Asap hitam pekat membumbung tinggi ke langit, menghasilkan gumpalan raksasa yang mengerikan. Bau menyengat serasa meracuni hidung dan tenggorokanku hingga membuatku sesak napas. Suara jeritan, tangis, dan tawa bercampur menjadi satu bak air dan angin di samudera.
Aku, turut berada dalam suasana itu. Terbaring lemah tak berdaya di atas rerumputan dengan tubuh penuh luka. Kulitku penuh dengan luka hingga membuat kulitku berlumuran darah. Dengan pandangan mata yang kabur, kulihat seorang anak laki-laki berumur sekitar tujuh tahun dengan rambut merah dan kulit pucat serta taring yang panjang, berdiri di depanku dan mengarahkan telunjuknya ke arahku.
Sebuah cahaya keunguan muncul dari telunjuknya dan berputar-putar membentuk pusaran kecil. Tak tahu apa yang akan dilakukannya, namun sepertinya Ia ingin melukaiku. Secepat kilat, seorang pria dengan jubah hitam menghunus pedang padanya. Aku menjerit, seketika duniaku terasa berputar-putar. Api, asap, pedang, darah, sentakan peluru, dan suara jeritan menggema di pikiranku hingga akhirnya tak sanggup menguasai diri.
Segera kusadari bahwa itu hanyalah mimpi. Tepatnya kenangan buruk di masa lalu yang sering menghantui dan muncul secara acak sebagai mimpi buruk. Aku menarik napas panjang dan turun dari tempat tidur. Keringat membasahi tubuh dan kepalaku terasa pusing. Ini bukan pertama kalinya aku mengalami mimpi buruk itu. Emma yang ranjangnya bersebelahan denganku, terbangun karena suara-suara yang kubuat.
“Jenna, ada apa? Kau mimpi buruk?” tanya Emma dengan mata yang setengah terpejam.
“Ya, mimpi itu lagi. Mungkin sudah ratusan kali aku mengalaminya.” Aku menarik napas panjang dan menyibakkan rambutku ke belakang.
“Em, apa kau masih merasa takut dengan kejadian itu? “
“Terkadang aku masih memikirkannya. Kita masih sangat muda waktu itu, mengingat itu tahun pertamaku
menjadi Hunters. Ku pikir kau sedikit lebih baik karena telah memasuki tahun kedua.”“Tidak Em, kita semua ketakutan, sangat ketakutan” jawabku lirih.
Kuhempaskan tubuh ke kasur seraya memejamkan mata berharap bisa tertidur lagi dengan tenang tanpa mimpi buruk apapun. Setelah sekian lama, aku belum juga tertidur. Mataku terasa pedas, dan pikiranku masih dipenuhi dengan bayangan-bayangan mengerikan.Peristiwa itu terjadi tiga tahun lalu saat aku pertama kali terjun dalam misi perburuan penyihir. Saat itu, terjadi terror besar-besaran dari para penyihir hitam yang menyebarkan berbagai wabah penyakit serta kerusuhan di kota. Melihat hal itu tentu saja kami tak tinggal diam.
Setelah mendapat lencana dan resmi terdaftar dalam anggota Glaze di umurku yang ke enam belas, aku mengawali misi pertamaku dengan menyerang Willeth, sebuah desa penyihir di sebelah barat Greenleaves, hutan yang berbatasan langsung denganYork. Namun semua tak berjalan seperti yang kubayangkan. Glaze yang memiliki puluhan pasukan, tak sanggup melawan sejumlah penyihir yang memang menggunakan sihir dalam setiap pertempuran.
Pasukan kami kocar-kacir, beberapa penyihir kemudian membakar desa mereka sehingga kami terjebak disana dan disaat itulah aku tergeletak tak berdaya hingga akhirnya Alden menyelamatkan nyawaku dari seorang penyihir kecil yang berusaha membunuhku.
