Share

7. Fakta Mengejutkan

"Ayah." Aldebaran menyambut ayahnya yang datang membawa koper yang ia yakin berisi beberapa perlengkapan medis. Ayahnya adalah seorang dokter. Dokter yang jenius dan berbakat.

Ayahnya tidak menjawab, justru bersikap seolah tak melihatnya sama sekali.

"Ayah, tunggu!" Alde mengikuti ayahnya yang langsung menerobos masuk ke dalam. "Kania ada di ... Dia—"

Aidan Blackstone berhenti di depan pintu kamar Kania, ia menoleh sebentar ke arah sang putra, kemudian langsung mendorong pintu itu hingga terbuka.

"Ayah." Aldebaran menahan lengan sang ayah. Ia tidak ingin ayahnya melihat Kania yang sedang tidak berbusana, tetapi ayahnya itu mengibaskan tangannya dengan mudah dan langsung mendekati tempat tidur di mana Kania masih mengigau dengan mata terpejam. Ia pun akhirnya hanya bisa pasrah ketika ayahnya sudah mulai memeriksa Kania, menyingkap sedikit selimut di yang menutupi bagian atas tubuh gadis itu.

"Aku tidak melakukan apa-apa, hanya membawanya berendam dengan air hangat untuk meredakan demamnya." Aldebaran menjelaskan ketika ayahnya menoleh dengan tatapan tajam ke arahnya. Meski tidak mengatakan apa pun, Alde cukup tahu arti tatapan itu.

Ayah Alde mengukur suhu tubuh Kania dengan thermogun, kemudian memeriksa kondisi fisik gadis itu. "Cukup tinggi," ucapnya pelan.

"Padahal aku sudah—"

"Diam!" Ayah Alde memotong ucapan anaknya. "Bantu aku memasukkan obat ini lewat duburnya."

"Lewat ... Apa?" Alde membelalak, terkejut oleh ucapan ayahnya. Dan bukannya mendapat jawaban memuaskan, dirinya justru mendapat pukulan keras di kepala.

"Jangan bersikap sok beradab. Dia membutuhkan itu segera!"

"Ayah, tapi ...." Alde tak dapat melanjutkan ucapannya. Hal yang diminta ayahnya sangat ... Yah, Alde tidak menganggapnya jorok sama sekali, tapi itu termasuk bagian tubuh Kania yang paling privasi. Dirinya tidak ingin melanggar privasi itu. Setidaknya, selama mereka belum berada dalam suatu ikatan resmi pernikahan.

"Kalau begitu biar aku lakukan sendiri!" bentak ayah Alde. "Dia demam tinggi dan kau masih berusaha bersikap sok bijaksana? Kau pikir tindakanmu menculiknya di hari pernikahannya itu bijaksana?"

"Tidak! Jangan!" Aldebaran mendelik, tapi kemudian kepalanya mengangguk cepat dengan gugup. "Baiklah, aku saja. Mana obat itu."

Aldebaran menerima obat berbentuk kapsul yang cukup besar itu dengan tangan gemetar. Telinganya sedikit berdenging ketika menerima instruksi dari ayahnya tentang bagaimana cara memasukkan obat itu ke dalam ....

"Cepat!"

"Y-ya!" Aldebaran dengan gugup mendekati bagian bawah tubuh Kania. Tangannya gemetar hingga rasanya tak sanggup bahkan sekedar untuk membuka selimut yang menutupi Kania. Akan tetapi, dirinya pun tidak rela bila hal itu dilakukan oleh ayahnya. Dirinya saja belum pernah melihat bagian itu, jadi, bagaimana bisa dirinya membiarkan ayahnya melihatnya lebih dulu?

Aldebaran menarik turun celana piyama yang masih menempel di tubuh Kania.

"Apa celana itu basah?" Ayahnya bertanya dengan nada tajam.

"Ya, aku belum sempat melepasnya karena Ayah sudah menggedor pintu seperti tadi."

"Bodoh!" Sekali lagi Aldebaran mendapat pukulan di kepalanya. "Cepat lepas celana basah itu atau pindahkan saja dia ke kamar yang lebih kering karena cukup merepotkan kalau harus mengganti seprainya sekarang, sementara dia membutuhkan tempat yang kering dan hangat."

