol di meja di hadapannya.

"Jika kau benar-benar ingin menjadi anak buahku, lakukan sesuatu yang bisa membuatku tertarik padamu," ucap Malvin, senyum licik mulai merekah di bibirnya.

Zico menunduk, kedua tangan gemetar. Namun ia mengangguk pelan. "Baiklah."

Dengan hati-hati, Zico mengambil pistol itu. Ia mengarahkannya ke tangan kirinya, jari kanannya bersiap menarik pelatuk. Malvin dapat mendengar detak jantung remaja itu, musik yang indah di telinganya. Tatapan Malvin melekat pada wajah ketakutan di hadapannya.

Zico menelan ludah keras-keras.

Tek!

Tubuhnya tersentak, napas tercekat di tenggorokan. Zico mendongak, menatap Malvin dengan mata membelalak tak percaya.

"Usiamu masih muda," kata Malvin perlahan, menyeringai. "Kalau kau bergabung denganku, nyawamu akan sia-sia. Begini saja, jalani hidupmu seperti biasa. Tapi… kau harus mencari tahu tugas yang akan kuberikan padamu. Bagaimana?"

Zico hanya bisa menunduk, bahunya gemetar, air mata mulai mengalir tanpa suara. Malvin mengambil jasnya, memakainya dengan santai, lalu melemparkan selembar uang seratus dolar ke meja.

"Ambil ini. Pulanglah. Orang tuamu pasti khawatir," katanya sambil mengacak rambut Zico kasar, membuat rambut remaja itu berantakan.

Zico memandangnya dengan mata berkaca. "A-aku… aku tidak punya keluarga," gumamnya lirih.

Malvin berhenti di depan pintu, menoleh kembali. Pandangannya tajam, meneliti sosok kecil yang kini berdiri sendirian di ruangan itu. Di luar, suara hiruk-pikuk terdengar samar, tapi di sini… hanya ada mereka berdua.

---🥀---

Semua anak buah Malvin memandangi Zico, membuat remaja itu ciut.

"Jadi, siapa yang mau bertanggung jawab untuk pekerjaan kita?" tanya Malvin lantang.

Seorang pria dewasa bertubuh kekar mengangkat tangan.

"Ya, Daniel. Kau mau tangani anak ini?"

Daniel mengangguk pelan. "Serahkan dia padaku."

Dengan tubuh penuh tato dan aura mengintimidasi, Daniel tampak seperti mimpi buruk bagi Zico. Tapi mau tak mau, Zico harus mengikuti perintah Tuan Mafioso. Ia pun melangkah mengikuti Daniel, meninggalkan ruangan itu.

"Yang lain, kembali bekerja," perintah Malvin dingin.

Anak buahnya berpencar, sementara Malvin kembali ke ruang kerjanya. Ia duduk perlahan, merebahkan tubuh di kursi, menutup mata sejenak. Tangannya memijat kening, meski ia tahu tak ada pusing di sana—hanya kebiasaan.

Tok! Tok!

Mata Malvin terbuka. Ia menoleh ke arah pintu, mendengar suara anak buahnya.

"Tuan, adik Tuan Panduwinata ingin bertemu dengan Anda."

"Suruh masuk."

"Baik, Tuan."

Pintu kembali tertutup, lalu terbuka. Seorang pria paruh baya melangkah masuk, meletakkan koper hitam di atas meja Malvin.

"Ada masalah apa?" tanya Malvin datar.

"Saya ingin Anda membunuh Tuan Putri itu." jawab pria itu tanpa ragu.

Senyum tipis muncul di wajah Malvin. "Baiklah. Kalau itu maumu, aku akan menerima tugasnya. Tapi untuk uangnya, simpan dulu. Aku hanya akan mengambilnya kalau tugasnya berhasil."

Pria itu menyerahkan selembar kertas. Malvin mengambilnya, membaca cepat.

"Anda datang ke rumah itu, berpura-pura sebagai penjaga atau bodyguard Nona muda itu," jelas si pria.

Malvin tertawa pelan. "Menarik. Boleh aku… bersenang-senang sedikit dengannya?"

Pria itu ikut tersenyum miring. "Silakan."

---🥀---

Mobil hitam Malvin berhenti di depan rumah megah bercat putih. Seorang penjaga mendekat.

"Maaf, Tuan. Tolong jangan parkir di sini."

Malvin mengulurkan secarik kertas. "Alamat ini, kan?"

Penjaga mengangguk. "Ya, tapi ada keperluan apa Anda di sini?"