Kurasa fajar sudah hampir menjelang saat aku terbangun dari mimpi buruk. Kemudian dari luar terdengar suara yang mengejutkan.
“DARR”
Suara yang tak asing di telingaku. Suara saat sebuah peluru dihempaskan dari senapannya.
“Ada apa ini? Kenapa kita harus berkumpul pagi sekali?” Emma bertanya-tanya.
“Entahlah Em. Pasti sesuatu telah terjadi.”
Tembakan satu kali ke udara, tanda bahwa kami harus segera berkumpul di lapangan. Salah satu rutinitas kami sebagai Hunters entah untuk latihan ataupun misi sungguhan. Tetapi mengumpulkan kami di pagi buta seperti ini cukup menimbulkan pertanyaan.
Kemudian tembakan itu terdengar lagi.
DARR! DARR!Tembakan dua kali, artinya harus berkumpul dalam waktu sepuluh menit. Tanpa aba-aba, aku dan Emma segera melesat dari tepat tidur. Kusambar handuk dan hanya perlu sepuluh menit untuk mencuci muka, kemudian sisanya untuk bersiap-siap. Aku tak sempat menyisir rambutku dan hanya merapikannya dengan jari. Kami hampir terlambat tiba di lapangan.
Semua orang telah berkumpul disana dengan senjata lengkap. Aku sendiri memegang senapan angin, serenteng peluru, dan anak panah tanpa busur di punggung. Sepertinya ada alasan khusus kenapa kami dikumpulkan sepagi ini dengan persenjataan lengkap. Aku curiga, mungkin perang akan kembali tersulut.
Aku menoleh ke sekitar dan Alden berdiri tepat di belakangku. Ya, Alden. Dia sahabatku sejak kecil, bahkan kami sudah bersahabat sebelum aku mengenal Emma. Kami telah melewati semuanya bersama. Bermain-main, tumbuh, berlatih selama menjadi taruna Glaze, dan berjuang bersama. Bahkan dia telah menyelamatkan nyawaku dalam peristiwa tiga tahun lalu ketika aku hampir terbunuh oleh seorang penyihir kecil.
Kemudian ia maju dan berdiri di sampingku, menunjukkan senyumya seperti biasa dan sedikit heran melihatku.
“Hei! Kau berantakan sekali. Apa kau bangun kesiangan?” tebakannya sangat tepat.
“Bagaimana kau tahu? Apa Emma mengatakannya padamu?” tanyaku.
“Tentu saja aku tahu. Kau pasti terburu-buru hingga tak sempat menyisir rambutmu.” ujarnya dengan tertawa.
“Emma tak mengatakan apapun padaku, bahkan aku belum melihatnya pagi ini.”
Aku memukul lengannya dan dia menggerutu. Kami mencoba untuk menahan tawa, saat pemimpin pasukan Glaze datang, Chaz Egerton. Ayahku adalah pemimpin Glaze secara keseluruhan sementara Chaz adalah komandan pasukan pemburu atau sering disebut Hunters.
Glaze adalah sebuah klan atau keluarga yang selama puluhan tahun membasmi para penyihir gelap yang berusaha menyebabkan kekacauan, menyebarkan wabah penyakit, terror, dan sebagainya. Glaze tidak hanya terdiri dari para pemburu, tapi juga para tabib dan orang-orang yang berkomitmen untuk memerangi praktek sihir.
Para Hunters berjumlah empat puluh satu orang termasuk Chaz dan dibagi menjadi delapan regu dengan seorang komandan di setiap regunya. Kami berbaris sesuai regu masing-masing dengan kedua tangan memegang senapan dan sebuah belati terselip di sepatu bot.
“Sudah cukup lama kita tak berkumpul seperti ini. Tetapi aku yakin kalian mengerti alasan mengapa kalian disiagakan! Aku telah mendengar kabar bahwa di perkampungan penyihir yang telah porak poranda itu dicurigai ada dua orang penyihir yang berkeliaran disana.”