"Ke kamarku saja." Aldebaran langsung menjawab.

"Terserah. Cepat lepas celana itu, masukkan obatnya, dan pindah dia ke kamar lain! Ayah tunggu di luar."

Aldebaran mengikuti instruksi ayahnya dengan cepat, meski dengan perasaan campur aduk. Dirinya akhirnya bisa melihat seluruh bagian tubuh Kania tanpa terkecuali. Gadis itu ternyata memiliki tanda lahir di paha bagian dalam yang membentuk seperti pulau kecil.

"Di-ngin." Alde mendengar Kania merintih dalam tidurnya.

"Iya, Sayang. Tahan sebentar. Aku akan segera memindahkanmu ke kamar sebelah." Aldebaran mendorong masuk obat penurun panas untuk Kania, kemudian membungkus tubuh gadis itu dengan selimut dan membopongnya keluar, menuju kamarnya.

Ayahnya sudah menunggu di dalam kamarnya dan membiarkan pintu kamarnya terbuka hingga ia bisa dengan mudah membawa Kania masuk.

"Pakaikan itu." Ayah Alde menunjuk sebuah baju di samping bantal.

Alde hanya mengangguk dan langsung mengambil blouse yang ditunjuk ayahnya. Bahan blouse itu tipis, dingin dan pastinya longgar. Ia tidak terlalu kesulitan memakaikan blouse itu karena semua kancingnya terletak di depan. Dan sementara ia melakukan itu ayahnya berpura-pura sibuk dengan ponselnya. Itu cukup membuatnya lega. Ayahnya memang sosok yang jahil dan terkadang tukang ikut campur urusan semua anggota keluarganya, tapi Alde menaruh hormat luar biasa pada sosok itu karena meski suka ikut campur, ayahnya tahu kapan harus memberi ruang untuk anak-anaknya dan orang lain.

Tiba-tiba saja dada Alde dipenuhi oleh rasa haru dan sayang yang tercurah untuk ayahnya itu. Jika dia adalah ayah orang lain, mungkin saat ini dirinya sudah dihajar atau bahkan dicoret dari nama keluarga karena telah menciptakan masalah kepada keluarganya. Masalah yang bisa berdampak banyak pada bisnis dan nama baik keluarganya. Akan tetapi, ayahnya tidak melakukan itu. Dia datang untuk memeriksa Kania. Mungkin, kakak dan adik-adiknya sudah menceritakan apa yang telah terjadi. Ohh, dirinya tidak bisa menyalahkan saudara-saudaranya yang sudah membocorkan semua kepada ayahnya karena cepat atau lambat ayahnya itu pasti tahu.

Setelah memakaikan baju untuk Kania, Alde duduk diam di tepi tempat tidur, menyaksikan wajah Kania yang terlihat mulai tenang. Sepertinya obat yang diberikan ayahnya telah bereaksi.

"Minggir!" Ayah Alde tiba-tiba saja sudah berdiri di samping tempat tidur. Ia mendorong tubuh sang putra untuk menyingkir agar dirinya bisa memeriksa kondisi Kania dengan lebih baik. Setelah itu, ia pun membuka kopernya dan mengeluarkan beberapa peralatan medis. "Paru-parunya kemasukan air laut. Tidak terlalu fatal, tapi tetap saja itu bisa berbahaya bila dibiarkan. Ia juga mengalami radang."

Alde mendengarkan ucapan ayahnya tanpa sepenuhnya paham apa saja yang ayahnya jelaskan. Yang ada di pikirannya hanya agar Kania-nya seperti sedia kala. Apa pun akan ia lakukan untuk itu. Karena sejak awal, itulah yang selalu ia perankan untuk Kania, 'Dewa Penyelamat'.

****

Aldebaran menatap ayahnya dengan ekspresi tak percaya. Ayahnya baru saja berkata bahwa dia mendukung tindakan Aldebaran menculik Kania. Ohh, demi Tuhan! Apa yang sudah merasuki Aidan Blackstone sampai bisa mengatakan hal berbahaya itu.

