Share

Kekuarga Ular 2

last update Last Updated: 2022-07-09 09:35:26

Ibu dan Sasya berjalan ke arahku. Mataku membulat sempurna melihat penampilan kedua perempuan beda usia itu. Sasya memakai rok di atas lutut dengan kaos ketat. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai. Sedang ibu memakai dress bermotif bunga-bunga dengan warna pink cerah. Dandanan wanita paruh paya itu cetar membahana. Lipstik merah menyala dan bulu mata palsu menambah penampilannya semakin sempurna. Bahkan ibu sudah seperti ondel-ondel.

Astaga, aku ingin tertawa tapi takut ibu merajuk dan gagal lah rencanaku.

"Kamu yakin mau pakai baju itu Sa?"

"Yakinlah mbak, aku cantik gini."

Aku hanya diam tanpa berdebat.

Mobil berjalan dengan kecepatan sedang. Sepanjang jalan ibu dan Sasya terlihat riang. Tunggulah kebahagiaan kalian tak akan berlangsung lama.

"Nah gini dong Mbak,ke salon biar cantik tidak gembrot dan dekil?" Ibu langsung mencubit tangan Sasya dari belakang.

"Ibu apaan sih! Memang kenyataannya begitu," ucap Sasya tanpa disaring.

Kuhembuskan nafas kasar. Memang benar ucapan Sasya tapi rasanya sakit jika mendengar kata itu diucapkan tepat di depanku.

"Maafkan Sasya ya Al. Adik kamu ngomongnya suka ceplas-ceplos."

Aku hanya mengangguk, bukankah dalam hati ibu menyetujui ucapan Sasya. Dasar munafik.

Mobil berhenti tepat di depan salon muslimah. Salon mewah yang biasa ku kunjungi. Ini adalah salon dengan tarif menguras kantong karena pelayanan yang sangat memuaskan.

Ibu dan Sasya berjalan terlebih dahulu. Aku mengekor di belakang. Mereka berdua tengah sibuk memilih perawatan apa.

Aku berjalan ke arah lita pegawai salon yang sering menangani ku.

"Lita!" Tangganku melambai ke arahnya.

"Mbak Alia lama gak kemari. Mau perawatan apa, mbak?"

"Biasa tapi hari ini aku mau dengan yang lain dulu."

"Pelayanan Lita tidak memuaskan ya mbak?" tanyanya dengan raut kecewa.

"Gak kok, kamu layanin adik iparku saja." Ku tunjukkan wanita dengan kaos merah muda.

"Tapi kenapa, mbak? Kok gak dia saja yang sama orang lain?"

Kubisikkan sebuah rencana di telinganya. Awalnya dia menolak, tapi aku bisa meyakinkan Lita jika semua tanggung jawabku.

Kita lihat apa yang akan terjadi pada kalian, keluarga ular!

"Mau perawatan apa bu?" tanya Sasya.

Ibu masih diam, bingung mungkin karena ini kali pertama dia ikut ke salon. Selama ini ibu hanya suka berbelanja tanpa mau ke salon. Aku sedikit heran kenapa kali ini wanita dengan penampilan norak itu ikut ke salon.

"Sama kaya kamu saja, Sa. Ibu gak tahu," jawabnya dengan suara pelan. Mungkin dia malu.

Aku sendiri saja harus tutup muka saat ibu mertua ikut ke salon. Bukan karena dia baru pertama kali menginjakkan kaki di sini. Tapi karena penampilannya sangat kampungan. Hari ini hancurlah reputasi ku sebagai Alia pengusaha mebel.

Dulu aku selalu maklum dan berusaha memahami bagaimana pun penampilan ibu Mas Alvan. Namun setelah mengetahui pengkhianatannya, rasa benci pun tubuh dengan sendirinya di hati.

Dengan wajah sumringah Sasya memilih semua perawatan tubuh. Dari facial, spa, dan lain sebagainya. Aku sampai geleng-geleng kepala melihatnya. Terlihat jelas jika mereka memanfaatkan harta kekayaanku. Mereka memang keluarga parasit.

Hari ini aku hanya memilih perawatan rambut saja. Bukan tanpa alasan, aku ingin menjalankan rencana agar mereka berdua sedikit kapok bermain-main denganku.

Senyum mengembang tergambar jelas di wajahku saat membayangkan terkejutnya duo ular. Ya Tuhan, semoga Engkau memaafkan diriku ini.

Kami menjalani perawatan masing-masing. Aku dan duo ular menjalani perawatan di tempat yang berbeda karena memang kami memilih perawatan yang tidak sama.

Guyuran air mendinginkan panasnya kepala. Memikirkan berbagai cara cantik untuk membalas pengkhianatan mereka tidaklah mudah. Jika bisa dilihat mungkin kepalaku sudah mengeluarkan asap saking panasnya. Pijitan pelan dari Mbak Umi membuatku merasa mengantuk saja.

