Share

Bab 6 Kebakaran Besar

“Teh kotak, coklat trus apalagi ya…” Kinan sibuk memilih-milih snack dan memasukkannya ke dalam keranjang, “Mey, kamu mau beli apa?”

“Kita nanti ketempat buah-buahan Kan Kak? aku mau beli anggur. Aduh, kakak dari tadi masukinnya cemilan melulu, gendut nanti!” cetus Limey ketika melihat betapa belanjaan mereka didominasi makanan kecil pilihan Kinan.

“Ah, iya. Kamu kan suka anggur. Yok, sekarang aja, sekalian di kilo.” Kinan segera meraih lengan Limey dan menariknya menuju tempat buah-buahan, sepertinya tidak terlalu ambil pusing dengan komentar Limey yang sakartis. 

Ketika kedua anak itu sibuk memilih-milih anggur yang hendak mereka kilo di mesin khusus, mendadak terdengar suara ledakan tidak jauh dari tempat mereka. Keduanya kaget, tempat itu mengguncang, seperti gempa. Lalu, api mendadak menjilat-jilat pelataran supermarket tersebut. Suara-suara ribut mulai terdengar, bergegas orang-orang berlarian menyelamatkan diri sambil berteriak kebakaran.

Limey dan Kinan terkejut, tubuh keduanya meloncat ke belakang dengan cepat, dengan segera Kinan memegang lengan Limey, wajah keduanya menjadi tegang. Lalu di depan mereka, rak-rak roboh dan api dengan warna terangnya menyembur di depan mereka. Orang-orang di sisi kiri dan kanan keduanya mulai menjerit panik, tapi keduanya masih saling berpegangan. Dalam waktu singkat, tempat itu berubah menjadi kepanikan, banyak orang berteriak-teriak meminta pertolongan. Ada yang berusaha menerobos api dan berakhir dengan jeritan pendek yang menyakitkan. 

“Ada apa? kenapa?!!!” Kinan berteriak panik, lengannya masih memegang tangan Limey, dan sebelah lagi masih memegang keranjang yang penuh dengan cemilan dan alat-alat kosmetik.

“Ledakan!!!” teriak Limey berusaha menandingi hempasan dan teriakan dari pengunjung lain yang meratap.

“Ya Tuhan Api, lari Mey!!!!” Kinan tampak panik. Kakinya bergegas memutar jalan, menghindari arah api datang dan berlari untuk mencari ruang yang aman, tapi percuma, api merambat dengan cepat, pondasi-pondasi tempat tersebut juga mulai melengkung, siap roboh. Dan entah ada dorongan apa, mendadak Kinan mengeluarkan kunci dari saku celananya. Kata-kata orang tua yang ditolongnya tadi berputar-putar di kepalanya, memang itu adalah pekerjaan sia-sia. Tapi Kinan pun mempercepat larinya, dan sekeranjang belanjaan mereka sekarang sudah berpindah tangan, dipegang Limey. 

Tepat ketika kepanikan menguasai otak Limey, sebuah pintu terlihat di depan mata. Bentuknya kecil, dan bukanlah pintu ruangan. Itu pintu tempat meletakkan alat-alat kebersihan, tapi siapa peduli. Ini pertaruhan, untuk mempertaruhkan 10 % kemungkinan Dirinya dan Kinan untuk hidup.

“Kak, kunci!” ucap Limey sambil meminta kunci pada Kinan, Kinan mengangguk lalu diserahkannya kunci tersebut pada adiknya, dia pun sesungguhnya tengah mempertaruhkan kemungkinan paling konyol, untuk bertahan hidup. 

Limey mengaitkan kunci pada kenop pintu. Ajaib kunci itu pas. Limey memutar knop pintu pelan-pelan untuk sekedar memastikan antara rasa percaya dan tidak, mendadak, ketika pintu sudah terbuka separuh, terasa ada sebuah kekuatan membuat mereka tersedot masuk ke dalam pintu. Keduanya melesat seperti di dorong seseorang dari belakang, terhempas dengan keras dan pintu tersebut tertutup dengan cepat. 

Kinan masih dapat melihat lautan api dan rak-rak yang roboh menghempaskan isinya, lalu pemandangan pun menjadi gelap. Tapi Kinan dapat merasakan lengannya masih terasa hangat memegang sesuatu. Gadis itu memalingkan wajahnya ke samping, dan melihat adiknya Limey tengah menggenggam tangannya erat, dan dia tahu mungkin bila memang ini waktunya mereka meninggal, maka dia tidak takut. Ada adik tersayangnya bersama, walau sedikit menyesal karena belum melakukan sesuatu dimasa muda.