"Aldev dan Alden sudah menyelidiki semuanya dan ada beberapa fakta mengejutkan yang mereka dapat."

Alde tak mengatakan apa pun, tapi tatapannya mengisyaratkan agar ayahnya melanjutkan apa saja yang hendak dikatakan.

"Kau tahu, kan, sekretaris Sulthan begitu tergila-gila pada Aldev?" Ayah Alde tersenyum geli ketika mengatakan itu. "Nah, Aldev berhasil memikatnya untuk pergi berdua dan satu fakta dia dapatkan. Sulthan penyuka sesama jenis."

"Apa!?" Alde tidak hanya terkejut mengetahui fakta itu. Ia syok. Apalagi ketika mengingat interaksinya selama ini bersama Sulthan. Mereka berjabat tangan dan berpelukan setiap kali berhasil memenangkan proyek yang akan mereka tangani, bahkan, berenang bersama ketika mereka berdua pergi ke Bali untuk mengunjungi proyek pembangunan resort yang mereka tangani.

"Kau pernah melakukan sesuatu dengannya?" Ayah Alde terkekeh geli melihat ekspresi terpukul di wajah sang putra. "Sulthan memiliki kekasih dan mereka berencana menikah di Vegas."

"Aku tak percaya itu. Jika, memang benar begitu, lalu kenapa dia menikahi Kania. Bahkan, sangat terobsesi kepada Kania?"

"Itu pertanyaan menarik." Ayah Alde mencondongkan tubuhnya ke depan, kemudian dengan pelan ia menjelaskan satu hal yang jauh lebih mengejutkan daripada fakta bahwa Sulthan adalah penyuka sesama jenis.

"Ayah pasti bercanda!" Kali ini Aldebaran benar-benar dibuat merinding sekaligus jijik. "Itu tidak mungkin."

"Adik-adikmu melanjutkan pencarian informasi. Mereka berhasil menyogok sopir pribadi ayah Sulthan. Dan dia yang menjelaskan semuanya hingga rencana ayah Sulthan terhadap Kania."

"Rencananya pada Kania?" Aldebaran limbung, tidak bisa membayangkan rencana jahat apa yang akan mereka timpakan kepada Kania.

"Ya." Ayah Alde memasang wajah serius. "Aku tahu kau mungkin tak mau mendengarnya dan bagian ini yang membuatku menyetujui tindakanmu menculik gadis itu, membebaskan dia dari bencana yang akan dia dapatkan jika pernikahan kemarin berlangsung lancar.

Ayah Sulthan adalah sosok yang terlalu serakah dan gila harta. Sulthan adalah putra satu-satunya dan kenyataan bahwa Sulthan ternyata tidak akan pernah menghasilkan pewaris membuatnya marah dan putus asa. Selain nama baiknya bisa hancur, dia pun tidak bisa merelakan harta dan kekuasaannya jatuh kepada pihak yang bukan keturunannya langsung. Untuk itulah dia memaksa Sulthan menikah. Dengan begitu, nama baik mereka akan tetap terjaga karena tidak akan ada yang curiga atau percaya bahwa Sulthan penyuka sesama jenis dan untuk Kania," ayah Alde diam sebentar, menimbang kata-kata yang tepat untuk diucapkan.

"Yah, kau sudah tahu bahwa ayah Sulthan adalah mata keranjang yang menyukai gadis-gadis muda. Jadi, dia dengan senang hati akan mendapatkan pewaris yang berasal dari keturunannya langsung melalui Kania. Sementara itu, Sulthan akan bepergian dengan kekasihnya ke Vegas untuk meresmikan hubungan mereka ke dalam sebuah ikatan pernikahan."

"A-ap ...." Alde benar-benar kehilangan kata-kata. Perutnya terasa mual membayangkan lelaki tua Bangka itu mencumbu dan menyentuh Kania-nya. Kedua telapak tangannya mengepal tanpa sadar. Ia marah pada rencana busuk Sulthan dan keluarganya. "Bagaimana bisa mereka melakukan itu?"