Walaupun mengantuk tapi aku berusaha untuk tidak terlelap. Aku tak ingin rencanaku hancur karena tertidur.

Tak terasa sudah satu jam aku menjalani perawatan rambut. Sasya dan ibu masih ada di dalam karena perawatan yang mereka pilih banyak. Hampir semua perawatan di salon ini mereka jalani.

"Mbak bayarnya nanti ya, ibu saya masih di dalam. Saya mau mengambil dompet di mobil dulu." ucapku pada karyawan bagian kasir.

"Baik mbak."

Mereka pasti memperbolehkan aku membayar nanti karena aku adalah salah satu pelanggan tetap di salon ini. Walau sudah lama tak berkunjung kemari. Namun mereka masih hafal betul denganku.

Melangkah menuju mobil yang terparkir tak jauh dari salon. Ku buka bagasi mobil. Ku keluarkan kartu kredit dan kartu debit lalu memasukkannya ke paper bag yang berisi pakaian bayi.

Ya, peper bag berisi pakaian bayi itu sempat ku pindahkan tanpa sepengetahuan ibu maupun Sasya. Sebelum kami berangkat ibu mengeluh sakit perut dan harus ke kamar mandi. Sasya sendiri lebih memilih menunggu di ruang tamu. Kesempatan itu ku gunakan untuk memindahkan peper bag ke bagasi mobil.

Allah memang menyayangi hambanya. Terbukti hari ini Allah memberi banyak pertolongan. Mulai membuka kebusukan keluarga Mas Alvan hingga mempermudah rencanaku hari ini.

Alhamdulillah,tak hentinya aku bersyukur.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Salah Kirim Paket   Ending

    Tumpukan berkas dan laporan sudah berada di atas meja keja. Aku menghela napas kemudian menjatuhkan bobot di kursi kebesaran. Satu persatu laporan kubuka lalu membaca setiap kata yang tersusun di atas kertas itu. Sesekali memijit kepala yang berdenyut. Ada sedikit perbedaan di dalam laporan keuangan. Apa jangan-jangan Alvan kumat lagi? Apa mungkin dia kembali melakukan kecurangan? Sungguh tak tahu malu jika dia melakukan itu? Aku membuang napas. Dengan kasar kuambil telepon di atas meja. "Suruh Alvan kemari!""Iya, Pak."Panggilan telepon kumatikan setelah mendengar kata iya dari mulut Mia. Sambil menunggu Alvan datang, kembali kuperiksa berkas lainnya. Pekerjaanku kian menumpuk setelah kematian Ibu. Beberapa bulan aku terlalu terbuai dalam rasa bersalah hingga mengabaikan tanggung jawab. Untung masih ada Alia yang membantu mengurus semuanya. Dia memang bisa diandalkan dalam hal apa pun. Terlepas dari cerewetnya. Pintu diketuk tiga kali. Aku yakin itu pasti Alvan. "Masuk!"Pin

  • Salah Kirim Paket   Surat Bu Nur

    Pov RizalRumah sudah penuh dengan beberapa tetangga saat aku tiba. Jenazah ibu segera diangkat lalu dibaringkan di ruang tamu. Sempat kulihat tatapan penuh tanda tanya dari orang-orang. Namun aku memilih acuh. Sudah menjadi rahasia umum jika aku hanyalah anak angkat Ibu Rahmawati. Lalu kini aku membawa seorang wanita paruh baya yang sudah terbujur kaku. Siapa yang tak bertanya-tanya. "Kita salatkan, Bang. Beri penghormatan terakhir untuk Ibu." Aku mengangguk lalu melangkah masuk untuk berwudhu. Kami mulai menyalatkan jenazah Ibu. Bulir bening kembali jatuh setelah mengucapkan salam. Ini adalah penghormatan pertama dan terakhir dariku. Setelah selesai disalatkan. Jenazah ibu segera dikebumikan. "Kamu di rumah saja, Al.""Tapi, Bang.""Kamu sedang hamil. Pasti lelah sedari tadi mengurusi ini dan itu. Makasih untuk semuanya."Alia mendekat lalu memeluk tubuhku erat. Aku sentuh pundaknya hingga seraya menghirup aroma tubuh yang menenangkan. Terima kasih, kamu sudah menjadi istri, a

