Hari ini mas Abi pulang bekerja disiang hari. Lewat tengah hari, Suamiku itu pulang dengan menentang paper bag di tangan kanannya."Ini untukmu," ucapnya sambil menyodorkan tas yang terbuat dari kertas itu padaku.apa ini Mas tanyaku sambil menerima paper bag yang diulurkan.lihat saja.tanpa bertanya lagi aku segera membuka dan melihat Apa isi dari paper bag tersebut.Buat apa kamu membeli baju seperti ini sebanyak ini mas.aku bertanya sambil mengacungkan salah satu baju yang dibeli di hadapannya bukan apa-apa Suamiku itu membeli beberapa potong lingeri dengan model dan warna yang berbeda.tentu saja untuk kamu pakai, kemarin malam saat aku melihat mu memakai baju seperti itu, membuatku tidak bisa melepas dari pandanganku Aku ingin setiap malam Kamu memakai baju seperti ini makanya aku membeli banyak sekaligus. Aku mengerucutkan bibirku, " Mana mungkin setiap malam aku pakai beginian mas?" "Mungkin, sayang," sahutnya sambil mengecup pipiku sekilas. Sepertinya Mas Abi ketagihan m
"Bagaimana mas, Qia tidak jadi ke rumah mama?" Tanyaku saat mas Abi kembali ke kamar. Sejak tadi aku tidak mendengar suara mobilnya keluar dari rumah ini. Setelah Mas Abi keluar kamar, aku menyusui Albi dan menenangkannya hingga bayi itu tertidur lagi."Tidak sayang, tadi mas bujuk dan akhirnya hanya menelpon mama saja.""Dia mengadu pada neneknya ya mas," tanyaku lirih. Mas Abi hanya menjawab pertanyaanku dengan anggukan kepala saja. "Aku tidak bermaksud membentak Qia mas, aku hanya refleks saja berteriak saat melihat Albi dalam gendongannya. Kamu percaya padaku kan, kamu tidak marah padaku kan?" "Tidak sayang, mas bisa mengira-ngira apa yang terjadi. Reaksi spontan seorang ibu yang melihat anaknya dalam bahaya. Tapi lain kali coba lebih slow down jika hal itu terjadi lagi, mungkin intonasi dan kata-katanya lebih diperhalus. Qia bilang tadi dia melihat adiknya menangis dan ingin menenangkannya seperti kamu menenangkan Albi jika dia menangis. Lalu tiba-tiba kamu datang dan membent
Kuketuk pintu kamar putri sambungku, ini sudah waktunya makan siang dan makanan juga sudah siap. Tidak lama menunggu, pintu dibuka oleh mama. Wanita yang sudah tidak muda lagi itu mantap kearah cucu perempuannya yang masih duduk diatas ranjangnya. "Ayo tadi Oma bilang apa?" ucap mama pada Qia, cucunya. Perlahan gadis kecil itu mendekat padaku, lalu setelah dekat tubuhnya menubruk dan memeluk pinggangku dengan erat. "Maafin Qia, ma. Qia sudah salah sangka pada mama dan mengabaikan mama dari kemarin," ucap gadis kecil itu tanpa melepaskan pelukannya. Aku menatap mama, wanita itu tersenyum dan mengedipkan mata padaku. Mungkin selama didalam kamar tadi, mama menasihati cucunya dan menjelaskan semuanya. Bisa saja mas Abi sudah mengatakan apa yang sebentar terjadi lebih dulu pada mama. "Mama juga minta maaf ya, sayang. Mama refleks berteriak karena takut adik jatuh. Adik kan berat, jadi kasian Qia kalau gendong-gendong adik. Kalau mau memangku adik, boleh nanti kalau sama papa dan mam
" Assalamualaikum ...." Sebuah sapaan mengagetkanku yang sedang asyik dengan desain baru yang tengah aku kerjakan. "Wa'alaikumsalam," jawabku.Aku menatap ke arah wanita yang barusan memberikan salam padaku. Setelah hampir enam bulan sejak pertemuan kami di pusat grosir itu, baru sekarang aku bertemu lagi dengan Lili. Untuk apa wanita ini datang ke tempatku. Jika dia datang untuk urusan pribadi biasanya satpam akan memberitahuku terlebih dahulu. Tapi jika tamuku mengatakan datang untuk urusan pekerjaan maka satpam akan langsung menyuruhnya datang ke tempatku bekerja. "Silahkan duduk, Lili," ucapku sambil mempersilahkan duduk di depan meja kerjaku."Boleh nggak duduk di sofa aja," ucapnya meminta ijin."Tentu saja boleh." Aku berkata sambil berjalan menuju sofa yang berada tidak jauh dari meja kerja. "Mau minum apa?" tanya aku menawarkan."Tidak usah repot-repot mbak, air putih saja," jawabnya. Aku memang menyediakan air mineral kemasan gelas di atas meja di depan sofa. Sengaja