Sebelum Chaz melanjutkan ucapannya, Kingsleigh, komandan regu kami menyelanya. “Bagaimana kau bisa tahu bahwa mereka penyihir? Apa ada bukti yang jelas?”
“Memangnya siapa yang akan berkeliaran di tempat yang telah hancur jika itu bukan tempat kelahiran mereka? Francis Blake dan dua orang lainya benar-benar telah melihat dua orang penyihir di sana, dan kita bisa mempercayai perkataannya!” Chaz menjawab dengan tegas dan yakin.
“Tapi sepertinya penyihir dengan kemampuan seperti itu telah musnah bersamaan dengan kehancuran kita! Dan mereka tidak pernah muncul kembali setelah itu.” Aku menyela pembicaraannya.
Chaz menatap ke arahku dan terdiam selama beberapa saat, “Nona Jennifer, tiga tahun adalah waktu yang cukup bagi mereka untuk memulihkan diri.” Jawabnya seraya berjalan ke arahku.
Apa kau yakin penyihir itu sudah mati?” Chaz berbisik padaku dari belakang kemudian kembali ke depan dan melanjutkan.
“Kita melakukan hal ini bukan tanpa alasan. Francis Blake melihat dua orang berjubah hitam berjalan di perkampungan penyihir dengan salah satu dari mereka mengeluarkan the violets yang berputar-putar dari telunjuknya. Hanya mereka yang terkuatlah yang bisa melakukannya. Hal ini tidak boleh dibiarkan! Jika lengah sedikit saja, mereka akan menimbulkan kekacauan dalam waktu singkat.” Chaz berjalan mondar mandir dan berusaha terlihat tenang walaupun Ia tampak sedikit panik.
Kemudian Ayahku mulai bicara setelah sejak tadi berdiri di belakang Chaz.
“Semuanya dengar! Sekalipun perkampungan itu telah hancur, tapi penghuninya tidak. Mereka bisa saja kembali untuk balas dendam, terutama pada kita.” ujar Ayahku,“Mereka memang telah pergi, tapi mereka masih ada dan akan kembali lagi untuk menyerang kita. Aku memang memerintahkan kalian untuk melakukan pengamanan. Tapi sekali lagi aku tak ingin ada kesalahpahaman. Jangan sampai kalian menangkap orang yang tidak bersalah!”
Aku tahu bahwa ayahku memang pemimpin yang bijaksana. Dia akan selalu memikirkan segalanya dengan matang. Jadi tentang para penyihir itu mungkin saja memang benar. Ku akui aku memang agak merasa takut untuk berhadapan dengan mereka. Penyihir dengan kemampuan the violets dapat membunuh semua musuh mereka hanya dengan sekali sapuan, dan kami tak akan berdaya melawannya. Penampilan mereka sudah cukup membuatku tegang dengan taring, wajah yang mengerikan, dan tentu saja sihir hitam yang mampu membunuh siapapun termasuk Hunters sekalipun.
“Hei Jenna, kenapa kau diam saja? Kau takut?” Alden menatapku penuh rasa penasaran.
“Sedikit.” Aku menghembuskan napas panjang dan mencoba menenangkan diri.
“Kau salah satu Hunters termuda di tempat ini. Kebanyakan akan mulai mendapat lencana di umur enam belas, sedangkan kau melakukannya setahun lebih awal.”
“Terima kasih sudah berusaha menghiburku.” ujarku sambil menepuk nepuk bahunya.
Chaz memberi perintah pada kami untuk mengangkat senjata, secara bersamaan kami mengangkat senapan dan menempelkannya di dada.
“Bagus! Turunkan! Kita sudah siap dengan misi ini, dan kita akan bergerak hari ini juga! Mr. Blake telah menunjukkan tempat dia melihat dua penyihir itu, dan beberapa dari kalian akan ditugaskan disana!”