Malvin menyerahkan dokumen lain. "Saya melamar kerja. Sebagai bodyguard."

Gerbang dibuka. Malvin masuk, matanya memandang puas ke halaman luas bergaya Eropa klasik. Saat berjalan, ia melihat pelayan wanita sedang menyiram tanaman. Dengan iseng, ia menyentuh betis pelayan itu dari belakang, membuatnya menjerit kaget. Malvin tertawa.

"Malvin?"

"Hai, Sarah. Apa kabar?"

Ternyata mereka mengenal satu sama lain sejak SMA. Sarah hanya menggeleng sambil tersenyum. "Apa yang kau lakukan di sini?"

Malvin menoleh ke balkon lantai dua. Seorang wanita duduk di sana, tak bergeming. Malvin tahu, itulah targetnya.

"Baiklah," gumamnya, melambaikan tangan ke atas.

Sarah tertawa kecil. "Percuma saja kau melambaikan tangan. Nona Vinka tidak akan merespons."

"Kenapa?" tanya Malvin sambil membantu Sarah menggulung selang.

"Dia… buta."

Malvin terdiam. "Sejak kapan?"

"Sejak lahir."

"Kenapa tidak operasi? Bukankah zaman sudah maju?"

Sarah mengangkat bahu. "Aku juga tak tahu."

Tiba-tiba seorang gadis remaja berlari menghampiri Sarah. "Lihat gaun pestaku! Apa yang kau lakukan padanya?"

Adellia, adik Vinka, berhenti mendadak saat matanya jatuh pada sosok Malvin. Wajahnya memerah. "Sarah, siapa dia?"

Malvin langsung menyerahkan kertas kepada Adellia. Saat membaca isinya, kekecewaan terpampang di wajah gadis itu.

"Mommy!" Adellia berlari pergi. Sarah hanya tertawa kecil. "Aku jamin kau akan jadi rebutan di sini."

Malvin tersenyum lebar. "Wah, aku tak sabar membayangkannya."

---🥀---

Malam hari, selesai makan malam, seluruh keluarga berkumpul di ruang tengah. Tuan Hans memandang Malvin lekat-lekat.

"Perkenalkan dirimu," katanya singkat.

"Namaku Malvin. Aku lulusan sekolah Genghis. Anda pasti pernah mendengarnya."

"Papa, izinkan dia menjaga Kak Vinka," pinta Adellia memohon.

Hans menghela napas, memijat keningnya. Tapi tiba-tiba, suara lembut terdengar dari kursi roda di sudut ruangan.

"Paman, aku tidak perlu bodyguard. Aku bisa menjaga diriku sendiri," ucap Vinka pelan.

Malvin menoleh, matanya tajam. "Mungkin saja, saat kau mandi, dan pelayan setiamu tak menemani, ada mata jahat yang memandang tubuhmu," bisiknya.

Aldo, putra paman Hans, langsung berkeringat dingin, buru-buru keluar ruangan.

Vinka membisu. Seluruh keluarga Hans terdiam, menatap Malvin dengan wajah tak percaya.

---🥀---

Vinka duduk diam di kursi besar ruang tamu, matanya kosong menatap kegelapan yang abadi. Namun telinganya tajam; ia mendengar suara langkah Malvin yang mendekat. “Besok aku mulai bekerja di sini,” suara pria itu terdengar santai, hampir seperti nada menggoda.

Vinka mengerutkan kening. “Aku tidak mempekerjakanmu.”

Malvin tertawa pelan. “Tapi keluarga pamanmu mempekerjakanku untuk melindungimu. Kau tahu, setelah kehilangan kedua orang tuamu dengan cara tragis seperti itu, mereka khawatir kau jadi sasaran berikutnya.”

Gigi Vinka bergemeretak menahan emosi. Malvin bisa melihat tangan gadis itu mengepal di pangkuan. “Aku tidak butuh siapapun…” bisiknya getir.

“Oh, Nona,” Malvin mendekat, menunduk sejajar wajahnya. “Semua orang butuh seseorang. Bahkan kau.”

Sementara itu, di luar pagar, Daniel mengawasi dari jauh. Dia menekan tombol di alat komunikasinya. “Bos, target sudah lunak. Dia sama sekali tak curiga siapa yang benar-benar menarik benang di balik semua ini.”

Di ujung sana, suara pria tertawa pelan. “Bagus. Malvin akan tetap bermain perannya, dan saat waktunya tiba… harta keluarga itu jatuh ke tangan kita.”