Aku sedang sibuk dengan pekerjaanku saat salah satu karyawan naik ke atas dan mengatakan jika ada seseorang yang mencari Safa. Siapa dia sepertinya dia orang yang mengenal Safa, tapi sudah lama tidak berhubungan dengan kami. Buktinya dia tidak tahu jika aku dan wanita itu sudah berpisah lama."Laki-laki atau perempuan Mbak?" tanyaku pada karyawan wanita itu."Seorang perempuan?" jawabnya."Ya sudah suruh langsung ke sini saja ya."Tak lama setelah kepergian karyawanku tersebut datanglah seorang wanita yang sepertinya familiar wajahnya, beberapa tahun lalu dia sempat bolak-balik ke tempat ini untuk mengambil pakaian dan menjualnya kembali. Kalau tidak salah ingat dia bekerja sama dengan Safa saat itu."Ada apa mencari Safa, mbak? ada yang bisa saya bantu? Maaf dengan mbak siapa?" Aku langsung bertanya panjang lebar padanya begitu dia ada di hadapanku. "Ada sedikit keperluan Pak, dulu saya pernah jualan baju-baju milik mbak Safa. Tapi sudah lama vakum dan sekarang ingin melakukannya la
POV GALIHHubunganku dengan Lili semakin dekat setelah aku bercerita tentang masa laluku bersama Safa maupun Dania. Sebagai laki-laki aku merasa jika Lili memiliki perasaan tertarik padaku. Namun dia adalah wanita yang bisa menjaga diri sehingga dia tidak serta-merta mengungkapkan perasaannya lewat kata-kata ataupun menggodaku. Wanita itu hanya lebih intens memberi perhatian perhatian padaku. Kadangkala dia tidak canggung untuk turun ke dapurku dan membuatkan masakan untukku tentu saja setelah dia meminta izin padaku terlebih dahulu. Usahaku juga perlahan-lahan mulai menampakkan progres yang sangat baik. Seperti pengganti Safa, wanita itu membantu usahaku semakin pesat kemajuannya. Setiap harinya marketplace milikku yang dia kelola mampu menjual puluhan baju bahkan pernah hingga hampir 100 buah sehari. Lili berjualan di marketplace tersebut, juga melayani pembelian grosir dan tidak mengambil keuntungan lagi. Dia bilang karena sudah mendapatkan gaji dari admin jadi wanita itu memutu
POV SafaWaktu bergulir dengan sangat cepat, tidak terasa usia Albirru sudah menginjak dua tahun, sedangkan pernikahanku dengan mas Abi hampir berjalan empat tahun. Empat tahun yang penuh dengan kebahagiaan, empat tahun yang selalu dihiasi oleh senyuman. Hal-hal kecil yang menjadi sandungan tentu saja ada seperti kecemburuan Qia pada adiknya, tentu saja itu adalah hal yang wajar. Namun lambat laun gadis kecil itu mau mengerti juga. Saat ini, Qia sudah berada di kelas tiga sekolah dasar. Seiring bertambahnya usia, putri sambungku itu juga semakin dewasa dan mengerti. Pagi yang cerah ini, kami berempat bersiap-siap untuk pergi liburan. Tepat dimana anak-anak libur setelah semesteran, begitu juga Mas Abi. Kalau aku, kapanpun mau libur biasa saja.Mas Abi, mengajak kami ke tempat dimana dulu aku dan dia staycation. Tempat yang akan kami datangi bersama anak-anak, dan kali ini kami benar-benar akan kesana. Qia dan Albi duduk di kursi penumpang belakang, putra kecilku itu duduk dengan m
"Mbak Safa disini juga ternyata," ucap Lili menyalamiku dan memelukku. Wanita itu selalu ceria dan menyapa dengan hangat saat bertemu denganku. "Kamu juga ternyata disini?" balasku sambil tersenyum"Ini pasti si jagoan, Albirru, ya." Lili berkata sambil mencubit gemas pipi putraku. "Apa kabar kalian?" tanya mas Galih menatap kearah suamiku. "Baik," jawab mas Abi pendek. Nampak suasana sedikit canggung diantara kami. Hanya Lili yang tidak pernah bersikap canggung. "Mau berenang?" tanya mas Abi pada mas Galih. "Tidak, nggak bawa baju ganti. Tadi memang tidak berniat untuk berenang tapi pas istriku melihat kalian jadi malah kesini," jawab Mas Galih. "Kamu main air saja dulu sama si kecil ini, mas. Aku ingin ngobrol sama mbak Safa. Boleh kan?" tanya Lili pada sang suami. "Baiklah," sahut Mas Galih mengalah. Kedua pria itu lantas pergi ke arah kolam renang bersama Qia dan Albi. Sedangkan aku dan Lili memilih duduk di kursi yang tersedia di tempat itu. Kami memilih kursi yang ada