Share

Kemarahan Alvan

last update Terakhir Diperbarui: 2022-07-10 08:27:58

Aku masih di kamar mandi. Bersembunyi dari amukan ibu dan Sasya. Biarlah mereka membayar sendiri perawatan salon. Memang aku ATM mereka hingga setiap pengeluaran harus aku yang membayar. O, tidak bisa! Aku bukan lagi Alia yang mudah mengabulkan keinginan mereka.

Terimalah kejutan pertamaku. Masih ada kejutan-kejutan yang lain. Bersiaplah karena aku tak pernah main-main.

Aku mulai bosan menunggu di kamar mandi. Tak mungkin jika aku berada di sini. Bisa-bisa duo ular akan curiga kepadaku. Dengan mencoba tenang aku melangkah menuju kasir. Belum sampai saja jantungku sudah berdetak tak menentu. Aku yakin akan ada masalah baru setelah insiden ini. Tapi aku tak akan takut, toh akulah pemegang kendali karena semua harta adalah milikku.

Suara keributan sudah tak terdengar lagi. Apa duo ular itu sudah bisa menyelesaikan masalah tanpa mengandalkan diriku. Ah, aku jadi penasaran. Ku percepat langkah kakiku.

Ibu dan Sasya tengah duduk di depan kasir dengan wajah di tekut masam. Aku yakin mereka berdua tengah marah padaku. Di saat genting justru aku menghilang begitu saja.

"Mbak Alia dari mana saja sih!"

Nah kan benar, baru sampai saja sudah disuguhi dengan amukan. Untung saja aku sudah kenyang, jadi memiliki tenaga untuk melawan mereka yang aku yakin sudah kelaparan.

"Aku sakit perut Sya, jadi ke belakang. Tidak mungkin kan aku diam di sini terus. Bisa bab di celana. Malu lah Sya, memangnya aku anak kecil yang berak di tempat," jawabku santai tak merasa bersalah. Ya, karena aku memang tak salah. Dia yang ngajak ke salon. Giliran gak bisa bayar, marahnya ke aku.

"Harusnya kamu tanggung jawab Ak, bukan lagi gitu saja. Sudah ngajak ke salon kok tidak mau tanggung jawab." Omelin ibu mertua.

"Apa, bu? Aku yang ngajak ke salon. Apa aku tidak salah dengar. Justru Sasya kan yang mengajak ke salon. Harusnya orang yang mengajak yang membayar, bukannya aku!" ucapku keras hingga semua mata tertuju pada kami. Sontak Sasya menatapku tajam.

Aku mah cuek saja, toh memang itu kenyataannya.

"Lebih baik kamu diam Al, bicara hanya menambah masalah saja!"

Sementara ku turuti ucapan wanita yang bergelar mertua itu. Bukan aku tak sanggup melawan tapi malu jadi tontonan. Apa kata dunia jika Alia bertengkar di muka umum.

Aku duduk dengan jarak dua kursi dari Sasya. Malas harus duduk berdekatan dengan keluarga parasit itu. Sudah di beri kemudahan tapi justru menikam dari belakang. Mereka adalah salah satu contoh manusia yang tidak bisa berterima kasih. Kucing saja setia pada majikannya. Sementara mereka, Astagfirullah ....

Ku ambil benda pipih yang ada di dalam tas. Ku nyalakan tapi tidak bisa. Apa batrenya habis. Astaga, hampir saja aku lupa jika ponsel sengaja ku matikan agar tidak bisa membayar perawatan ibu dan Sasya. Untung tombol power tidak ku tekan lama. Bisa gawat kalau mereka tahu aku bohong.

"Ponsel mati saja dikeluarin!" sindir Sasya.

Aku memilih diam tanpa menjawab ucapannya. Tapi bagaimana cara mereka membayar perawatan wajah. Sedang mereka tak membawa uang sepeser pun? Dan kenapa mereka tak memintaku pulang untuk mengambil uang?

Aku menerka-nerka sendiri, tak mungkin aku bertanya. Bisa-bisa mereka memintaku untuk membayarnya. Oh, tidak! Aku tak mau mengeluarkan uang untuk mereka walau sepeser pun.

Sepuluh menit menunggu rasanya bagai sewindu. Sesekali ku ubah posisi duduk. Berat badan yang berlebih membuatku merasa tak nyaman saat duduk dengan posisi yang sama.

Ibu dan Sasya hanya diam. Entah apa yang mereka pikirkan. Dalam hatinya pasti mengumpat dengan perbuatanku hari ini. Tapi aku tak ambil pusing dengan itu semua karena memang semua perbuatanku.

Sejak duduk di sini, aku tak melihat Lita. Kemana dia? Apa mungkin anak itu sedang melayani pelanggan yang lain. Ya, sudahkah biar nanti ku transfer uang ke nomor rekeningnya.