  • Salah Kirim Paket   Memaafkan

    Pov RizalAku segera beranjak, meninggalkan nasi yang masih tersisa setengahnya. "Mas!" panggil pelayan rumah makan. Aku terpaksa berhenti menanti lelaki itu mendekat ke arahku. "Ada apa, Mas?""Masnya belum bayar, kan?"Aku menghela napas, menahan amarah yang sebentar lagi meledak. Dia memanggilku hanya untuk ini. Uang merah di atas meja apa tak terlihat olehnya? Apa ia taj tahu aku sedang terburu-buru. "Uangnya di atas meja,Mas. Coba dilihat dulu.""Jangan ke mana-mana, Mas. Awas kalau sampai kabur."Pelayan itu membalikkan badan. Kemudian tersenyum saat melihat selembar uang berwarna merah. Aku memutar tubuh lalu melangkah pergi. Tak kuhiraukan teriakannya. Mobil melaju dengan kecepatan tinggi, beberapa kali aku hampir menabrak kendaraan lain. Dadaku bergetar, perasaan bersalah kian mendominasi hati. Ego menolak memaafkan tapi hati... Ah, tak bisa kujelaskan. Kakiku melangkah cepat menuju ruang ICU. Menerobos rombongan ibu-ibu yang akan menjenguk pasien. Hingga akhirnya kak

  • Salah Kirim Paket   Bimbang

    Pov RizalSudah tiga hari Alia memilih tidur di lantai atas. Sudah tiga hari pula dia mengunci mulut rapat. Tak sepatah kata keluar dari mulutnya. Bahkan dia selalu membuang muka saat berpapasan denganku. Sebegitu marahkah dia? Alia marah karena aku tak mau menjenguk Bu Nur. Ah, harusnya ia tahu apa yang aku rasakan. Dibuang wanita bergelar ibu sangatlah menyakitkan. Lebih baik dikhianati teman dari pada dibuang oleh wanita yang telah melahirkan kita. Malam semakin larut tapi mata tak kunjung terpejam. Rasa kantuk seakan hilang dibawa kehampaan. Tak ada Alia membuat aku tidak mampu tidur nyenyak. Ingin aku masuk lalu memeluknya dari belakang. Menciumi harum tubuh yang membuatku mabuk kepayang. Kuambil benda pipih yang tergeletak di atas nakas. Dengan cepat jari-jari ini menari di layar ponsel. Membuka aplikasi berwarna biru dengan logo F itu. Berbagai postingan muncul di berandaku. Dari yang bermutu hingga yang tak pantas dilihat semua muncul begitu saja. Sesekali aku beristigfa

  • Salah Kirim Paket   Ancaman Alia

    "Hallo, Al. Kamu bilang apa tadi?" Aku mendengus kesal, disaat seperti ini kenapa ucapanku tak ia perhatikan? Menyebalkan. "Cepat ke rumah sakit. Ibu kamu kritis!""Astagfirullah... Mama kritis, Al? Kenapa bisa? Tadi pagi Mama masih baik-baik saja kok."Astaga! Lama-lama kumaki juga Bang Rizal itu. Aku bilang Ibu bukan mama. "Ibu kamu, Mas. Bu Nur bukan Mama.""Alhamdulillah kalau Mama tidak kenapa-napa, Al."Aku mengepalkan tangan di samping. Ingin segera kulayangkan ke wajahnya. Ibunya sedang kritis tapi ia pura-pura tak mendengar ucapanku. "Bu Kritis, Mas!" teriakku. "O, ya sudah kalau begitu. Mas ada meeting lagi." Seketika panggilan telepon ia matikan. "Mbak." Aku menoleh, seorang satpam berdiri di sampingku. Tatapan matanya tajam, membuat nyaliku menciut dalam sekejap. "Jangan berisik, ini rumah sakit!"Aku menelan ludah dengan susah payah. Dalam hati aku merutuki sikap cuek Bang Rizal hingga akhirnya aku dimarahi satpam. "Ma-maaf, Pak."Lelaki itu hanya diam kemudian me

  • Salah Kirim Paket   Kritis

    Aku mulai sibuk mempersiapkan acara empat bulanan yang tinggal tiga hari lagi. Acara syukuran sekaligus doa untuk calon anak kami akan diadakan di rumah. Tak banyak yang kami undang, hanya keluarga inti, tetangga dan beberapa anak panti asuhan. "Catering sudah, kan, Al?" tanya Mama. "Sudah,Ma. Tinggal bingkisan untuk dibawa pulang saja. Enaknya apa, ya?"Aku dan Mama saling diam, bingung memikirkan bingkisan apa yang cocok dibawa pulang. "Kalau pesan kue gimana, Al?" usul Mama sambil menatapku. "Boleh, Ma.""Kalau gitu kita pesan sekarang saja. Kita ke tokonya." Mama begitu antusias. Momen seperti ini sudah lama Mama nantikan. Tak heran jika kini Mama begitu antusias menyelenggarakan acara empat bulanan kehamilanku. Semua dekorasi, catering hingga bingkisan Mama yang memilih. Aku hanya membantu memesankan saja. "Ayo, Al! Kita siap-siap!"Aku segera melangkah menuju kamar untuk mengganti pakaian. Begitu pula dengan Mama. Belum sempat memakai hijab sebuah panggilan masuk. Segera

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status