Share

Kepanikan Alvan

last update Last Updated: 2022-07-10 18:18:18

Pov Alvan

Aku begitu gembira melihat peper bag berwarna merah di atas ranjang. Tepatnya di sebelah pakaianku. Alia memang selalu memberikan kejutan untukku. Tapi sayang, dia tak bisa hamil. Dan itu alasan kenapa aku menikah lagi. Ya, meski tanpa sepengetahuan darinya. Karena lelaki boleh memiliki lebih dari satu istri. Toh aku memiliki uang. Uang Alia lebih tepatnya. Tapi selama dia tak tahu tak masalah kan?

"Kamu pasti kasih surprise ya sayang?" ucapku senang.

Alia masih diam membisu, bahkan tatapannya tajam ke arahku. Ada apa ini? Tak biasanya dia seperti itu.

"Ini untuk Mas, sayang?" tanyaku lagi sambil mengambil paper bag itu.

Mataku membulat sempurna saat melihat isi peper nag berwarna merah itu. Pakaian bayi! Apa maksud Alia memberiku pakaian bayi. Apa dia tengah hamil? Atau Jangan-jangan ....

"Kenapa tegang gitu Mas? Bukankah pakaian bayi itu kamu yang beli?" tanyanya datar. Ada aura kemarahan dari ucapannya.

Ku telan saliva dengan susah payah. Siapa yang mengirim pakaian bayi ini? Apa Mega? Ah, sial*an! Bisa hancur rencanaku jika Alia tahu terlebih dahulu.

"Kenapa kamu beli pakaian bayi, Mas? Bukankah kerabat atau saudara kita tak ada baru melahirkan? Lalu untuk apa Mas beli pakaian itu?" cecarnya.

"Apa kamu selingkuh, Mas?" tanyanya lagi.

Uhuuk ... Uhuuk....

Dari mana Alia tahu jika aku telah menikah lagi? Ini gawat! Hancur sudah masa depanku!

"Jawab Mas! Kenapa kamu diam saja!"

"I-itu sayang, Mas ...." Aku bingung harus berkata apa. Mulut ini terasa kelu.

Berfikir Alvan, cari jawaban yang tepat!

Ku beri alasan jika pakaian bayi itu adalah pancingan agar Alia cepat hamil. Entahlah ini tepat tau tidak. Yang pasti hanya jawaban itu yang ada di kepalaku.

"Bukannya adopsi anak untuk pancingan agar cepat hamil ya Mas? Bukan justru beli pakaian bayi."

Aku terdiam tak mampu berkata apa pun, jawaban Alia memang benar, mana ada membeli pakaian bayi agar bisa cepat hamil. Kenapa jawabanku asal begini. Harusnya ku katakan untuk teman sekolah ku dulu. Bagaimana jika Alia curiga? Sebenarnya siapa sih yang mengirim paket setan ini!

Dalam kebingungan akhirnya aku memilih pura-pura marah. Ya, karena hanya itu cara agar Alia tak lagi membahas pakaian bayi. Aku tahu betul Alia sangat mencintaiku. Bisa dibilang cinta mati. Dia tak akan tahan jika ku diamkan begitu saja. Memang dasar wanita bod*h!

Aku keluar kamar dengan perasaan campur aduk. Ada rasa takut jika Alia mengetahui perselingkuhanku. Bisa hancur berantakan rencana yang ku susun rapi.

Ku putar ganggang pintu kamar tamu perlahan. Ku pastikan tak ada seorang pun yang tahu. Segera ku tutup kembali pintu itu dan menguncinya dari dalam.

Masuk ke kamar mandi sambil menekan dua belas digit nomor Mega. Aku ingin tahu apa benar dia yang mengirim paket baju bayi itu.

Dua kali panggilan ku diabaikan olehnya. Tak biasanya dia seperti itu. Apa Mega berusaha menghindari ku? Bisa jadi memang dialah pengirim peper bagian merah itu.

Ku hubungi lagi nomor ponselnya. Awas saja jika diabaikan lagi. Ku pastikan jatah bulanannya akan berkurang. Biar tahu rasa dia!

"Apa sih, Mas! Gara-gara kamu Aira bangun kan!" ucapnya ketus.

Terdengar suara tangis bayi mungkilku. Sebenarnya aku merasa kasihan gara-gara telepon ku Aira terbangung. Namun mau bagaimana lagi ini adalah situasi darurat. Kalau saja Alia tahu, bukan hanya aku yang rugi tapi Mega juga. Karena dia juga menikmati uang Alia.

"Kamu kirim baju bayi ke rumahku!"

"Apa Mas? Baju bayi? Kamu tidak salah ngomong kan?"