Di jaman canggih seperti ini tak perlu susah ke ATM untuk mentransfer uang. Cukup melalui ponsel semua akan beres.

Ku pijit kepala yang terasa berdenyut. Akhir-akhir ini aku memang sering merasakan sakit kepala. Entah karena apa, aku pun tak tahu. Aku bahkan belum memeriksakannya ke dokter. Rasa malas membuatku enggan ke dokter.

"Ibu! Sasya!" Suara seseorang yang sangat ku kenal. Tapi kenapa dia bisa ada di sini?

Mas Alvan mendekat ke arah kami. Sasya dan ibu segera memeluknya. Wajah yang tadi merah padam berubah seketika menjadi berkaca-kaca. Bahkan dari sudut mata mereka sudah mengeluarkan air mata.

Aku tahu mereka pasti tengah bersandiwara agar aku menjadi tersangka.

"Buruan bayar, Mas! Aku malu!" rengek Sasya.

Suamiku segera ke kasir. Di rogohnya dompet yang ada di saku celana. Tangannya mengeluarkan kartu debit dari dompet hitam.

Ah, sial!

Ternyata dia memanggil abangnya. Itu sama saja uangku yang dipakai untuk membayar perawatan mereka. Bedanya pakai kartu debit Mas Alvan.

Lho, tapi kenapa Mas Alvan ada di sini. Katanya ada di luar kota. Nah, kan ketahuan bohongnya. Apa ingin dengar jawaban apa yang keluar dari mulutnya.

Melangkah mendekati suamiku. Kini aku tepat berdiri di belakangnya.

"Mas ...." Ku sentuh pundaknya.

"A-Alia!" ucapnya sambil melonjak kaget. Bahkan tubuhnya sampai menempel meja kasir. Wajahnya pun terlihat begitu tegang.

Apa dari tadi dia tak melihatku hingga saat bertatapan denganku ia begitu terkejut. Apa mungkin Sasya tak cerita jika ke salon bersamaku. Ya, mungkin begitu. Aku justru bersyukur, berkat kecerobohan mereka, aku menjadi semakin yakin jika suamiku tak pergi ke luar kota. Dia pasti pergi ke rumah istri mudanya. Dasar lelaki kur*ng aj*r!

"Kenapa terkejut, Mas?"

Mas Alvan diam, wajahnya menjadi semakin gugup.

"I-itu Al, kaget saja tiba-tiba kamu sudah ada di belakangku," jawabnya sambil menatap arah lagi.

Aku tahu kamu berbohong Mas! Kamu akan menatap arah lain jika sedang menyembunyikan sesuatu. Seperti saat ini.

"Harusnya aku yang terkejut dong, Mas. Tadi pagi kamu pamit ke luar kota tapi kenapa sekarang ada di sini, Mas!" Ku tatap tajam netrannya.

"Itu... Itu... Ka...." Mas Alvan menghentikan ucapannya.

"Kamu bohongi aku Mas?" Ku naikkan nada bicara hingga suara orang menatap kami dengan penuh tanda tanya.

Mas Alvan menarik tanganku, hingga kami berada di samping mobilnya. Lelaki yang telah menikahiku enam tahun lalu itu menatapku tajam. Ada amarah bom yang siap di ledakkan saat ini juga. Ku lepas genggaman tangannya yang mulai mengendor. Rasa sakit di tangan ini tak sebanding rasa sakit di hati.

"Kenapa kamu tidak mau membayar perawatan ibu dan Sasya?"

Mas Alvan mengalihkan pembicaraan. Dia berusaha menyudutkanku dengan pertanyaannya.

"Aku lupa membawa kartu debit dan kartu kredit, mugkin tertinggal di dompet lain. Sementara uang di dompet hanya cukup untuk membayar perawatanku saja."

"Alasan! Kenapa tidak transfer lewat ponsel saja!"

"Ponselku kehabisan daya. Lalu aku harus gimana dong!"

"Lalu kenapa harus mengajak mereka ke salon jika kartu debit tidak dibawa!"

"Hello! Bukan aku yang mengajak tapi Sasya!"

"Bohong Mas, mbak Alia kok yang mengajak kami ke salon. Dia pasti sengaja ingin mempermalukan kami." Sasya sudah berada di belakang kami. Soroti kemenangan tergambar jelas di matanya.

Rupanya ular kecil ini sudah terang-terangan menaikkan bendera perang. Oke, siapa takut!

"Kamu memang benar keterlaluan Al! Sudah tidak bisa ha ....!" Mas Alvan tidak melanjutkan kata-katanya. Tapi aku tahu yang akan ia bicarakan.