"Yah, intinya kita tidak usah mempermasalahkan kelainan mereka karena sekarang Kania sudah selamat dari malapetaka itu. Akan tetapi, masalah menjadi lebih rumit karena beberapa waktu lalu sempat membantu bisnis ayah Kania yang hampir kolaps. Jumlah yang Sulthan keluarga tidak bisa dibilang sedikit. Sepertinya dia dan ayahnya sengaja membantu ayah Kania dengan tujuan menjebak Kania ke dalam sebuah pernikahan dengan cara yang mulus.

Kania dan keluarganya pasti merasa berutang budi. Pada saat seperti itu Sulthan pun masuk dan menawarkan sebuah pernikahan dengan mahar piutangnya pada ayah Kania."

"Jadi, ketika pernikahan itu batal, makan itu berarti keluarga Kania harus membayar semua utang-utang itu?"

"Praktisnya begitu, tapi kita belum tahu dibalik itu semua apakah ayah Kania sengaja terlibat untuk menjerumuskan Kania atau memang benar-benar tidak tahu apa-apa. Kita harus menyelidiki itu lebih dalam lagi. Jadi, selama hal itu belum bisa dipastikan, jangan dulu muncul di depan publik atau menghubungi ayah Kania."

Aldebaran mengangguk. "Aku memang tidak berencana untuk kembali sampai Kania bersedia membatalkan pernikahannya dengan Sulthan dan menikah denganku."

"Hah!" Ayah Alde mendengus keras. "Bodoh! Masak mengatasi satu gadis saja tak bisa? Pengecut! Untuk apa menyia-nyiakan tujuh tahun tanpa melakukan aksi yang pasti selain mengirim bunga, menguntit, dan mengawasinya dari jauh."

Alde diam mendengar cemoohan ayahnya. Dirinya sudah terbiasa dengan itu. Ayahnya memang suka sekali mengolok anak-anaknya, tapi semua itu hanya diniatkan sebagai cambuk agar anak-anaknya bisa bergerak lebih cepat seperti kuda yang dicambuk penunggangnya. "Ayah tahu?"

Ayah Alde tertawa dengan keras, kemudian kembali mengolok Aldebaran. "Kenapa harus tidak tahu bahwa kau sering mengambil video gadis itu diam-diam dan menonton video itu setiap malam ketika kau pikir seluruh anggota keluargamu sudah tidur."

"Ayah menggeledah kamarku?!"

"Aku tak punya waktu untuk melakukan itu, Bodoh!"

Begitulah, Alde dan ayahnya terus berdebat tentang bagaimana ayahnya bisa tahu bahwa selama.tujuh tahun ini dirinya telah menguntit dan memata-matai seorang gadis. Sementara itu, gadis yang dibicarakan sedang menguping pembicaraan mereka dengan hati hancur.

Kania menutup mulut dengan kedua tangan untuk meredam tangisnya. Ia tadi bangun karena merasa sangat kehausan dan beranjak keluar kamar untuk mengambil air di dapur. Karena belum terlalu hapal dengan lorong-lorong yang ada di rumah itu, ia malah menuju ke ruang tengah di mana Alde dan ayahnya sedang berbincang. Ia mendengar semua yang mereka bicarakan, termasuk rencana ayah Sulthan yang berniat mengelabui dirinya demi mendapatkan seorang pewaris.

Hatinya teriris perih mengingat niat tulusnya untuk membalas budi baik Sukthan juga demi ayahnya ternyata justru dimanfaatkan untuk hal yang sungguh keji. Ia tidak tahu ayahnya terlibat pada persekongkolan itu atau tidak, tapi jauh di dalam lubuk hati Kania, ia berharap bahwa ayahnya tidak melakukan itu. Hatinya akan benar-benar hancur jika ternyata ayahnya mengumpankan dirinya kepada Sulthan dan ayahnya.

Kania kembali ke kamar—batal mengambil minum—dan menangis di sana, mengingat perjuangannya untuk kembali kepada Sulthan tadi sampai membahayakan nyawanya sendiri.

Tubuhnya bergetar hebat membayangkan apa yang akan menimpanya saat ini jika pernikahannya kemarin telah dilaksanakan. Mungkin saat ini dirinya dan ayah Sulthan ....

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status