Share

PART 1

Asap hitam pekat membumbung tinggi ke langit, menghasilkan gumpalan raksasa yang mengerikan. Bau menyengat serasa meracuni hidung dan tenggorokanku hingga membuatku sesak napas. Suara jeritan, tangis, dan tawa bercampur menjadi satu bak air dan angin di samudera.

Aku, turut berada dalam suasana itu. Terbaring lemah tak berdaya di atas rerumputan dengan tubuh penuh luka. Kulitku penuh dengan luka hingga membuat kulitku berlumuran darah. Dengan pandangan mata yang kabur, kulihat seorang anak laki-laki berumur sekitar tujuh tahun dengan rambut merah dan kulit pucat serta taring yang panjang, berdiri di depanku dan mengarahkan telunjuknya ke arahku.

Sebuah cahaya keunguan muncul dari telunjuknya dan berputar-putar membentuk pusaran kecil. Tak tahu apa yang akan dilakukannya, namun sepertinya Ia ingin melukaiku. Secepat kilat, seorang pria dengan jubah hitam menghunus pedang padanya. Aku menjerit, seketika duniaku terasa berputar-putar. Api, asap, pedang, darah, sentakan peluru, dan suara jeritan menggema di pikiranku hingga akhirnya tak sanggup menguasai diri.

Segera kusadari bahwa itu hanyalah mimpi. Tepatnya kenangan buruk di masa lalu yang sering menghantui dan muncul secara acak sebagai mimpi buruk. Aku menarik napas panjang dan turun dari tempat tidur. Keringat membasahi tubuh dan kepalaku terasa pusing. Ini bukan pertama kalinya aku mengalami mimpi buruk itu. Emma yang ranjangnya bersebelahan denganku, terbangun karena suara-suara yang kubuat.

“Jenna, ada apa? Kau mimpi buruk?” tanya Emma dengan mata yang setengah terpejam.

“Ya, mimpi itu lagi. Mungkin sudah ratusan kali aku mengalaminya.” Aku menarik napas panjang dan menyibakkan rambutku ke belakang.

“Em, apa kau masih merasa takut dengan kejadian itu? “

“Terkadang aku masih memikirkannya. Kita masih sangat muda waktu itu, mengingat itu tahun pertamaku 

menjadi Hunters. Ku pikir kau sedikit lebih baik karena telah memasuki tahun kedua.”

“Tidak Em, kita semua ketakutan, sangat ketakutan” jawabku lirih.

Kuhempaskan tubuh ke kasur seraya memejamkan mata berharap bisa tertidur lagi dengan tenang tanpa mimpi buruk apapun. Setelah sekian lama, aku belum juga tertidur. Mataku terasa pedas, dan pikiranku masih dipenuhi dengan bayangan-bayangan mengerikan.

Peristiwa itu terjadi tiga tahun lalu saat aku pertama kali terjun dalam misi perburuan penyihir. Saat itu, terjadi terror besar-besaran dari para penyihir hitam yang menyebarkan berbagai wabah penyakit serta kerusuhan di kota. Melihat hal itu tentu saja kami tak tinggal diam. 

Setelah mendapat lencana dan resmi terdaftar dalam anggota Glaze di umurku yang ke enam belas, aku mengawali misi pertamaku dengan menyerang Willeth, sebuah desa penyihir di sebelah barat Greenleaves, hutan yang berbatasan langsung denganYork. Namun semua tak berjalan seperti yang kubayangkan. Glaze yang memiliki puluhan pasukan, tak sanggup melawan sejumlah penyihir yang memang menggunakan sihir dalam setiap pertempuran.

Pasukan kami kocar-kacir, beberapa penyihir kemudian membakar desa mereka sehingga kami terjebak disana dan disaat itulah aku tergeletak tak berdaya hingga akhirnya Alden menyelamatkan nyawaku dari seorang penyihir kecil yang berusaha membunuhku. 

Kurasa fajar sudah hampir menjelang saat aku terbangun dari mimpi buruk. Kemudian dari luar terdengar suara yang mengejutkan.

“DARR”

Suara yang tak asing di telingaku. Suara saat sebuah peluru dihempaskan dari senapannya. 

“Ada apa ini? Kenapa kita harus berkumpul pagi sekali?” Emma bertanya-tanya.

“Entahlah Em. Pasti sesuatu telah terjadi.”

Tembakan satu kali ke udara, tanda bahwa kami harus segera berkumpul di lapangan. Salah satu rutinitas kami sebagai Hunters entah untuk latihan ataupun misi sungguhan. Tetapi mengumpulkan kami di pagi buta seperti ini cukup menimbulkan pertanyaan.