"Iya, kalau bukan kamu siapa lagi? Kamu mau aku hanya untuk kamu kan? Semua rencana kita akan hancur hanya karena paket itu. Alia mulai curiga," ucapku masih dengan suara pelan. Ingin rasanya memaki tapi tak mungkin ku lakukan. Alia bisa tahu jika aku di sini.

"Mana mungkin aku melakukan itu, Mas. Itu namanya aku bunuh diri!"

"Lalu siapa kalau bukan kamu?"

"Mana aku tahu!"

Seketika panggilan telepon di matikan sepihak olehnya. Dasar istri tak punya akhlak!

Ku acak rambut, frustasi. Kalau bukan Mega siapa lagi? Hanya dia wanita yang menginginkan diriku seutuhnya.

Argghh...

Aku keluar kamar tamu dengan hati-hati. Tingkahku sudah seperti maling saja. Sama-sama terdengar suara tangisan seseorang. Dan aku hafal betul itu suara Alia. Kenapa dia menangis? Apa jangan-jangan dia sudah tahu jika aku beristri dua? Astaga! Tamatlah riwayat ku.

Melangkah dengan degup jantung yang kian tak menentu. Prasangka buruk mendominasi pikiran. Bagaimana nasibku jika Alia benar tahu pengkhianatanku.

Mati! Mati! Mati sudah hidupku kini!

Ku lihat Alia menangis terisak. Pelukan erat darinya membuat kekhawatiranku menguap seketika. Alia justru meminta maaf padaku. Dasar bod*h, dengan mudah dia ku bohongi. Teruslah seperti ini Alia sayang. Keluguanmu adalah kunci kesuksesan diriku. Aku tersenyum penuh kemenangan sambil memeluk tubuhnya yang gendut itu.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Choddam House Tiny
kenapa bab selanjutnya diputusin sih
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Salah Kirim Paket   Ending

    Tumpukan berkas dan laporan sudah berada di atas meja keja. Aku menghela napas kemudian menjatuhkan bobot di kursi kebesaran. Satu persatu laporan kubuka lalu membaca setiap kata yang tersusun di atas kertas itu. Sesekali memijit kepala yang berdenyut. Ada sedikit perbedaan di dalam laporan keuangan. Apa jangan-jangan Alvan kumat lagi? Apa mungkin dia kembali melakukan kecurangan? Sungguh tak tahu malu jika dia melakukan itu? Aku membuang napas. Dengan kasar kuambil telepon di atas meja. "Suruh Alvan kemari!""Iya, Pak."Panggilan telepon kumatikan setelah mendengar kata iya dari mulut Mia. Sambil menunggu Alvan datang, kembali kuperiksa berkas lainnya. Pekerjaanku kian menumpuk setelah kematian Ibu. Beberapa bulan aku terlalu terbuai dalam rasa bersalah hingga mengabaikan tanggung jawab. Untung masih ada Alia yang membantu mengurus semuanya. Dia memang bisa diandalkan dalam hal apa pun. Terlepas dari cerewetnya. Pintu diketuk tiga kali. Aku yakin itu pasti Alvan. "Masuk!"Pin

  • Salah Kirim Paket   Surat Bu Nur

    Pov RizalRumah sudah penuh dengan beberapa tetangga saat aku tiba. Jenazah ibu segera diangkat lalu dibaringkan di ruang tamu. Sempat kulihat tatapan penuh tanda tanya dari orang-orang. Namun aku memilih acuh. Sudah menjadi rahasia umum jika aku hanyalah anak angkat Ibu Rahmawati. Lalu kini aku membawa seorang wanita paruh baya yang sudah terbujur kaku. Siapa yang tak bertanya-tanya. "Kita salatkan, Bang. Beri penghormatan terakhir untuk Ibu." Aku mengangguk lalu melangkah masuk untuk berwudhu. Kami mulai menyalatkan jenazah Ibu. Bulir bening kembali jatuh setelah mengucapkan salam. Ini adalah penghormatan pertama dan terakhir dariku. Setelah selesai disalatkan. Jenazah ibu segera dikebumikan. "Kamu di rumah saja, Al.""Tapi, Bang.""Kamu sedang hamil. Pasti lelah sedari tadi mengurusi ini dan itu. Makasih untuk semuanya."Alia mendekat lalu memeluk tubuhku erat. Aku sentuh pundaknya hingga seraya menghirup aroma tubuh yang menenangkan. Terima kasih, kamu sudah menjadi istri, a

