Share

Kembaran Suamiku
Kembaran Suamiku
Penulis: yusuf al barik

Saat aku belum bisa membedakan antara suamiku dan kembarannya secara keseluruhan.

Kembaran Suamiku

Kembaran Suamiku #1

"Dek, mulai sekarang kita tinggal di rumah Ibu ya! Biar Ibu ada yang ngrawat, Mas Hasyim sering sibuk." Suamiku berkata lembut seraya mengusap rambut.

Kami tak menjalani hubungan pacaran sebelum menikah seperti beberapa orang lain lakukan. Maka dari itu, kami masih beradaptasi.

"Dengan senang hati aku akan merawat Ibu, Mas," jawabku sambil tersenyum padanya.

"Terimakasih ya, Dek," ucapnya seraya mendaratkan kecupan hangat ke keningku.

"Sama-sama, Mas."

***

Setelah sampai di rumah Ibu mertua pada malam hari, sebentar kami mengobrol dengan Mas Hasyim-kakak kembarnya Mas Hisyam. Ibu sudah istirahat di kamar beliau karena sudah malam.

Berhubung sudah menjelang larut malam, Mas Hisyam mengantarkan aku ke kamarnya di rumah ini dan dia kembali ke ruang tamu. Teringat wajah lelahnya, dengan cepat kukibas dan bersihkan sebentar, sedangkan Mas Hisyam masih mengobrol dengan kakak kembarnya.

Tak berapa lama, Mas Hisyam datang dan menutup serta mengunci pintu.

"Tidurlah, Dek," titahnya.

Aku hanya mengangguk dan tersenyum. Namun aku langsung ke kamar mandi di dalam kamar ini untuk mencuci muka dan menggosok gigi dan mengganti pakaian homedress panjang lalu berwudhu.

Usai keluar dari kamar mandi, kulihat Mas Hisyam sudah terlelap di ranjang seraya memeluk guling. Cepat sekali suamiku tertidur, kusunggingkan senyum menatapnya seraya mendudukkan pantat di kursi yang menghadap meja rias. Usai memakai cream malam, aku pun menyusul Mas Hisyam tidur diaw*li dengan doa, ayat kursi serta zikir yang dahulu diamalkan oleh Sayyidah Fatimah radhiyallahu 'anha bekal dari ayahandanya yaitu Rasulullah shallallahu 'alaihi w* salam.

Pagi sekali, usai sholat subuh aku menyiapkan sarapan dan memasak untuk menu makan siang nanti. Ibu mertuaku sakit stroke sudah dua tahun sebelum aku menikah dengan Mas Hisyam.

Ayah Mas Hisyam sudah tiada. Saat itu kecelakaan melanda Ayah dan Ibu Mas Hisyam, Ayahnya meninggal, dan Ibu patah tulang kaki serta stroke akibat mendengar kabar sang suaminya meninggal.

Segala upaya dilakukan Mas Hisyam dan Mas Hasyim -kembaran suamiku-. Namun tidak ada perubahan pada Ibu. Sampai saat ini belum ada yang bisa membuat Ibu tersenyum. Itu kata Mas Hisyam. Sungguh, sangat prihatin dengan hal itu.

Setelah semua siap di meja makan, aku mendorong Ibu dengan kursi rodanya ke meja makan dan mengajak dua puteranya untuk sarapan bersama.

Kusuapi Ibu seperti aku menyayangi Ibuku sendiri, karena beliau juga ibu suamiku.

"Lahap sekali Ibu makannya, masakan Ara enak sekali ya, Bu?"goda Mas Hasyim--kembaran suamiku--pada Ibunya.

Sepertinya Ibu ingin berusaha tersenyum merespon anaknya. Terlihat sekali bibir beliau ketarik sedikit dan menyipitkan mata.

Mas Hisyam antusias melihat perubahan pada Ibunya.

Sedangkan Mas Hasyim melirikku dan pandangan kami bertemu, langsung kutarik wajah agar melihat ke bawah.

"Sudah waktunya berangkat, Mas. Takut telat." Aku mengingatkan Mas Hisyam yang melihat ke arahku lalu berdiri.

Aku mengambilkan tas kerjanya dan mengantarkannya sampai ambang pintu.

Tak lupa tangannya kucium dan ia mengecup keningku. Suamiku berlalu hingga tidak terlihat lagi punggung mobilnya. Setelah itu kembali lagi ke dalam, ternyata Ibu sudah dibawa ke kamar oleh Mas Hasyim.

"Ara, tolong kasih obat Ibu, ya! Saya mau berangkat. Titip Ibu," ucap Mas Hasyim padaku seraya membenahi kancing di lengannya.