"Apa! Aku tidak bisa hamil maksud kamu! Ingat ya Mas, kamu bisa seperti ini karena uang aku! Jangan jadi kacang lupa kulitnya! Dan kenapa kamu bisa disini! Pakaian sudah ganti, mana kopermu!"

Mas Alvan diam,raut tegang kembali tergambar di wajahnya.

"Atau tidak jadi ke luar kota Al," ucapnya melunak. Tangannya mulai memegang tanganku tapi segera ku tepis kuat-kuat.

Mas Alvan sedikit terkejut dengan tindakanku. Ya, karena baru kali ini aku begitu emosi.

Kulangkahkan kaki menuju mobil. Percuma meladeni orang gila. Toh kebaikanku selama ini hanya dianggap angin lalu.

"Sayang maafkan aku, bukan maksudku untuk membentak kamu. Atau hanya terbawa emosi. Aku kira kamu sengaja mempermalukan ibu dan Sasya." Mas Alvan mengejarku.

Aku masuk ke mobil dan segera menutup pintunya. Beberapa kali dia mengetuk jendela mobil. Hingga ku turunkan kacanya.

"Mulai besok aku akan ke kantor!" ucapku lalu menyalakan mesin mobil meninggalkan Mas Alvan. Ku lihat dari spion mobil Mas Alvan sedang mengacak rambutnya.

"Tunggu Mas, permainan baru di mulai!"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Titik Handayani
bener 2 keluarga parasit
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Salah Kirim Paket   Ending

    Tumpukan berkas dan laporan sudah berada di atas meja keja. Aku menghela napas kemudian menjatuhkan bobot di kursi kebesaran. Satu persatu laporan kubuka lalu membaca setiap kata yang tersusun di atas kertas itu. Sesekali memijit kepala yang berdenyut. Ada sedikit perbedaan di dalam laporan keuangan. Apa jangan-jangan Alvan kumat lagi? Apa mungkin dia kembali melakukan kecurangan? Sungguh tak tahu malu jika dia melakukan itu? Aku membuang napas. Dengan kasar kuambil telepon di atas meja. "Suruh Alvan kemari!""Iya, Pak."Panggilan telepon kumatikan setelah mendengar kata iya dari mulut Mia. Sambil menunggu Alvan datang, kembali kuperiksa berkas lainnya. Pekerjaanku kian menumpuk setelah kematian Ibu. Beberapa bulan aku terlalu terbuai dalam rasa bersalah hingga mengabaikan tanggung jawab. Untung masih ada Alia yang membantu mengurus semuanya. Dia memang bisa diandalkan dalam hal apa pun. Terlepas dari cerewetnya. Pintu diketuk tiga kali. Aku yakin itu pasti Alvan. "Masuk!"Pin

  • Salah Kirim Paket   Surat Bu Nur

    Pov RizalRumah sudah penuh dengan beberapa tetangga saat aku tiba. Jenazah ibu segera diangkat lalu dibaringkan di ruang tamu. Sempat kulihat tatapan penuh tanda tanya dari orang-orang. Namun aku memilih acuh. Sudah menjadi rahasia umum jika aku hanyalah anak angkat Ibu Rahmawati. Lalu kini aku membawa seorang wanita paruh baya yang sudah terbujur kaku. Siapa yang tak bertanya-tanya. "Kita salatkan, Bang. Beri penghormatan terakhir untuk Ibu." Aku mengangguk lalu melangkah masuk untuk berwudhu. Kami mulai menyalatkan jenazah Ibu. Bulir bening kembali jatuh setelah mengucapkan salam. Ini adalah penghormatan pertama dan terakhir dariku. Setelah selesai disalatkan. Jenazah ibu segera dikebumikan. "Kamu di rumah saja, Al.""Tapi, Bang.""Kamu sedang hamil. Pasti lelah sedari tadi mengurusi ini dan itu. Makasih untuk semuanya."Alia mendekat lalu memeluk tubuhku erat. Aku sentuh pundaknya hingga seraya menghirup aroma tubuh yang menenangkan. Terima kasih, kamu sudah menjadi istri, a