Kemudian tembakan itu terdengar lagi.

DARR! DARR!

Tembakan dua kali, artinya harus berkumpul dalam waktu sepuluh menit. Tanpa aba-aba, aku dan Emma segera melesat dari tepat tidur. Kusambar handuk dan  hanya perlu sepuluh menit untuk mencuci muka, kemudian sisanya untuk bersiap-siap. Aku tak sempat menyisir rambutku dan hanya merapikannya dengan jari. Kami hampir terlambat tiba di lapangan.

Semua orang telah berkumpul disana dengan senjata lengkap. Aku sendiri memegang senapan angin, serenteng peluru, dan anak panah tanpa busur di punggung. Sepertinya ada alasan khusus kenapa kami dikumpulkan sepagi ini dengan persenjataan lengkap. Aku curiga, mungkin perang akan kembali tersulut.

Aku menoleh ke sekitar dan Alden berdiri tepat di belakangku. Ya, Alden. Dia sahabatku sejak kecil, bahkan kami sudah bersahabat sebelum aku mengenal Emma. Kami telah melewati semuanya bersama. Bermain-main, tumbuh, berlatih selama menjadi taruna Glaze, dan berjuang bersama. Bahkan dia telah menyelamatkan nyawaku dalam peristiwa tiga tahun lalu ketika aku hampir terbunuh oleh seorang penyihir kecil.

Kemudian ia maju dan berdiri di sampingku, menunjukkan senyumya seperti biasa dan sedikit heran melihatku.

“Hei! Kau berantakan sekali. Apa kau bangun kesiangan?” tebakannya sangat tepat.

“Bagaimana kau tahu? Apa Emma mengatakannya padamu?” tanyaku.

“Tentu saja aku tahu. Kau pasti terburu-buru hingga tak sempat menyisir rambutmu.” ujarnya dengan tertawa.

“Emma tak mengatakan apapun padaku, bahkan aku belum melihatnya pagi ini.”

Aku memukul lengannya dan dia menggerutu. Kami mencoba untuk menahan tawa, saat  pemimpin pasukan Glaze datang, Chaz Egerton. Ayahku adalah pemimpin Glaze secara keseluruhan sementara Chaz adalah komandan pasukan pemburu atau sering disebut Hunters.

Glaze adalah sebuah klan atau keluarga yang selama puluhan tahun membasmi para penyihir gelap yang berusaha menyebabkan kekacauan, menyebarkan wabah penyakit, terror, dan sebagainya. Glaze tidak hanya terdiri dari para pemburu, tapi juga para tabib dan orang-orang yang berkomitmen untuk memerangi praktek sihir. 

Para Hunters berjumlah empat puluh satu orang termasuk Chaz dan dibagi menjadi delapan regu dengan seorang komandan di setiap regunya. Kami berbaris sesuai regu masing-masing dengan kedua tangan memegang senapan dan sebuah belati terselip di sepatu bot.

“Sudah cukup lama kita tak berkumpul seperti ini. Tetapi aku yakin kalian mengerti alasan mengapa kalian disiagakan! Aku telah mendengar kabar bahwa di perkampungan penyihir yang telah porak poranda itu dicurigai ada dua orang penyihir yang berkeliaran disana.”

Sebelum Chaz melanjutkan ucapannya, Kingsleigh, komandan regu kami menyelanya. “Bagaimana kau bisa tahu bahwa mereka penyihir? Apa ada bukti yang jelas?” 

“Memangnya siapa yang akan berkeliaran di tempat yang telah hancur jika itu bukan tempat kelahiran mereka? Francis Blake dan dua orang lainya benar-benar telah melihat dua orang penyihir di sana, dan kita bisa mempercayai perkataannya!” Chaz menjawab dengan tegas dan yakin. 

“Tapi sepertinya penyihir dengan kemampuan seperti itu telah musnah bersamaan dengan kehancuran kita! Dan mereka tidak pernah muncul kembali setelah itu.” Aku menyela pembicaraannya.

Chaz menatap ke arahku dan terdiam selama beberapa saat, “Nona Jennifer, tiga tahun adalah waktu yang cukup bagi mereka untuk memulihkan diri.” Jawabnya seraya berjalan ke arahku.

Apa kau yakin penyihir itu sudah mati?” Chaz berbisik padaku dari belakang kemudian kembali ke depan dan melanjutkan.