Kulihat Chaz dan ayahku berbisik membicarakan sesuatu. Kemudian Chaz membubarkan pasukan dengan menembakkan senjata ke angkasa, pertanda bahwa kami sudah mulai disiagakan. Seperti biasa kami berkumpul di markas besar Glaze atau yang kami sebut sebagai rumah besar sepuluh menit sebelum diterjunkan.
Bangunan itu dapat menampung seluruh anggota Glaze yang berjumlah sekitar delapan puluh orang. Beberapa puluh rumah para anggota Glaze dibangun mengelilingi tembok pembatas membentuk huruf U, menghadap lapangan sebagai pusat latihan.
Rumah besar hanya memiliki sedikit ventilasi sehingga obor-obor masih dibiarkan menyala dan cat berwarna gading yang tidak dilapis ulang selama beberapa tahun mulai terlihat menghitam akibat kepulan asap. Aku dan Alden segera menuju ruangan kami. Setiap regu yang terdiri dari lima orang memiliki ruangan rapat tersendiri. Aku, Alden, Emma, dan Marlon adalah regu ke-satu dengan Kingsleigh sebagai pemimpin kami.
“Aku tak yakin bahwa apa yang dikatakan Francis benar. Sepertinya tak mungkin ada penyihir berkeliaran di sekitar daerah ini. Lagipula kita tak mungkin mencari dua orang yang dicurigai sebagai penyihir tanpa bukti yang jelas!. Kita harus menyusuri bekas perkampungan penyihir, dan itu cukup berbahaya.” Kingsleigh terlihat sangat jengkel.
“Kau benar Kingsleigh. Penyihir dengan kemampuan The Violets sepertinya tak ada yang tersisa, dan penyihir kecil yang dibunuh Alden saat itu kurasa adalah yang terakhir!” ujarku.
“Betul kan, Alden?”. tanyaku seraya melirik Alden yang berdiri di dekat jendela. Ia hanya mengangguk.
“Tapi tidak mustahil jika kemampuan itu diwariskan pada generasi selanjutnya, dan aku percaya pada Blake.” Marlon menimpali
Aku ingin bertemu dengan Ayah saat ini juga. Aku perlu bicara dengannya tentang hal ini. Ayah berdiri menghadap jendela besar yang menghadap ke lapangan di ruangan utama. Sepertinya Ia tak mendengar langkah kakiku tapi kemudian Ia berbalik.
“Jenna!”
“Ayah,” aku memeluknya. “Apa kita akan berperang lagi?”
“Kita memang selalu melakukannya sepanjang hidup, karena itulah tugas kita. Ayah yakin semua akan baik-baik saja. Kau gadis pemberani Jenna, dan kau akan selalu seperti itu.”
“Tapi dalam pertempuran tiga tahu lalu kita hampir kehilangan segalanya. Aku tak tahu bagaimana nasibku jika Alden tak ada disana saat itu.”
“Kau benar. Tapi pertempuran itu bukan akhir dari segalanya. Mereka akan membalas dendam dan terus berusaha untuk menguasai dunia ini dengan kekuatan jahat mereka!”
“Aku akan melakukan apapun untuk melawan mereka Ayah, aku janji.”
“Ayah menyayangimu Jenna.”
Aku berjalan menyusuri koridor untuk kembali ke ruanganku. Kulihat Francis Blake berjalan ke arahku dengan senyuman aneh.“Hai Jenna. Apa kau siap bertempur? jika kuingat peristiwa tiga tahun lalu kurasa kau tak akan mau mengulanginya.”
“Apa maksudmu Blake?” tanyaku ketus.
“Tentu saja kau tahu maksudku. Kau penuh dengan luka waktu itu. Wajahmu penuh dengan darah dan kau hampir mati. Kalau aku jadi Ayahmu aku akan menyuruhmu untuk pensiun dini!” ujarnya dengan tawa mengejek.