Vinka berdiri perlahan. Meski matanya gelap, langkahnya tenang. Ia berjalan menuju piano tua di sudut ruangan, jemarinya menyentuh tuts yang berdebu. Ia memainkan melodi kecil, nada-nada sendu yang terdengar seperti ratapan.

Malvin berdiri terpaku, menatap punggung gadis itu. Untuk sesaat, dia merasakan geliat kecil di hatinya—rasa bersalah? Tidak, itu bukan sifatnya. Dia menggeleng pelan, kembali mengenakan topeng dinginnya.

Di pikirannya, hanya satu hal yang jelas: Vinka hanyalah pion. Dan dalam permainan ini, tak ada tempat bagi pion untuk menang.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pengantin Untuk Tuan Mafioso   Chapter 29 Malam Penuh Pengkhianatan

    Malam itu, langit dipenuhi bintang, namun hati Vinka tetap gelap gulita. Di dalam kamarnya, ia duduk di tepi ranjang, mengelus liontin kecil peninggalan ayahnya. Hatinya berdebar tanpa alasan. Ada sesuatu yang terasa janggal, meski ia tak bisa menjelaskannya. Sementara itu, di ruang tamu, Monica duduk bersama Hans. Perempuan itu melirik suaminya dari sudut mata, tersenyum tipis sambil memutar cincinnya. "Hans, kamu yakin semua ini perlu?" tanya Monica pelan. "Aku sebenarnya tidak ingin terlibat sejauh ini. Aku hanya... ingin memastikan warisan Vinka tidak jatuh ke tangan yang salah." Hans mendengus pendek. "Kau tidak perlu munafik, Monica. Kau tahu, selama ini kau hanya mengincar kekayaan Panduwinata. Aku yang berusaha memastikan keselamatan Vinka, bukan hanya harta." Monica tertawa kecil, memiringkan kepalanya. "Oh, Hans, kau terlalu serius. Aku ini istrimu, bukan musuhmu. Lagipula, James yang memulai semua kekacauan ini, bukan aku. Dia yang mendorong semua rencana gila itu."

  • Pengantin Untuk Tuan Mafioso   Chapter 28 Sebuah Pengakuan

    Senja semakin tenggelam di balik barisan pepohonan. Taman itu mulai sepi, hanya suara daun bergesekan pelan dan angin yang membawa aroma tanah lembap. Hans menatap lurus ke depan, tangan-tangannya menyatu di pangkuannya. Ia menunggu, sabar, meski pikirannya berputar penuh tanda tanya. Di sampingnya, Malvin duduk kaku, menunduk, menahan napas panjang. “Aku menunggumu, Malvin,” ucap Hans tenang, tapi nadanya jelas memberi tekanan. “Aku butuh kau jujur sekarang.” Malvin mengusap wajahnya kasar, rambut hitamnya berantakan. “Saya… saya kenal James,” suaranya serak. “Bukan cuma kenal. Dia yang menyewa saya untuk membunuh Tuan Panduwinata, istrinya dan Vinka.” Hans memejamkan mata sejenak, seperti sudah menduga. “Lalu kenapa kau tidak melakukannya?” Malvin tertawa kecil, getir. “Karena ayah saya. Karena ayah saya dulu pengawal pribadi keluarga Panduwinata… termasuk Nona Vinka.” Hans menoleh cepat. “Ayahmu…? Kau anaknya Michael?” Malvin mengangguk pelan. “Saya tidak pernah menceritakan

  • Pengantin Untuk Tuan Mafioso   Chapter 27 Luka Yang Tidak Terlihat

    “Siapa? Siapa orang yang harus dirahasiakan dariku?” bisik Vinka dalam hati, kebingungan. Begitu mendengar langkah kaki menjauh, ia akhirnya berani keluar dari ruangan itu, berniat menemui Hans. “Paman.” panggilnya pelan. Hans yang tengah sibuk menata dokumen mendongak, lalu tersenyum begitu melihat siapa yang datang. Vinka perlahan mendekat, duduk di kursi tamu di hadapannya. “Vinka? Wah, tumben sekali.” ujar Hans sambil melipat tangannya di meja. Ruangan itu masih meninggalkan jejak menyakitkan di benak Vinka. Di sinilah kedua orang tuanya terbunuh. Ia masih mengingat jelas dentuman pistol, suara teriakan ibunya dan tawa dingin si pembunuh. “Aku ingin sekali membalas dendam pada mereka." ucap Vinka tiba-tiba, suaranya getir. Hans terdiam, matanya menunduk. Ia tahu, kebencian itu tak pernah padam dalam diri keponakannya. Sarah dan Malvin pun tahu, sebanyak apa pun mereka menolong, luka di hati Vinka selalu menganga. “Kau… belum bisa menerimanya?” tanya Hans pelan. Vinka mengg