“Kita melakukan hal ini bukan tanpa alasan. Francis Blake melihat dua orang berjubah hitam berjalan di perkampungan penyihir dengan salah satu dari mereka mengeluarkan the violets yang berputar-putar dari telunjuknya. Hanya mereka yang terkuatlah yang bisa melakukannya. Hal ini tidak boleh dibiarkan! Jika lengah sedikit saja, mereka akan menimbulkan kekacauan dalam waktu singkat.” Chaz berjalan mondar mandir dan berusaha terlihat tenang walaupun Ia tampak sedikit panik. 

Kemudian Ayahku mulai bicara setelah sejak tadi berdiri di belakang Chaz.

“Semuanya dengar! Sekalipun perkampungan itu telah hancur, tapi penghuninya tidak. Mereka bisa saja kembali untuk balas dendam, terutama pada kita.” ujar Ayahku,

“Mereka memang telah pergi, tapi mereka masih ada dan akan kembali lagi untuk menyerang kita. Aku memang memerintahkan kalian untuk melakukan pengamanan. Tapi sekali lagi aku tak ingin ada kesalahpahaman. Jangan sampai kalian menangkap orang yang tidak bersalah!”

Aku tahu bahwa ayahku memang pemimpin yang bijaksana. Dia akan selalu memikirkan segalanya dengan matang. Jadi  tentang para penyihir itu mungkin saja memang benar. Ku akui aku memang agak merasa takut untuk berhadapan dengan mereka. Penyihir dengan kemampuan the violets dapat membunuh semua musuh mereka hanya dengan sekali sapuan, dan kami tak akan berdaya melawannya. Penampilan mereka sudah cukup membuatku tegang dengan taring, wajah yang mengerikan, dan tentu saja sihir hitam yang mampu membunuh siapapun termasuk Hunters sekalipun.

“Hei Jenna, kenapa kau diam saja? Kau takut?” Alden menatapku penuh rasa penasaran.

“Sedikit.” Aku menghembuskan napas panjang dan mencoba menenangkan diri.

“Kau salah satu Hunters termuda di tempat ini. Kebanyakan akan mulai mendapat lencana di umur enam belas, sedangkan kau melakukannya setahun lebih awal.”

“Terima kasih sudah berusaha menghiburku.” ujarku sambil menepuk nepuk bahunya.

Chaz memberi perintah pada kami untuk mengangkat senjata, secara bersamaan kami mengangkat senapan dan menempelkannya di dada. 

“Bagus! Turunkan! Kita sudah siap dengan misi ini, dan kita akan bergerak hari ini juga! Mr. Blake telah menunjukkan tempat dia melihat dua penyihir itu, dan beberapa dari kalian akan ditugaskan disana!” 

Kulihat Chaz dan ayahku berbisik membicarakan sesuatu. Kemudian Chaz membubarkan pasukan dengan menembakkan senjata ke angkasa, pertanda bahwa kami sudah mulai disiagakan. Seperti biasa kami berkumpul di markas besar Glaze atau yang kami sebut sebagai rumah besar sepuluh menit sebelum diterjunkan.

Bangunan itu dapat menampung seluruh anggota Glaze yang berjumlah sekitar delapan puluh orang. Beberapa puluh rumah para anggota Glaze dibangun mengelilingi tembok pembatas membentuk huruf U, menghadap lapangan sebagai pusat latihan.

Rumah besar hanya memiliki sedikit ventilasi sehingga obor-obor masih dibiarkan menyala dan cat berwarna gading yang tidak dilapis ulang selama beberapa tahun mulai terlihat menghitam akibat kepulan asap. Aku dan Alden segera menuju ruangan kami. Setiap regu yang terdiri dari lima orang memiliki ruangan rapat tersendiri. Aku, Alden, Emma, dan Marlon adalah regu ke-satu dengan Kingsleigh sebagai pemimpin kami. 

“Aku tak yakin bahwa apa yang dikatakan Francis benar. Sepertinya tak mungkin ada penyihir berkeliaran di sekitar daerah ini. Lagipula kita tak mungkin mencari dua orang yang dicurigai sebagai penyihir tanpa bukti yang jelas!. Kita harus menyusuri bekas perkampungan penyihir, dan itu cukup berbahaya.” Kingsleigh terlihat sangat jengkel.

“Kau benar Kingsleigh. Penyihir dengan kemampuan The Violets sepertinya tak ada yang tersisa, dan penyihir kecil yang dibunuh Alden saat itu kurasa adalah yang terakhir!” ujarku.