“Jika aku jadi kau, aku lebih memilih mati berperang daripada harus bersembunyi dan berpura-pura sakit layaknya seorang pengecut!” aku berjalan meninggalkannya dan menyenggol tubuhnya dengan keras hingga tubuhnya membentur tembok.
“Kau sangat keras kepala Jenna!”
Aku tak menghiraukan ucapan Francis. Dia memang gila dan aku sangat membencinya. Francis dan aku sering bersaing saat kecil. Dia mengatakan aku sombong dan memanfaatkan posisi ayahku sebagai pemimpin tertinggi Glaze. Tapi aku tahu maksudnya. Francis iri padaku dan terus berusaha agar lebih baik dariku. Namun saat perang tiga tahun lalu, aku dan Emma tahu bahwa dia berpura-pura sakit agar bisa meninggalkan Willeth lebih dulu, sehingga dia bisa selamat dari perang tanpa terluka sama sekali. Aku sempat memakinya beberapa hari setelah kejadian itu. Ia tak terima dan balas menghinaku.
Sejak saat itu hubungan kami semakin memburuk dan kami tak pernah akur lagi. Kurasa Ia memang suka memercikkan api permusuhan padaku. Dengan rasa marah kubanting pintu kamar hingga membuat daun pintu itu berdenyit keras. Emma terkejut karenanya.
“Hei! Ada apa?”
“Francis!”
“huuh… dia tak akan pernah berhenti membuat masalah denganmu!”
Sebelum aku sempat meneruskan, tembakan ketiga berbunyi.
DARR! DARR! DARR!Itu tanda bahwa kami harus segera merapat ke lapangan.
Dengan sigap kami segera meninggalkan ruangan untuk bergabung ke barisan. Chaz memerintahkan kami semua untuk diam dan mengecek persenjataan. Seperti biasa, aku selalu membawa panah dan senapan.Setelah pembagian tugas, reguku, regu empat harus menelusuri daerah yang bernama Windstone. Daerah terdingin dan paling sepi di sebelah barat York yang berbatasan langsung dengan hutan Greenleaves, dan jika berjalan terus ke barat akan terlihat reruntuhan Willeth. Tidak ada manusia yang tinggal di wilayah ini karena keadaannya yang cukup buruk, bahkan hewan pun jarang terlihat di tempat ini.
Tanpa perlu waktu lama, Chaz membubarkan kami dan masing-masing regu menuju ke tempat yang telah ditentukan.
Salju turun tanpa henti. Jutaan butirannya membuat hampir seluruh benda menjadi berwarna putih. Pepohonan dan tanaman-tanaman kecil terlihat sedih dalam kebekuan. Angin yang bertiup kencang seolah membuat semuanya menjadi lebih berat, namun tak seberat tugas yang dibebankan pada kami. Aku, Emma, Alden, Kingsleigh, dan Marlon harus menyusuri Windstone yang sangat sepi dan dingin. Bagaimana tidak, ini adalah daerah paling barat setelah York yang berbatasan langsung dengan hutan. Kesunyian benar-benar menghinggapi di seluruh daerah ini. Pepohonan seolah terus mengamati pergerakan kami. Suara desiran angin seperti ingin mengisyaratkan bahwa Windstone bukanlah tempat yang aman apalagi untuk suasana seperti ini. Kami terus berjalan menyusuri jalan setapak selama beberapa saat. Aku selalu siaga dan menggenggam senapanku erat-erat untuk menghadapi serangan yang terkadang datang secara cepat dan membabi buta. Namun hal ini tidak perlu dilakukan. Tak ada apapun di temp
