Share

Kejutan Untuk Keluarga Ular

Krucuuuk... Krucuuuk ....

Rupanya cancing di perut sudah protes meminta jatah. Niat hati ingin diet tapi sepertinya hari ini ku urungkan saja. Aku harus bertenaga untuk menghadapi duo ular. Meleng sedikit saja ular itu bisa lepas dari genggaman.

Kulihat sekeliling,mencari rumah makan terdekat. Tepat di samping bangunan salon ada sebuah rumah makan yang menjual bakso dan mie ayam. Segera ku langkahkan kaki menuju ke rumah makan.

"Mau pesan apa mbak?" tanya seorang wanita muda yang memakai hijab instan berwarna biru tua itu.

Kulihat menu makanan yang ditempel di dinding ruko. Berbagai jenis bakso ada di sini. Dari bakso lava, bakso beranak, bakso urat dan bakso telur.

"Bakso beranak satu, Mas. Tanpa mie ya," ucapku lalu duduk di bangku pojok sebelah kanan.

"Minumnya apa Mbak?" Seorang pelayan menyusul ke tempat dudukku.

"Es jeruk dengan gula sediki." Pelayan itu mengangguk lalu pergi dari hadapanku.

Tak berapa lama seorang pelayan mengantarkan bakso pesananku. Dalam mangkuk hanya ada satu buah bakso. Kuah di tempatkan di mangkuk berbeda karena bakso satu saja sudah memenuhi mangkuk.

Kupotong dengan sendok bakso itu. Di dalam bakso masih ada bakso kecil sekitar enam atau tujuh. Segera ku makan menu kesukaanku itu. Orang yang diet pasti akan gagal jika dihadapannya sudah tersaji bakso seperti ini.

Tak butuh waktu lama satu mangkuk bakso beranak sudah berpindah ke dalam perutku. Alhamdulillah kenyang. Aku sudah siap meladeni duo ular.

Setelah membayar aku segera kembali ke salon. Semoga saja duo ular itu belum selesai hingga tak menimbulkan kecurigaan.

Menghembuskan nafas perlahan, aku lega saat ibu dan adik iparku masih menjalani perawatan. Nampaknya keberuntungan masih berada di pihak ku

Duduk di kursi tak jauh dari kasir,kukeluarkan benda pipih di dalam tas. Segera kunonaktifkan ponselku agar rencana yang ku susun dapat berjalan mulus. Rasanya tak sabar melihat ekspresi mereka.

Ibu dan Sasya ke luar bersamaan. Senyum sumringah tergambar jelas di wajah ibu. Setelah perawatan wanita yang telah membesarkan suamiku itu nampak cantik. Andai dia tak berkhianat sudah pasti aku akan memuji kecantikannya. Namun karena dia ular berkepala dua, enggan mulut ini memujinya.

Tapi kenapa wajah Sasya cemberut seperti itu. Sudah seperti ibu rumah tangga yang belum mendapatkan jatah bulanan saja.

"Kenapa Sya?" tanyaku pura-pura perduli. Padahal kenyataannya aku tengah menahan tawa.

"Ini nih mbak, pegawai salonnya gak becus. Mintanya cuman dirapiin tapi malah dipotong. Kan jadi jelek mbak!"

Jelas saja Sasya marah, anak itu memang tidak suka dengan model rambut pendek tapi kini rambut kesayangannya hanya tinggal sebahu. Hahaha... Rasakan! Ini tak seberapa dengan rasa sakit hatiku karena pengkhianatan kalian.

"Apa benar begitu mbak?" tanyaku pada Lita sambil mengedipkan mata.

"Tidak Mbak, orang dia minta dipotong kok. Ya saya potong. Eh, setelah satu kali potong dia malah marah-marah tapi tetap mau dipotong, kan aneh."

"Lha iya kenapa kamu tidak protes dari tadi Sya?