“Betul kan, Alden?”. tanyaku seraya melirik Alden yang berdiri di dekat jendela. Ia hanya mengangguk.

“Tapi tidak mustahil jika kemampuan itu diwariskan pada generasi selanjutnya, dan aku percaya pada Blake.” Marlon menimpali

Aku ingin bertemu dengan Ayah saat ini juga. Aku perlu bicara dengannya tentang hal ini. Ayah  berdiri menghadap jendela besar yang menghadap ke lapangan di ruangan utama. Sepertinya Ia tak mendengar langkah kakiku tapi kemudian Ia berbalik.

“Jenna!” 

“Ayah,” aku memeluknya. “Apa kita akan berperang lagi?”

“Kita memang selalu melakukannya sepanjang hidup, karena itulah tugas kita. Ayah yakin semua akan baik-baik saja. Kau gadis pemberani Jenna, dan kau akan selalu seperti itu.”

“Tapi dalam pertempuran tiga tahu  lalu kita hampir kehilangan segalanya. Aku tak tahu bagaimana nasibku jika Alden tak ada disana saat itu.”

“Kau benar. Tapi pertempuran itu bukan akhir dari segalanya. Mereka akan membalas dendam dan terus berusaha untuk menguasai dunia ini dengan kekuatan jahat mereka!”

“Aku akan melakukan apapun untuk melawan mereka Ayah, aku janji.”

“Ayah menyayangimu Jenna.”

Aku berjalan menyusuri koridor untuk kembali ke ruanganku. Kulihat Francis Blake berjalan ke arahku dengan senyuman aneh.

“Hai Jenna. Apa kau siap bertempur? jika kuingat peristiwa tiga tahun lalu kurasa kau tak akan mau mengulanginya.”

“Apa maksudmu Blake?” tanyaku ketus.

“Tentu saja kau tahu maksudku. Kau penuh dengan luka waktu itu. Wajahmu penuh dengan darah dan kau hampir mati. Kalau aku jadi Ayahmu aku akan menyuruhmu untuk pensiun dini!” ujarnya dengan tawa mengejek.

“Jika aku jadi kau, aku lebih memilih mati berperang daripada harus bersembunyi dan berpura-pura sakit layaknya seorang pengecut!” aku berjalan meninggalkannya dan menyenggol tubuhnya dengan keras hingga tubuhnya membentur tembok.

“Kau sangat keras kepala Jenna!”

Aku tak menghiraukan ucapan Francis. Dia memang gila dan aku sangat membencinya. Francis dan aku sering bersaing saat kecil. Dia mengatakan aku sombong dan memanfaatkan posisi ayahku sebagai pemimpin tertinggi Glaze. Tapi aku tahu maksudnya. Francis iri padaku dan terus berusaha agar lebih baik dariku. Namun saat perang tiga tahun lalu, aku dan Emma tahu bahwa dia berpura-pura sakit agar bisa meninggalkan Willeth lebih dulu, sehingga dia bisa selamat dari perang tanpa terluka sama sekali. Aku sempat memakinya beberapa hari setelah kejadian itu. Ia tak terima dan balas menghinaku.

Sejak saat itu hubungan kami semakin memburuk dan kami tak pernah akur lagi. Kurasa Ia memang suka memercikkan api permusuhan padaku. Dengan rasa marah kubanting pintu kamar hingga membuat daun pintu itu berdenyit keras. Emma terkejut karenanya.

“Hei! Ada apa?”

“Francis!” 

“huuh… dia tak akan pernah berhenti membuat masalah denganmu!”

Sebelum aku sempat meneruskan, tembakan ketiga berbunyi.

DARR! DARR! DARR!

Itu tanda bahwa kami harus segera merapat ke lapangan. 

Dengan sigap kami segera meninggalkan ruangan untuk bergabung ke barisan. Chaz memerintahkan kami semua untuk diam dan mengecek persenjataan. Seperti biasa, aku selalu membawa panah dan senapan.

Setelah pembagian tugas, reguku, regu empat harus menelusuri daerah yang bernama Windstone. Daerah terdingin dan paling sepi di sebelah barat York yang berbatasan langsung dengan hutan Greenleaves, dan jika berjalan terus ke barat akan terlihat reruntuhan Willeth. Tidak ada manusia yang tinggal di wilayah ini karena keadaannya yang cukup buruk, bahkan hewan pun jarang terlihat di tempat ini. 

Tanpa perlu waktu lama, Chaz membubarkan kami dan masing-masing regu menuju ke tempat yang telah ditentukan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status