"Baik, Mas," jawabku mengangguk dan tersenyum kepadanya.

Mas Hasyim berangkat ke kantor, dan aku di rumah bersama Ibu mertua.

Rasanya lega karena tidak canggung berada dengan lelaki yang bukan mahromku.

Ibu tidur selepas minum obat, kini aku mengerjakan apa yang ada dalam rumah ini. Kumulai dengan menyapu lantai, dari teras, ruang tamu, ruang tengah, kamar-kamar dapur dan segala ruang serta bagian belakang. Tak kubiarkan sedikit kotoran menempel lantai.

Aku ingin membuat Ibu mertua dan suamiku senang dengan caraku. Setelah itu, segera mencuci pakaian Ibu, Mas Hisyam suamiku dan Mas Hasyim kembaran suamiku juga bajuku sendiri.

Meskipun pakai mesin cuci rasanya cukup melelahkan, mengeringkan dan menjemur, karena hal-hal itu biasa dilakukan asisten rumah tangga. Bukan berarti tak pernah mencuci, ya ... sering. Hanya saja tak sebanyak ini.

Untuk mengepel biarkan besok saja, tubuhku terasa lelah. Namun tak mengapa, jika segala hal dilakukan dengan ikhlas, insyaallah akan mendatangkan pahala.

Usai sudah urusan pakaian dan mengerjakan segalanya sampai selesai aku pun mandi.

Aku merebahkan diri di atas ranjang, meluruskan tulang punggung sekedar beristirahat, hari sudah mulai siang, jam bertandang sudah pukul setengah sebelas.

Tok! tok!

Terdengar ketukan di pintu kamarku. Siapa, ya? Perasaan Ibu hanya di kamar belum bisa kemana-kemana, dua lelaki di rumah ini pun sedang di kantor. Bi Asih yang selaku ART pun izin cuti pulang kampung karena suaminya meninggal, sampai benar-benar move on, katanya.

Aku masih berpikir. Siapa yang mengetuk pintu itu?

Krek!

Pintu terbuka. Lelaki berjas hitam dengan rambut klimisnya masuk tanpa aku bukakan. Berhubung tak ada orang selain Ibu, maka pintu tidak kukunci.

"Loh, Mas? Kok udah pulang?" tanyaku pada lelaki bertubuh kekar itu.

Ia tersenyum. Kubuka dasinya.

"Ara, kamu cantik sekali pakai baju tidur tipis seperti ini." Terlihat pria itu menelan saliva dari manik di tenggorokannya yang naik turun.

Ara?

Bukankah selama ini Mas Hisyam selalu memanggilku dengan panggilan 'Dek'?

Astaghfirullahal 'adziim, jika dia bukan suamiku sungguh hancur martabatku karena auratku terlihat oleh selain suamiku. Buru-buru kututup dada dengan kedua tangan.

Niat hati untuk merelakskan badan yang lelah, sehingga aku memakai baju tidur ini untuk di kamar saja.

Baju tidur yang menjadi seserahan Mas Hisyam untukku, baru sempat aku mencucinya sebelum aku berangkat ke sini, dan sekarang aku baru sempat mencoba dan memakainya. Aku memakai gamis serta jilbab saat keluar dari kamar ini.

Setiap di dalam kamar, aku lebih sering memakai pakaian pendek, supaya kulitku memiliki waktu untuk bernafas juga.

Tubuhku gemetaran, bahkan aku lupa Mas Hisyam menggunakan kemeja bercorak apa, karena keduanya tadi mengenakan jas, kemeja, dan dasi dengan warna yang sama, hanya saja sedikit beda corak yang bodohnya aku tidak mengingatnya atau karena lelah mengerjakan tugas rumah ini tadi.

Menikah karena ta'aruf yang sebentar sajalah yang membuatku belum begitu hafal tentang perbedaan suamiku dan kembarannya.

Memang, dulu aku adalah adik kelas mereka berdua di suatu Madrasah Aliyah, namun kami tidak saling mengenal, karena Madrasah Aliyah itu begitu besar dan sangat terkenal di kota ini.

Gedung antara putra dan putri pun berbeda, mungkin suatu kuasa Allah aku berjodoh dengan Mas Hisyam yang kebetulan sama almamaternya.

"Ja-jangan mendekat!" ucapku terbata sambil meraih selimut yang tertata di atas ranjang untuk menutupi tubuhku.

"Kenapa, Sayang?" jawabnya dengan tanya kebingungan dan semakin mendekatiku.

"Ka-kamu siapa?" tanyaku gugup.

Bersambung..

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status