Aku terbangun setelah beberapa saat terbaring tak berdaya di tumpukan salju. Rupanya aku pingsan setelah terjatuh. Embusan angin dari barat yang begitu dingin membuatku menderita. Tubuhku menggigil kedinginan di tengah salju yang kembali turun. Rambut coklat gelapku perlahan memutih akibat tertutup salju. Di tengah kesunyian tempat yang tak ku kenal ini, seorang lelaki dengan mantel hitam tebal berjalan ke arahku dan berhenti. Tanpa mengetahui siapa lelaki itu, Ia berlutut dan mengulurkan tangannya padaku. “Siapa kau?” tanyaku setengah gemetar, bukan karena takut melainkan kedinginan. “Sepertinya kau terluka dan butuh bantuan. Dengan senang hati aku akan membantumu. Oh iya, namaku Elgar.” Suaranya terdengar lembut dan seyumnya terasa hangat. Pembawaannya begitu tenang dengan mata birunya yang bersinar dan rambut gelapnya yang meliuk liuk tertiup angin. “Aku…” bibir ini terasa berat untuk bicara. Aku tak tahu harus melakukan apa. Jelas tak boleh
Aku menghabiskan malam bersama Elgar dan Kathleen dengan bermain salju di luar. Salah satu hal yang sangat jarang kulakukan sebelumnya. Tapi ini sangat menyenangkan. Bulan bersinar cerah walaupun sedang musim dingin. Sinarnya memantul di permukaan kolam yang hampir membeku. Suasana begitu tenang, tapi aku tahu disaat bulan bersinar cerah seperti ini, adalah waktu yang sangat tepat bagi para penyihir untuk melakukan ritual. Kemudian aku merasa ada sesuatu yang aneh. Terdapat cahaya keunguan di antara awan-awan di langit. Tak salah lagi, itu adalah hasil dari aktivitas para penyihir. Cahaya itu juga terlihat dari permukaan kolam. Aku tak bisa membiarkan Elgar dan Kathleen terus berada di luar. Tapi aku tak yakin untuk mengajak mereka ke dalam tanpa suatu alasan yang masuk akal. Mungkin saja mereka tak akan mempercayai ucapanku. Tiba-tiba Kathleen melempar salju ke arahku. “Jenna! Kulihat kau terus memandangi kolam itu. Apa kau sudah bosan?”
Perjalanan pulangku tak berjalan mulus lantaran harus melewati beberapa tanjakan yang dipenuhi salju tebal. Aku memanjat dengan pelan dan menginjakkan kakiku kuat-kuat ke tanah. Tanganku berpegangan pada rerumputan rimbun yang cukup menyulitkan saat turun, namun sangat membantu saat naik. Setelah merasa cukup lelah karena medan yang sulit, kuputuskan untuk beristirahat sebentar. Tiba-tiba terdengar suara berisik dari balik semak. Aku tak menghiraukannya dan kupikir itu hanya suara binatang-binatang liar, walaupun perasaanku berkata sebaliknya. Semakin lama, suara itu semakin jelas terdengar. Kudekati semak itu untuk memeriksanya, tetapi tak ada apapun. Aku bergegas pergi. Cornwall berada jauh di utara dan aku harus melewati Windstone untuk sampai ke York. Tapi aku tak ingin melewati tempat itu, jadi aku berencana mengambil rute ke selatan lalu berbelok ke timur. Melewati hutan yang menurutku lebih baik daripada dataran luas Windstone yang begitu dingin da
Aku pulang ke rumah dan mengunci pintu kamarku. Cawan perak pemberian Elgar masih tergantung di pinggang. Aku mengeluarkan cawan itu dari kantong dan mendekatkannya ke jendela. Seberkas sinar yang masuk membuat cawan itu berkilauan. Tubuh cawan itu dipenuhi ukiran seperti sulur tanaman yang meliuk-liuk, dengan ukiran utama berbentuk wanita. Elgar hanya memberikannya padaku sebagai kenang-kenangan dan aku juga tak tahu harus menyimpannya dimana. Terdengar suara pintu diketuk. “Jenna, Ayahmu ingin bertemu denganmu, maksudku kita. Dia bilang inign menunjukkan sesuatu.” Rupanya dia Alden. Aku cepat-cepat mengembalikan cawan itu ke kantong dan meyembunyikannya di bawah tempat tidur. Alden telah menungguku di luar. “Baiklah! Kedengarannya seperti aku belum pernah mengetahui hal itu sebelumnya.” Kami menuju ke rumah besar tepatnya di ruang kerja Ayah. Chaz dan Ayahku telah menunggu di sana. “Hai Ayah!” “Hai sayang. Mr. Everscott m