  • Pengantin Untuk Tuan Mafioso   Chapter 26 Bayangan Yang Tersembunyi

    Sarah bergegas ke kamar Vinka begitu mendengar panggilan. “Nona memanggil saya?” tanyanya, suara lembut namun penasaran. Vinka menoleh perlahan. “Sarah, kau tahu di mana Malvin tinggal?” tanyanya pelan, tapi sorot matanya menuntut jawaban. Sarah terdiam, otaknya berputar cepat mencari alasan. Ia tahu Malvin mempercayakan rahasia ini padanya, tapi ia juga tak ingin mengecewakan Vinka. “Sarah?” desak Vinka, suaranya melembut, seolah bisa merasakan kebimbangan pelayannya. Sarah menunduk, menarik napas panjang. “Nona… maafkan saya. Saya tidak bisa memberitahu. Malvin sendiri yang memintanya.” Suaranya terdengar pelan, seperti memohon pengertian dari majikannya itu. Vinka menatapnya lama. Sarah bisa melihat mata majikannya mulai berkaca-kaca, berusaha keras menahan sesuatu yang mengganjal di dadanya. “Baiklah…” ucap Vinka akhirnya, berusaha tetap tegar. Ia bangkit perlahan, berjalan menuju ranjang. “Kau boleh keluar. Aku ingin sendiri.” Sarah menggigit bibirnya, hati kecilnya menjeri

  • Pengantin Untuk Tuan Mafioso   Chapter 25 Tali Yang Renggang

    “Paman.” panggil seorang wanita pelan. Hans menoleh, senyumnya samar. “Iya, Vinka?” Vinka mendekat, duduk di samping Hans. Tatapannya penuh rindu dan keraguan. “Apa Paman… rindu pada Ayah?” Pertanyaan itu membuat dada Hans sesak. Ia menghela napas panjang, mencoba tersenyum walau getir. “Maafkan aku, Vinka. Seharusnya dulu aku tidak pergi bertugas, seharusnya aku tetap di rumah, mendampingi dia… ke mana pun langkahnya.” Vinka menunduk, meremas jemarinya sendiri. “Kalau benar semua ini rencana Paman James… apa yang harus kulakukan?” suaranya lirih, nyaris berbisik. Hans terdiam, matanya menerawang. “Apa Paman tahu siapa yang bekerja sama dengan Paman James?” tanya Vinka lagi, nada suaranya sedikit memaksa. Hans menarik napas panjang. Sebenarnya ia tahu, tapi orang itu pernah menolong Vinka, dan lidahnya terasa berat untuk mengatakannya. “Vinka, ini sudah malam. Kita bicarakan besok saja, ya? Ayo.” Hans berdiri, mengusap kepala ponakannya pelan, lalu berjalan meninggalkan gadis it

  • Pengantin Untuk Tuan Mafioso   Chapter 24 Kenangan Yang Menjerat

    Monica meletakkan satu piring besar di atas meja, senyumnya melebar penuh kemenangan. Para pelayan hanya saling melirik, membisikkan sesuatu diam-diam. Mereka penasaran, ada apa dengan nyonya mereka kali ini, Monica yang biasanya dingin kini tampak begitu senang. Tapi tentu saja, mereka bukan siapa-siapa untuk ikut menggoda atau mempertanyakan kegembiraan majikannya. “Wow, Mam, Mama masak semua ini sendiri?” tanya Adellia sambil mengedarkan pandangan ke meja makan. Monica mengangguk pelan, senyum masih terlukis di wajahnya. Adellia dan Aldo saling melirik, perasaan aneh menggelitik hati mereka. Mereka tak pernah melihat ibunya sesenang ini, bahkan ketika ayah mereka pulang dari luar kota. “Tentu saja ini untuk kemenangan Mami,” jawab Monica riang. “Kemenangan? Maksud Mama, kemenangan apa?” tanya kedua anaknya hampir bersamaan, bingung. Suara bel pintu terdengar dari ruang depan. Monica segera berdiri, langkahnya ringan, membayangkan menyambut sang suami yang baru pulang. Tapi begi

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status