"Sayang kan Mbak baru enak-enak di salon harus berdebat. Makannya Aku pilih protes diakhir kaya begini."

Aku hanya geleng-geleng kepala melihat sikap mereka. Astaga, benar-benar keluarga tak punya malu.

"Kalau begitu ya gak usah protes, Sya! Bikin malu!" ucapku kesal.

Sasya hanya diam lalu asyik memainkan ponsel.

Perdebatan yang ku kira akan menjadi besar ternyata hanya seperti ini. Sungguh membuatku kecewa.

Aku berjalan mendekati kasir, menanyakan berapa total yang harus ku bayar.

"Ya Allah!" Aku berpura-pura panik sambil membolak-balikan isi dompet.

Ibu dan Sasya saling senggol lalu menatapku bersamaan. Raut bingung tergambar jelas di wajah duo ular.

"Tunggu saatnya kalian senam jantung!" batinku.

"Ada apa Al?" tanya ibu penasaran.

"Aduh, bu. Kartu debit dan kartu kredit aku tidak ada. Bagaimana ini Bu?" Ku pasang wajah panik.

Ibu semakin tegang, keringat membasahi pelipis padahal ruangan ini berAC.

"Mbak Alia jangan bercanda dong!" Sasya mendekat ke arahku.Tanpa meminta izin adik iparku itu langsung merebut tasku dandan mengeluarkan semua isinya. Tak hanya itu dompetku pun menjadi target berikutnya.

"Percuma kamu cari sampai besok juga gak bakalan ketemu," batinku puas.

"Bagaimana dong Mbak? Mbak Alia gak bawa uang kontan?" Sasya semakin panik.

"Mbak bawa tapi hanya cukup untuk perawatan Mbak saja." Aku pura-pura merasa bersalah. Meski kenyataannya aku tengah berbahagia.

"Pakai m-banking aja lah Mbak!" rengeknya.

"Aduh ponsel Mbak mati dari tadi."

Sasya melotot ke arahku. Tatapannya seperti srigala yang hendak menerkam rusa. Aku hanya diam.

"Apa ibu dan Sasya tidak memiliki uang?"

"Ya enggak lah Mbak, kan Mbak yang ngajak ke salon!" ketus Sasya.

Hello, tidak salah apa ya? Bukannya dia yang mengajak ke salon tapi kenapa aku yang disalahkan?

"Mau bayar kontan atau pakai debit Mbak?" tanya pegawai yang aku tak tahu siapa. Mungkin dia pegawai baru, karena baru kali ini aku melihatnya.

"Ini untuk perawatan saya saja mbak. Untuk ibu dan dan Mbaknya ini belum ada." Ku serahkan lembaran uang merah pada kasir.

"Bagaimana dong Bu?" Sasya mengguncangkan tubuh ibu. Sementara ibu hanya diam dengan wajah pucat pasi.

"Mbak ini niat bayar atau gak sih!" bentak Lita.

"Jangan seenaknya sendiri dong Mbak, kami kuat bayar kok. Memangnya Mbaknya gak tahu siapa saya!"

Lagi-lagi aku hanya menggelangkan kepala melihat tingkah Sasya. Di saat terjepit pun dia masih saja sombong. Apa dia tak sadar harta siapa yang selama ini dia nikmati.

"Aku tahu, mbak tapi pura-pura protes agar perawatannya gratis kan! Maaf mbak, di sini bukan panti sosial!" Wajah Sasya semakin merah padam.

Percekcokan Lita dan Sasya semakin panas hingga membuat kami menjadi tontonan gratis. Aku diam sambil menyaksikan perdebatan mereka. Hitung-hitung merilekskan pikiran karena ulah mereka.

Pura-pura sakit sambil memegangi perut aku sedikit berlari ke belakang. Biarlah mereka menyelesaikan urusan mereka sendiri. Aku hanya ingin menyadarkan siapa sebenarnya Nadzwa Alia Kusuma.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status