  • Salah Kirim Paket   Memaafkan

    Pov RizalAku segera beranjak, meninggalkan nasi yang masih tersisa setengahnya. "Mas!" panggil pelayan rumah makan. Aku terpaksa berhenti menanti lelaki itu mendekat ke arahku. "Ada apa, Mas?""Masnya belum bayar, kan?"Aku menghela napas, menahan amarah yang sebentar lagi meledak. Dia memanggilku hanya untuk ini. Uang merah di atas meja apa tak terlihat olehnya? Apa ia taj tahu aku sedang terburu-buru. "Uangnya di atas meja,Mas. Coba dilihat dulu.""Jangan ke mana-mana, Mas. Awas kalau sampai kabur."Pelayan itu membalikkan badan. Kemudian tersenyum saat melihat selembar uang berwarna merah. Aku memutar tubuh lalu melangkah pergi. Tak kuhiraukan teriakannya. Mobil melaju dengan kecepatan tinggi, beberapa kali aku hampir menabrak kendaraan lain. Dadaku bergetar, perasaan bersalah kian mendominasi hati. Ego menolak memaafkan tapi hati... Ah, tak bisa kujelaskan. Kakiku melangkah cepat menuju ruang ICU. Menerobos rombongan ibu-ibu yang akan menjenguk pasien. Hingga akhirnya kak

  • Salah Kirim Paket   Bimbang

    Pov RizalSudah tiga hari Alia memilih tidur di lantai atas. Sudah tiga hari pula dia mengunci mulut rapat. Tak sepatah kata keluar dari mulutnya. Bahkan dia selalu membuang muka saat berpapasan denganku. Sebegitu marahkah dia? Alia marah karena aku tak mau menjenguk Bu Nur. Ah, harusnya ia tahu apa yang aku rasakan. Dibuang wanita bergelar ibu sangatlah menyakitkan. Lebih baik dikhianati teman dari pada dibuang oleh wanita yang telah melahirkan kita. Malam semakin larut tapi mata tak kunjung terpejam. Rasa kantuk seakan hilang dibawa kehampaan. Tak ada Alia membuat aku tidak mampu tidur nyenyak. Ingin aku masuk lalu memeluknya dari belakang. Menciumi harum tubuh yang membuatku mabuk kepayang. Kuambil benda pipih yang tergeletak di atas nakas. Dengan cepat jari-jari ini menari di layar ponsel. Membuka aplikasi berwarna biru dengan logo F itu. Berbagai postingan muncul di berandaku. Dari yang bermutu hingga yang tak pantas dilihat semua muncul begitu saja. Sesekali aku beristigfa

  • Salah Kirim Paket   Ancaman Alia

    "Hallo, Al. Kamu bilang apa tadi?" Aku mendengus kesal, disaat seperti ini kenapa ucapanku tak ia perhatikan? Menyebalkan. "Cepat ke rumah sakit. Ibu kamu kritis!""Astagfirullah... Mama kritis, Al? Kenapa bisa? Tadi pagi Mama masih baik-baik saja kok."Astaga! Lama-lama kumaki juga Bang Rizal itu. Aku bilang Ibu bukan mama. "Ibu kamu, Mas. Bu Nur bukan Mama.""Alhamdulillah kalau Mama tidak kenapa-napa, Al."Aku mengepalkan tangan di samping. Ingin segera kulayangkan ke wajahnya. Ibunya sedang kritis tapi ia pura-pura tak mendengar ucapanku. "Bu Kritis, Mas!" teriakku. "O, ya sudah kalau begitu. Mas ada meeting lagi." Seketika panggilan telepon ia matikan. "Mbak." Aku menoleh, seorang satpam berdiri di sampingku. Tatapan matanya tajam, membuat nyaliku menciut dalam sekejap. "Jangan berisik, ini rumah sakit!"Aku menelan ludah dengan susah payah. Dalam hati aku merutuki sikap cuek Bang Rizal hingga akhirnya aku dimarahi satpam. "Ma-maaf, Pak."Lelaki itu hanya diam kemudian me

  • Salah Kirim Paket   Kritis

    Aku mulai sibuk mempersiapkan acara empat bulanan yang tinggal tiga hari lagi. Acara syukuran sekaligus doa untuk calon anak kami akan diadakan di rumah. Tak banyak yang kami undang, hanya keluarga inti, tetangga dan beberapa anak panti asuhan. "Catering sudah, kan, Al?" tanya Mama. "Sudah,Ma. Tinggal bingkisan untuk dibawa pulang saja. Enaknya apa, ya?"Aku dan Mama saling diam, bingung memikirkan bingkisan apa yang cocok dibawa pulang. "Kalau pesan kue gimana, Al?" usul Mama sambil menatapku. "Boleh, Ma.""Kalau gitu kita pesan sekarang saja. Kita ke tokonya." Mama begitu antusias. Momen seperti ini sudah lama Mama nantikan. Tak heran jika kini Mama begitu antusias menyelenggarakan acara empat bulanan kehamilanku. Semua dekorasi, catering hingga bingkisan Mama yang memilih. Aku hanya membantu memesankan saja. "Ayo, Al! Kita siap-siap!"Aku segera melangkah menuju kamar untuk mengganti pakaian. Begitu pula dengan Mama. Belum sempat memakai hijab sebuah panggilan masuk. Segera

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status