Tak ada yang lebih menghanyutkan dibandingkan dengan perasaan manusia. Itu seperti arus tenang di lautan dalam. Gelombangnya tak terlihat namun ia dapat menghanyutkan sampai ke dasar. Hal itulah yang selalu diingat oleh Amarta. Walau sudah hidup ratusan tahun, hatinya tetap terjaga. Tak pernah ada yang masuk ke dalam walau ramai suara ketukan pada pintunya."Aku sudah bosan, kemarin aku sudah menonton film bersama Tommy." Gerutu Amarta pada Frans.Frans menghela nafas. Sudah dua jam berlalu namun suasana diantara mereka masih terasa canggung. Dia memang tertarik dengan Amarta, namun kurangnya pengalaman dalam menghadapi perempuan membuatnya sedikit tegang."Mau ke rumahku? Kita bisa makan malam bersama," usul Frans."Pesan antar? Tidak. Lebih baik makan langsung di restoran." Jawab Amarta tak berminat."Aku yang akan memasak," ucap Frans singkat.Amarta melemparkan pandangannya ada Frans, air mukanya seolah bertanya "Benarkah?" Frans sepertinya mengerti dengan jelas lewat ekspresi A
Wajah Frans terlihat menahan amarah. Garis rahangnya tegas dan kasar, kedua bibirnya mnegatup rapat. Tatapannya tajam dan sangat mengusik hati Amarta."Lelaki ini berbahaya," batin Amarta."Menuruti keinginanku? Memang kamu tahu apa yang aku inginkan?" Frans mengendorkan cengkramannya pada tangan Amarta.Wajah Amarta meringis kesakitan, ditambah suasana yang sudah sangat tidak nyaman diantara mereka berdua. Rasanya Amarta ingin segera pergi dari sana. Seharusnya Amarta tahu sejak awal bahwa Frans adalah jenis lelaki yang seharusnya ia hindari."Jangan seperti ini Frans." Amarta mendorong tubuh Frans perlahan."Lalu kamu ingin aku bagaimana? Aku tidak suka terus bermain-main." Jawab Frans dengan suara baritonnya yang tegas."Aku tidak suka lelaki seperti mu!" bisik Amarta."Tidak suka? Lalu apa kamu menyukai lelaki seperti Tomy? Lelaki yang selalu menjadikan wanita sebagai permainan?" Amarah Frans semakin menjadi.Amarta menatap sengit Frans yang juga menatapnya tak kalah tajam. Dengan
Sejenak pandangan mereka bertemu. Tatapan mendamba dari sepasang kekasih jelas ketara. Tommy mengerti apa yang dimaksud oleh Amarta. Dia bukan pemuda polos tanpa pengalaman. Namun dalam hatinya bertanya, "Secepat inikah dia memberikan apa yang seharusnya ia jaga baik-baik?" Dengan manja jemari Amarta menari di atas dada bidang milik Tommy. Tangannya terampil membuka satu persatu kancing kemeja lelaki dihadapannya itu."Tu-tunggu... Apa maksudnya ini?" tanya Tommy terlihat ragu.Amarta tersenyum, "Apa? Ayolah... Jangan pura-pura polos." "Tapi kita baru satu bulan-" Amarta menaruh jarinya pada bibir Tommy, membuat lelaki itu kehilangan kata-katanya."Ayo!" Amarta menarik tangan Tommy menuju kamarnya."Jawab jujur, kamu mau tapi malu atau memang tidak tertarik?" Amarta dengan paksa menarik tubuh Tommy hingga lelaki itu duduk di atas tempat tidur."Bukan begitu! Aku cuma sedikit kaget," jawab Tommy.Amarta menghela nafas. Ia menyapu lembut wajah Tommy, "Kalau kamu takut, maka lakukan s
Jakarta, Agustus tahun 1996.Frans berjalan di lorong hingga langkah kakinya terhenti didepan sebuah pintu kayu bergagang hitam. Ia mengetuk pintu tiga kali sebelum akhirnya masuk."Kamu datang juga." Ucap seorang lelaki yang sudah menunggunya didalam.Ia adalah Jacob, kakak kandung Frans. Bagai pinang yang dibelah dua, Frans dan Jacob terlihat mirip bahkan mereka selalu dianggap sebagai saudara kembar. Frans tersenyum, "Sedang sibuk, kak?" tanyanya."Tidak, aku hanya sedang membaca berkas-berkas yang cukup menarik." Ucap lelaki itu sembari memamerkan map bewaran coklat."Bukannya ini kasus mayat di Jogjakarta? Kenapa berkasnya ada di sini?" Frans melihat lebih detail berkas kasus yang sedang Jacob pelajari.Jacob menaruh satu jari di depan bibirnya, "Anggap kamu tidak melihat semua ini," perintahnya."Ya aku mengerti prosedur. Tapi sebenarnya kenapa dilimpahkan kesini? Setahuku kasus ini masih terus diselidiki. Apa mereka tidak mendapatkan kemajuan?" Frans merasa penasaran."Benar.