Aku masih terjaga karena memikirkan cawan pemberian Elgar saat terdengar suara berisik di tengah malam. Suara itu sepertinya tak jauh dari tepatku sekarang. Aku lantas mengambil senapan dan berlari ke kebun belakang rumah. Sayup-sayup teriakan seorang gadis muda yang semakin lama semakin jelas. Kurasa berasal dari belakang tembok Glaze. Kupanggil Emma yang mungkin saja sedang tertidur pulas. Setelah mengetuk pintunya beberapa kali, Ia keluar dengan belati di tangannya. “Apa yang terjadi?” tanyanya seraya merapikan rambutnya. “Sepertinya ada sesuatu di luar sana. Aku mendengar jeritan gadis muda yang meminta tolong.” “Bagaimana jika kita mencarinya?” usul Emma. “Baiklah! Kita ambil tangga saja.” Kami lantas mengambil tangga kayu dan melompati tembok. Untung saja bagian atasnya tidak dipasang kawat berduri ataupun pecahan kaca sehingga kami bisa melompat dengan mudah. Di luar tembok sangat sepi. Hanya ada
Perasaan ragu tiba-tiba muncul, membuatku tak yakin untuk melangkah. Seketika teringat cawan perak pemberian Elgar yang merupakan salah satu cawan mistis penyihir hitam. Aku agak takut bertemu dengan mereka, tetapi aku juga ingin memastikan darimana mereka mendapat cawan itu. Kuputuskan untuk datang saja dan meminta penjelasan.Aku mengetuk pintu berkali-kali dengan agak keras. “ Elgar, Elgar, buka pintunya!”. Kemudian pintu kayu yang berat itu terbuka dan mengeluarkan suara mendecit.“Jenna! masuklah…”Mata birunya berbinar saat melihatku. Senyumnya merekah seperti bunga mawar di depan. Aku masuk dengan hati-hati.“Aku tak menyangka kau kembali ke sini.” Elgar terlihat senang dengan kedatanganku.“Tentu saja bukan tanpa alasan Elgar. Um.. Sebenarnya aku ingin menanyakan sesuatu padamu." jawabku tegas seraya memandang matanya dengan tajam.“Menanyakan apa?"Kepalaku terasa pening. S
Willeth tampak sepi saat aku kembali. Sepertinya anggota reguku telah kembali ke markas kecuali Alden. Dari kejauhan aku melihatnya berdiri di dekat bekas rumah penyihir. Dia bergegas menghampiriku setelah aku memanggilnya. “Darimana saja kau? Apa kau tersesat lagi?” Ia begitu khawatir. “Begitulah. Aku tersesat setelah mendengar suara-suara aneh. Dan…” “Dan kau menemui kenalanmu itu lagi?” Alden memotong ucapanku. Aku menghela napas. Rupanya Ia tahu apa yang kupikirkan. “Aku tersesat jauh ke utara, dan jika berjalan lurus aku akan mencapai Cornwall. Itu yang kuingat saat kebingungan di tengah hutan. Alden, aku punya sesuatu yang sangat penting.” Aku berbisik padanya sambil menunjukkan gulungan kertas di dalam mantel. Sebelum Ia sempat bertanya, aku lantas menarik tangannya dan berlari menuju Glaze. Pencarian yang tak membuahkan hasil membuat senjataku masih utuh. Kami bergegas ke rumah besar untuk memberitahu semua yang kud