Kinan menutup matanya dan membiarkan ketiadaan membawanya…

**

“Kak..kak!…bangun….” Suara Limey terdengar seakan menjauh, tapi perlahan-lahan suara itu terasa semakin mendekat dan menggema dalam telinganya seperti dengingan sayap nyamuk. 

Kinan mengerjap-ngerjap sebentar, masih merasa mengantuk, kepalanya sakit, dan telinganya terasa berdenging. Membawa kesadaran Kinan sampai ke puncak ternyata lumayan sulit. Akhirnya, setelah beberapa saat berenang-renang dalam kesadarannya yang hilang dan timbul, Kinan pun kemudian membuka mata perlahan-lahan. Mula-mula pandangannya berbenturan pada sosok Limey yang duduk di dekatnya sambil memegang lengannya, lalu sesaat merasakan gelombang pusing yang membuat Kinan ingin muntah. Kinan bergerak bangun sambil memegangi kepalanya, ada perasaan seperti melayang.

“Kita ada di…mana? Surga?” tanya Kinan tepat ketika sudah sadar sepenuhnya. Kesadarannya membawanya pada kejadian sebelumnya. Kebakaran, ledakan dan kepanikan, lalu semua mendadak pudar dari ingatannya.

Matanya berputar memandang sekeliling dengan perasaan tidak percaya. Tampak olehnya sekeliling mereka hamparan hutan dan padang rumput yang lumayan tinggi, ditambah lagi Kinan dapat mendengar suara gemericik air yang mengalir.

“Mungkin,” jawab Limey sambil meraih keranjang belanjaan milik mereka yang terserak di atas rumput. Limey meraih hp miliknya dan melihat sinyal, “Enggak ada sinyal di hp. Sebenarnya kita ini di mana?”

Kinan meletakkan telunjuknya di dahi, berusaha mengingat, “Perasaan, waktu itu ada ledakan di supermarket, terus api, lalu rak-rak yang jatuh. Terakhir, kamu buka pintu clining service dengan kunci itu dan….AH JANGAN-JANGAN KARENA KUNCI ITU!”

Limey sibuk membereskan belanjaan mereka meliputi sabun, alat-alat kosmetik dan—untungnya, Limey membeli sebuah tas kain lucu—makanan kecil, aneka minuman—meliputi soda sampai teh kotak—handuk kecil dan buku komik keluaran terbaru. 

“Untungnya tadi kita bawa belanjaan. Ini, ada roti,” Limey melempar roti dan langsung ditangkap oleh Kinan. Kinan pun menyobek bungkusnya dan langsung mengunyah roti tersebut. 

“Rasa kelapa. Padahal aku ingin kacang ijo…” sungut Kinan.

 Limey membuka minuman kaleng, “Jangan ngeluh kak! Kita enggak tahu di mana ini, tapi yang pasti kita masih hidup, dan enggak ada penjelasan lain selain kunci aneh pemberian orang tua yang kakak tolong itu. Masalahnya adalah, kita sekarang ada di mana?”

“Lha, tadi kamu bilang, kita masih hidup, ya artinya kita ada di bumi dong. Mungkin kunci itu mirip seperti pintu ajaib doraemon, ya kita bisa pindah kemana aja. Siapa tahu kita ternyata ada di Kalimantan, atau deket-deket deh, di Pangandaran.”

Limey diam, wajahnya jadi serius, membuat Kinan merasa tidak enak. 

“Kak, perasaanku enggak enak nih.” Lalu, dengan sigap Limey segera memasukkan barang-barang ke dalam tas kain tersebut. “Kita jalan yuk, takut kemalaman di hutan.” Ajak Limey sambil berdiri. Matanya jelalatan memperhatikan sekeliling. Rumput yang tinggi, pepohonan ya penuh di kiri dan kanan, bunyi suara burung yang berkukuk, dan matahari yang kesulitan masuk diantara pepohonan.

“Kita mau ke mana?” tanya Kinan sambil berdiri, membersihkan bagian belakangnya yang penuh dengan rerumputan kering.

“Enggak tahu, tapi yang pasti keluar dari hutan ini.” Ucap Limey sambil sibuk membersihkan lutut dan bokongnya yang penuh dengan rumput dan debu.

Kinan pun menurut, segera berdiri dan langsung berjalan, “Tapi kita ke mana, kita enggak tahu mana jalan ke luar.”

“lebih baik jalan, daripada di sini!” ucap Limey sambil memakai sweaternya.

Kinan pun berjalan mengikuti Limey, rasa cemas masih penuh di dadanya, tapi menunggu ditempat itu pun agak menakutkan. Agak resah Kinan segera berjalan di sisi Limey.

“Kita ke mana?” tanya Kinan, matanya memandang kiri dan kanan. Semua tampak sama dimatanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status