Hari itu adalah hari terakhir Frans melihat wajah Amarta. Surai merah kecoklatan yang terlihat berkilau dibawah sinar mentari, kulit putih yang kadang telihat kemerahan karena tersipu, binar mata berwarna kecoklatan yang banyak menyimpan misteri. Semua keindahan yang misterius itu akan selamanya terpatri dalam ingatan Frans.Didalam hatinya ia masih menyimpan harapan. Entah cepat atau lambat ia ingin sekali dipertemukan kembali dengan gadis itu. Tentunya dipertemukan dalam keadaan yang memungkinkan untuk bersama. Walau masa lalu bersamanya tidak begitu menyenangkan, namun setidaknya ia harus berharap untuk pertemuan selanjutnya.Hari sudah gelap saat Tommy mengantarkan Amarta pulang. Sesekali Amarta melempar pandangan pada gelapnya jalanan. Bayangan wajah Frans masih menghantui pikirannya. "Dia tampan, dan sikapnya yang tidak berisik juga sebenarnya adalah tipeku. Andai saja intuisi lelaki itu tidak terlalu kuat, mungkin aku bisa bersamanya sekarang." Amarta bergumam dalam hati.Tomm
Suara gemericik air hujan di luar membangunkan Tommy. Rasa hangat juga harum pada tempat tidur dan selimut begitu familiar menyapa tubuhnya. Netranya menangkap pemandangan langit-langit kamar yang juga tidak asing baginya.Wangi vanilla dengan lembut menyapa indra penciuman miliknya, disusul dengan suara langkah kaki yang terdengar samar."Amarta?" Suara Tommy terdengar serak karena tenggorokan yang kering.Tak ada suara yang terdengar, namun tiba-tiba saja Tommy merasakan sentuhan lembut pada pucuk kepalanya."Sudah bangun, sayang?" Suara yang terdengar begitu lembut ditelinga Tommy. Lelaki itu langsung menengadahkan kepalanya, dan mendapati seorang gadis dengan rambut merah kecoklatan yang masih basah tengah duduk bersandar dikepala ranjang.Tommy menatap lembut wajah cantik itu, "Lagi-lagi aku tidak ingat jelas bagaimana malamku bersamanya berakhir. Rasa pening dan tubuh yang lemas ini sepertinya jadi hal rutin terj
"Apa ini semua karena itu? Aku tidak bisa langsung menuduh seperti itu. Lebih baik aku mulai mengamati polanya." Tommy bergumam dalam hati."Sudahlah, ayo cepat berikan infus vitamin seperti biasanya." Tommy meminta Adara segera melakukan tindakan.Adara pun menurutinya tanpa bertanya apapun lagi.Lembayung sore sudah memenuhi langit. Cahaya jingganya terkadang membentuk siluet gedung-gedung. Tommy mengakhiri hari itu dengan tubuh yang kurang baik juga pikiran yang cemas.Ia belum mengabari Amarta lagi, hari ini rasanya ia ingin beristirahat di rumah dan tidak menemui wanita itu untuk sementara waktu.Tommy menghentikan laju mobilnya di depan sebuah rumah mewah bergaya arsitektur khas kolonial Belanda. Halamannya yang luas dengan berbagai jenis tanaman membuat rumah itu semakin terlihat megah.Seorang lelaki berseragam hitam segera menghampiri Tommy begitu ia keluar dari mobil."Akhirnya den Tommy pulang juga. Mari saya masukan ke garasi mobilnya." L
Dyah semakin merasa tak nyaman. Rasanya ia ingin mendekap tubuh dihadapannya itu. Rasa rindu yang sudah lama ia pendam seolah akan meledak keluar.Tok... Tok... Tok...Terdengar suara ketukan pada pintu, Bu Maryam mendapati dokter yang sudah ia hubungi berdiri di sana."Silahkan masuk dok." Bu Maryam mempersilahkan dokter untuk memeriksa Tommy.Dyah menarik nafas lega. Ia sempat khawatir kecemasannya terlihat mencurigakan dimata Bu Maryam. Namun untungnya dokter datang sebelum semua semakin terlihat.Dengan hati-hati Dyah membaringkan kembali tubuh Tommy, "Saya izin ke dapur lagi bu." Dyah berpamitan.Bu Maryam mengangguk, "Dyah tolong buatkan minum untuk dokter dan simpan di meja ruang tamu, ya." Perintah Bu Maryam.Dyah mengangguk dan segera pergi. Gadis itu menghela nafas panjang merasa beruntung nyonya rumah tak menyadari perubahan rona pada wajahnya.Bu Maryam memerhatikan dokter yang sedang melak