  • Salah Kirim Paket   Memaafkan

    Pov RizalAku segera beranjak, meninggalkan nasi yang masih tersisa setengahnya. "Mas!" panggil pelayan rumah makan. Aku terpaksa berhenti menanti lelaki itu mendekat ke arahku. "Ada apa, Mas?""Masnya belum bayar, kan?"Aku menghela napas, menahan amarah yang sebentar lagi meledak. Dia memanggilku hanya untuk ini. Uang merah di atas meja apa tak terlihat olehnya? Apa ia taj tahu aku sedang terburu-buru. "Uangnya di atas meja,Mas. Coba dilihat dulu.""Jangan ke mana-mana, Mas. Awas kalau sampai kabur."Pelayan itu membalikkan badan. Kemudian tersenyum saat melihat selembar uang berwarna merah. Aku memutar tubuh lalu melangkah pergi. Tak kuhiraukan teriakannya. Mobil melaju dengan kecepatan tinggi, beberapa kali aku hampir menabrak kendaraan lain. Dadaku bergetar, perasaan bersalah kian mendominasi hati. Ego menolak memaafkan tapi hati... Ah, tak bisa kujelaskan. Kakiku melangkah cepat menuju ruang ICU. Menerobos rombongan ibu-ibu yang akan menjenguk pasien. Hingga akhirnya kak

  • Salah Kirim Paket   Bimbang

    Pov RizalSudah tiga hari Alia memilih tidur di lantai atas. Sudah tiga hari pula dia mengunci mulut rapat. Tak sepatah kata keluar dari mulutnya. Bahkan dia selalu membuang muka saat berpapasan denganku. Sebegitu marahkah dia? Alia marah karena aku tak mau menjenguk Bu Nur. Ah, harusnya ia tahu apa yang aku rasakan. Dibuang wanita bergelar ibu sangatlah menyakitkan. Lebih baik dikhianati teman dari pada dibuang oleh wanita yang telah melahirkan kita. Malam semakin larut tapi mata tak kunjung terpejam. Rasa kantuk seakan hilang dibawa kehampaan. Tak ada Alia membuat aku tidak mampu tidur nyenyak. Ingin aku masuk lalu memeluknya dari belakang. Menciumi harum tubuh yang membuatku mabuk kepayang. Kuambil benda pipih yang tergeletak di atas nakas. Dengan cepat jari-jari ini menari di layar ponsel. Membuka aplikasi berwarna biru dengan logo F itu. Berbagai postingan muncul di berandaku. Dari yang bermutu hingga yang tak pantas dilihat semua muncul begitu saja. Sesekali aku beristigfa

  • Salah Kirim Paket   Ancaman Alia

    "Hallo, Al. Kamu bilang apa tadi?" Aku mendengus kesal, disaat seperti ini kenapa ucapanku tak ia perhatikan? Menyebalkan. "Cepat ke rumah sakit. Ibu kamu kritis!""Astagfirullah... Mama kritis, Al? Kenapa bisa? Tadi pagi Mama masih baik-baik saja kok."Astaga! Lama-lama kumaki juga Bang Rizal itu. Aku bilang Ibu bukan mama. "Ibu kamu, Mas. Bu Nur bukan Mama.""Alhamdulillah kalau Mama tidak kenapa-napa, Al."Aku mengepalkan tangan di samping. Ingin segera kulayangkan ke wajahnya. Ibunya sedang kritis tapi ia pura-pura tak mendengar ucapanku. "Bu Kritis, Mas!" teriakku. "O, ya sudah kalau begitu. Mas ada meeting lagi." Seketika panggilan telepon ia matikan. "Mbak." Aku menoleh, seorang satpam berdiri di sampingku. Tatapan matanya tajam, membuat nyaliku menciut dalam sekejap. "Jangan berisik, ini rumah sakit!"Aku menelan ludah dengan susah payah. Dalam hati aku merutuki sikap cuek Bang Rizal hingga akhirnya aku dimarahi satpam. "Ma-maaf, Pak."Lelaki itu hanya diam kemudian me

  • Salah Kirim Paket   Kritis

    Aku mulai sibuk mempersiapkan acara empat bulanan yang tinggal tiga hari lagi. Acara syukuran sekaligus doa untuk calon anak kami akan diadakan di rumah. Tak banyak yang kami undang, hanya keluarga inti, tetangga dan beberapa anak panti asuhan. "Catering sudah, kan, Al?" tanya Mama. "Sudah,Ma. Tinggal bingkisan untuk dibawa pulang saja. Enaknya apa, ya?"Aku dan Mama saling diam, bingung memikirkan bingkisan apa yang cocok dibawa pulang. "Kalau pesan kue gimana, Al?" usul Mama sambil menatapku. "Boleh, Ma.""Kalau gitu kita pesan sekarang saja. Kita ke tokonya." Mama begitu antusias. Momen seperti ini sudah lama Mama nantikan. Tak heran jika kini Mama begitu antusias menyelenggarakan acara empat bulanan kehamilanku. Semua dekorasi, catering hingga bingkisan Mama yang memilih. Aku hanya membantu memesankan saja. "Ayo, Al! Kita siap-siap!"Aku segera melangkah menuju kamar untuk mengganti pakaian. Begitu pula dengan Mama. Belum sempat memakai hijab sebuah panggilan masuk. Segera

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status